Hampir sepuluh hari puasa Ramadhan dijalani. Diwaktu sepertiga bulan penuh berkah ini, kita mulai merasakan berbagai kebutuhan pokok mulai merangkak naik. Sebagian besar masyarakat, ketar-ketir apakah uang lebaran nanti mampu mencukupi kebutuhan itu. Bagi yang punya tabungan, mungkin tidak bermasalah. Namun, bagi yang pendapatnnya pas-pasan maka memasuki lebaran sandarannya hanyalah THR semata. Setidaknya, dengan THR ada cadangan untuk ½ bulan sebelum dan sesudah lebaran untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan.
Nah, memasuki hari ke sepuluh ini biasanya gejala jor-joran mulai nampak. Jor-joran adalah pengeluaran habis-habisan yang mau tak mau akan terjadi karena keinginan dan kebutuhan untuk memenuhi selera lebaran. Jor-joran munculbukan saja karena mendadak banyak sekali keinginan yang muncul, namun juga karena harga sembako mulai merangkak naik, ongkos transportasi antar kota membubung tinggi karena tiket sudah habis semua, ataupun karena obral dan baju-baju lebaran yang dipajang mengundang selera hingga hasrat lebaran pun makin mengelora. Pokoknya memasuki hari kesepuluh setelah puasa gejala buruk penyalahgunaan istilah “baru lebaran” nampak kepermukaan yaitu JOR-JORAN pengeluaran.
Sebenarnya ada banyak cara supaya lebaran tidak kebobolan. Salah satunya sangat sederhana dan murah yaitu dengan “SADAR KEMBALI” kalau bulan Ramadhan adalah ibadah dengan tujuan untuk mengekang semua nafsu kita. Jadi, di sini kita semestinya melihat dalam perspektif yang luas kalau nafsu yang dikekang itu termasuk juga nafsu JOR-JORAN untuk belanja lebaran yang biasanya mengeluarkan dana habis-habisan. Dengan kata lain, kendalikan nafsu belanja kita dan HINDARI membelanjakan uang untuk kebutuhan yang sifatnya klise semata. Contoh kebutuhan klise itu adalah kebutuhan akan segalanya yang berbau BARU mulai dari mobil (pinjaman) baru, baju baru, handphone baru, dan sesuatu keperluan yang nampak baru lainnya, yang umumnya muncul memasuki lebaran Iedul Fitri.
Agaknya, sejak dulu ada semacam gosip yang dihembuskan kepada masyarakat kalau kemenangan di bulan Ramadhan harus dirayakan dengan hal-hal yang serba baru. Padahal sudah jelas kalau tujuan Ramadhan sebagai bulan penyucian jiwa adalah membarukan sifat dan akhlak kita sendiri dari akhlak lama yang tercela menjadi akhlak yang baru, fitri, yang bersih setelah jiwa kita dicuci selama sebulan dan tentunya menjadi manusia dengan kualits taqwa yang benar (Qs 2:183).
Lagi-lagi kita akan melihat kenyataan bahwa banyak sekali pemahaman kita yang nampak sangat mudah dimanipulasi untuk kepentingan tertentu dengan menghembuskan ungkapan “Baru” alias “Fitri” dengan kebendaan dan materi semata. Padahal tujuan Ramadhan sampai akhirnya menjadi Iedul Fitri bukan untuk memamerkan baju baru atau pun benda-benda yang nampak baru. Tapi jiwa kita lah yang harus dibuat baru, jernih, putih, dan lembut dengan pemahaman dan pemaknaan baru atas kehidupan dengan bimbingan Allah SWT setelah melalui proses pendidikan ruhani di bulan Ramadhan.
Darimana asal usul kebaruan yang sifatnya ritualis-materialistik yang keliru ini muncul dalammasyarakat Indonesia yang nota bene beragama Islam dan umumnya pendapatannya masih termasuk rendah kalau dibandingkan dengan pendapatan di dunia yang termasuk sejahtera? Susah sekali dilacak. Namun, saya menduganya ada penafsiran ritualis-materialistik yang keliru pada pengertian-pengertian yang dinyatakan sebagai berpakaian yang baik, bersih, dan pantas di bulan Ramadhan ketika Iedul Fitri menjelang. Jadi, terminologi terbaik, sopan, rapih, dan indah kemudian disamakan dengan “baru” dengan embel-embel “Baru dibeli” dengan harga “baru juga” yaitu harga lebaran.
