Ramadhan sudah di depan mata! Aroma kedamaiannya sudah mulai terasa. Bagi saya, Ramadhan menyimpan banyak kenangan indah yang selalu dapat membangkitkan semangat dalam diri setiap saya mengenangnya. Selalu ada episode cinta yang diberikan Allah SWT dalam liku-liku kehidupan saya di setiap Ramadhan. Dan sungguh, saya sangat bersyukur karenanya!
Dulu kami sekeluarga pernah menghabiskan waktu selama lima tahun di Long Kali, sebuah kecamatan kecil di Kabupaten Pasir, Kalimantan Timur. Ramadhan adalah saat yang selalu kami nantikan. Karena di saat-saat itulah, rumah-rumah kami yang biasanya gelap karena belum ada aliran listriknya menjadi terang-benderang. Puluhan obor menyala terang di depan rumah – rumah kami. Termasuk juga surau kecil yang terletak tak jauh dari depan rumah.
Hampir dua puluh empat jam kegiatan berlangsung di sana. Buka puasa bersama, tarawih, tadarus hingga sholat subuh dan sahur juga taklim harian selalu dapat menyedot jamaah memenuhi surau. Saya sangat menikmati ketika mama menyuruh kami mengantarkan kue-kue untuk berbuka ataupun untuk sahur ke surau. Karena setelahnya saya dapat berkumpul dengan teman-teman untuk mengaji bersama hingga saat berbuka tiba. Ketika waktu sahur hingga subuh juga sangat ramai. Suasana religi-nya begitu terasa.
Siang harinya, di saat sekolah libur, besama teman sebaya, menggelar banyak kegiatan yang menyenangkan dan bermanfaat. Saya bisa membuat obor dari bambu dan mengayam ketupat dari kegiatan tersebut.
Ketika pada tahun 1991 kami pindah ke Samarinda. Saya bisa merasakan perbedaanantara Ramadhan di kota kecil seperti Long Kali dengan kota besar seperti Samarinda. Ternyata benar ujar guru mengaji saya, hiruk pikuknya kota akan membiaskan sepi di dalam rumahNya.
Lalu ketika Ramadhan di tahun 1996. ketika keluarga kami pindah ke Balikpapan. Lidia, seorang sahabat saya di SMU, mengajak untuk mengikuti pesantren kilat di pondok pesantren Hidayatullah. Entah mengapa, saya ringan sekali menyambut ajakannya, kedua orang tua saja juga tidak keberatan melepas saya, padahal sebelumnya kami sekeluarga sudah janjian untuk melewatkan Ramadhan bersama-sama.
Pengalaman seru melewatkan satu minggu di sana, merupakan kenangan indah yang selalu terkenang. Banyak sekali ghiroh yang terpancar, salah satunya bahkan membuat perubahan besar dalam hidup saya. Kewajiban mengenakan jilbab selama kegiatan membawa imbas besar pada diri saya. Karena setelah kegiatan tersebut, selalu ada jilbab lebar yang menemani saya melangkah.
Masih tergiang kalimat pertama almarhum papa saya ketika beliau melihat penampilan baru saya, “Duh, cantiknya anakku! Semoga tetap istiqomah dengan jilbabmu ya, nak!”. Rasa haru membelenggu saya waktu itu. Alhamdulillah, hidayah Allah menyapa diri melewati ajakan dari sahabat tersayang.
Ramadhan tahun 1998. Adalah saat-saat paling berat yang saya, bahkan kami sekeluarga lalui. Papa, yang sangat kami cintai, harus terbaring lemah, melewati beberapa pekan di ugd dan harus bolak-balik cuci darah karena gagal ginjal yang beliau alami. Ternyata obat diabetes yang terlalu lama beliau konsumsi perlahan-lahan menghancurkan kedua ginjalnya.
Sejak papa terbaring sakit, aktivitas Ramadhan kami berubah menjadi begitu sunyi, tanpa terdengar nasehat penuh sayang ataupun canda beliau di sela – sela sahur ataupun ifthor yang kami lalui. Itu adalah Ramadhan terakhir papa bersama-sama kami. Karena tak lama setelah Ramadhan berlalu, beliau berpulang kepadaNya. Innalillahi wa innailaihi raji’uun.
Saya belajar banyak sekali bait-bait cinta di sepanjang Ramadhan kala itu. Kebesaran hati papa menerima penyakit yang di deritanya. Juga kesetiaan dan keikhlasan seorang isteri yang di tunjukkan mama. Saya juga merasakan, betapa rasa cinta itu akan semakin tak terbendung, ketika sosok yang kita cintai justru telah pergi meninggalkan kita.
Ramadhan yang indah di tahun 2002. Saya bertemu pertama kali dengan calon suami. Setelah proses khitbah, sebulan kemudian kami menikah. Tanpa proses yang bernama pacaran. Subhanallah! Sungguh seru dan indah kami menjalaninya. Tepat di bulan Ramadhan setahun berikutnya, saya melahirkan anak pertama; Alif Zilal Ramadhan melalui cesio karena letaknya yang sungsang. Kami sungguh-sungguh bahagia. Merupakan cambuk bagi kami berdua untuk terus meningkatkan target ibadah padaNya sebagai bentuk syukur yang tak terkira atas begitu banyak nikmat yang telah diberikanNya untuk kami.
Ramadhan 2004. Kami resmi berhenti menjadi kontraktor alias tinggal di rumah kontrakan. Sebuah rumah mungil telah menjadi milik kami. Allah berkenan menambahkan nikmatNya dengan memberikan banyak rezeki melalui pekerjaan kami berdua. Menikah sungguh membuat rezeki bertambah luas.. Alhamdulillah ya Allah…
Sudah dua puluh sembilan tahun umur saya. Berarti sebanyak itu pula Ramadhan telah saya lewati.Tidak habisnya rasa syukur kami bentangkan atas segala nikmat, karunia kesehatan dan kelapangan yang telah diberikanNya. Saya percaya, di depan akan semakin banyak episode cintaNya untuk saya jalani. Semoga selalu menambah semangat untuk melangkah lebih baik lagi. Harus! Insya Allah!
“Allahumma bariklana fi rajab wa sya’ban wa balighna fi ramadhan”, amiin. Marhaban Yaa Ramadhan!
Yunnytouresia.multiply.com