Kebiasan yang jelek ini lantas diadopsi begitu saja oleh masyarakat sampai akhirnya “baru beli” atau semacamnya dianggap menjadi kebutuhan pokok untuk merayakan Iedul Fitri dan menganggap dirinya sudah menang puasa padahal justru sebaliknya. Sudah jelas, yang dimaksud baru di Hari raya Iedul Fitri adalah akhlak kita yang menjadi baru, fitri, bersih dan murni, karena telah berhasil memenangkan gelora hawa nafsu dengan segala penampilannya. Termasuk juga mengendalikan penampilan hawa nafsu yang bersembunyi dalam bentuk berbagai keinginan membeli baju baru, handphone baru, motor baru, mobil baru, ataupun kebaruan materialistik yang semu. Tanpa sungguh-sungguh sadar akan tujuan Ramadhan, maka kebaruan semu itu hanya menunjukkan stereotip tahunan dari KEGAGALAN TOTAL sebagian besar Umat Islam di Indonesia setiap bulan Ramadhan untuk meraih manusia yang beriman dan taqwa.
Memasuki pertengahan bulan Ramadhan, belum terlambat kalau kita kembali melihat esensi Ramadhan sebagai bulan pendidikan jiwa dengan mengekang hawa nafsu dengan cara hidup yang sederhana namun penuh berkah. Hidup sederhana bukan berarti hidup susah dan senang menderita. Melainkan merupakan cerminan hidup yang “Smart” karena bisa membedakan mana “keinginan” (want) dan mana kebutuhan (Need). Jadi, hidup sederhana sebenarnya merupakan praktek langsung teori ekonomi ideal di mana antara kebutuhan dan keinginan dapat dibedakan dengan jelas dan manusia dapat mengambil keputusan terbaik dengan mengikuti pola yang jelas, proporsional, dan sederhana itu untuk hidup dengan lebih cerdas.
Orang yang sederhana atau bersahaja menyadari bahwa nafsu yang melahirkan hasrat dan syahwat tidak akan terpuaskan kalau dituruti terus menerus. Memperturutkan hawa nafsu di bulan Ramadhan dengan jor-joran berbelanja dan pamer barang kemewahan sama saja dengan memproklamirkan kalau puasa kita sia-sia alias gagal total di perjalanan. Gaya hidup bersahaja bukan juga berarti harus menjauhi kesenangan dunia, tapi menyadari bahwa setiap kesenangan pasti bakal dipertanggung jawabkan di hadapan Allah SWT seperti diungkapkan dalam surat at-Takatsur (QS 102: 1 s/d 8) berikut.
Bermegah-megahan telah melalaikan kamu[1],
Sampai kamu masuk ke dalam kubur.
Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu),
Dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui.
Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin,
Niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahiim,
Dan Sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan ‘ainul yaqin[2].
Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan yang kamu peroleh hari ini (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).
Catatan:
[1] Maksudnya: Bermegah-megahan dalam soal banyak harta, anak, pengikut, kemuliaan, dan seumpamanya telah melalaikan kamu dari ketaatan.
[2] ‘ainul yaqin artinya melihat dengan mata kepala sendiri sehingga menimbulkan keyakinan yang kuat.
Demikian juga, hidup sederhana dan bersahaja bukan berarti harus menjadi kikir, pelit, atau hemat berlebihan yang melampaui batas sampai-sampai tidak mau bersedekah ataupun tidak mau beraktifitas amal, atau bahkan akan menjurus ke amaliah yang Riya karena amaliahnya hanya sekedar pamer saja atau hanya karena ada kebutuhan “udang di balik batu” semata. Nah, kalau sudah masuk ke wilayah kekikiran dengan berbagai variasi jeleknya ini kita semua memang harus hati-hati karena pada akhirnya sanak saudara bisa lari menyingkir.
Ayo kembali ke jalur Ramadhan yang benar dengan mencoba hidup bersahaja dengan puasa, dengan mengekang hawa nafsu yang muncul dari keinginan maupun kebutuhan yang tidak perlu. Hiduplah sederhana, karena sederhana itu menurut al-Harits al-Muhasibi (165 H – 243 H) seorang ulama sufi generasi awal, adalah kehidupan yang penuh berkah.
Kota Patriot (Bekasi), 21/09/2007
blog:atmoon. Multiply. Com