Hari ini mungkin adalah 2 hari terakhir menjelang penghujung Ramadhan 1430 H. Tidak terasa, bulan Syawal pun menjelang. Tidak ada riuh malam ketupat di bumi Sakura, juga kerepotan yang kadang seperti tidak akhir di dapur menjelang malam Lebaran: untuk membuat 1 Syawal menjadi Lebaran yang sempurna. Semuanya berjalan seperti biasa. Teman-teman muslim yang berstatus sebagai mahasiswa tetap melangkahkan kaki ke kampus hingga mungkin hari terakhir Ramadhan, juga dengan saudara-saudara muslim lain yang sedang mencari sesuap nasi di negeri matahari terbit ini. Biasa sekali.
Jangan dibayangkan akan ada gema takbir bertalu-talu di malam syawal, juga berduyun-duyun saudara-saudara semuslim dengan mengenakan baju atau mukena baru melangkah bahagia menuju masjid. Lalu, berakhir dengan saling kunjung-mengunjungi ke tempat-tempat saudara. Kalaupun ada keramaian, biasanya terlihat di jantung negeri Sakura, Tokyo. Sehabis menunaikan shalat Idul Fitri, biasanya ada acara open house di rumah Duta Besar Indonesia untuk Jepang. Cukup melepaskan kerinduan pada suasana Lebaran di tanah air. Sajian masakan Indonesia dan bertemu dengan saudara-saudara seiman menjadi pelengkap sempurna lebaran ala perantauan di bumi sakura.
Tapi, bagiku, ada yang beda dengan Ramadhan kali ini. Berawal dimajukannya jadwal penelitian lab kami di Indonesia, membuat sensei dan teman-teman labku mengerti ada bulan yang bernama Ramadhan dalam agama Islam. Sedianya, penelitian kami akan dilakukan selama bulan Agustus, dan itu berarti adalah saat Ramadhan akan dimulai. Seorang senior di Indonesia mengemukakan tidak mungkin melakukan kegiatan lapangan selama Ramadhan berlangsung. Konsekuensinnya, aku dan teman-teman yang akan ke Indonesia, harus bersegera menyelesaikan laporan-laporan kuliah kami. Tapi, tak mengapa. Pilihan mengerjakan laporan lebih awal lebih membahagiakan daripada harus menyelesaikan penelitian lapangan selama Ramadhan.
Kegiatan lapangan yang menguras tenaga, dari pagi sampai menjelang adzan magrib, membuat aku dan teman-temanku harus pandai mencari kegiatan pembunuh kebosanan kami. Kalau tidak, dua minggu berteman dengan alam mungkin akan menjadi waktu-waktu yang teramat panjang untuk dilewati. Salah satu topik diskusi kami adalah Ramadhan.
Penjelasan yang menguras pikiran untuk menerangkan tentang Ramadhan kepada teman-teman lab, yang notabene semuanya adalah nonmuslim dan berkewarganegaraan Jepang. Bahkan mungkin juga jauh dari sempurna penjelasanku. Bagi teman-teman lab, semua harus ada logikanya. Tipikal umum pemikiran orang-orang Jepang. Maka melaksanakan Ramadhan, bagi mereka adalah perbuatan yang sulit untuk diterima secara logika. Mengapa harus menahan lapar dan dahaga saat dari terbit matahari sampai matahari terbenam kembali? Bukankah itu berarti menyiksa diri sendiri? Apakah aku akan baik-baik saja selama Ramadhan? Atau mungkin Ramadhan akan menyebabkan aku menjadi sakit? Bagaimana kalau saat sakit, apakah mesti juga menjalankan puasa? Bagaimana dengan penentuan waktu berpuasa? Dan banyak lagi.
Awalnya aku bingung mencari kata-kata yang sederhana dan mampu ditangkap oleh teman-teman labku secara gamblang tentang Ramadhan. Penjelasanku kumulai dari titik tentang ‘kewajiban’. Bahwa konsekuensi menjadi muslim membuat sebuah keyakinan tidak ada yang salah dengan aturan agama, pun juga dengan puasa. Maka aku mulai bercerita, kalau musim panas tahun yang lalu, saat aku pertama kali menginjakkan kaki di bumi Sakura, aku juga menjalankan puasa. Juga di saat menjelang musim dingin, saat aku menunaikan kewajiban membayar puasaku. Dan, alhamdulillah, sampai musim panas kali ini aku baik-baik saja.
Luruh hatiku mendengar permohonan maaf teman-teman labku, karena saat aku menjalankan puasa tahun lalu, tidak seorangpun di antara teman-temanku mengerti kalau aku sedang berpuasa. Akhirnya, mereka bertanya, sampai kapan aku akan berpuasa di tahun ini.
Sesampainya kembali di Jepang, teman-teman lab yang pergi bersamaku ke Indonesia memberitahu teman-teman lab yang lain kalau aku akan berpuasa sampai dengan pertengahan September. Terharu rasanya melihat hasrat keingintahuan mereka tentang Ramadhan, walaupun aku harus berulang kali menjelaskan tentang Ramadhan.
Juga saat dengan pesta menyambut kedatangan seorang mahasiswa doktor di lab yang diselenggarakan saat makan siang. Hanya pesta kecil: minum teh bersama sambil menikmati penganan dari China. Mungkin karena lupa, pertanyaan tentang Ramadhan kembali mengemuka, saat aku menolak ajakan pesta kecil itu. Dan kali ini senseipun ikut serta dalam diskusi Ramadhan kami. Maka saat sensei bertanya mengapa aku tetap menajalankan puasa, walaupun saat ini aku sedang berada di Jepang, aku hanya menjawab: because I am moslem, sensei. Dan puasaku mesti tertunaikan, dibumi manapun aku berada.
Entahlah apakah itu jawaban yang tepat atau tidak, tapi setidaknya bagiku kewajibanku sebagai muslim adalah hal yang prinsip. Tapi, melihat segumpal senyum di wajah senseiku, aku tahu pertanyaan itu adalah pertanyaan ujian, mungkin selayaknya pertanyaan saat sidang thesis mahasiswa S2 atau disertasi mahasiswa S3.
Bagiku, Ramadhan kali ini memang berbeda. Aku bisa pulang saat adzan magrib menjelang. Juga tetap bisa berbuka di apato sederhana kami bersama suami, saat beliau sedang tidak berada di labnya di Shizuoka. Juga tidak ada kegiatan-kegiatan lab di malam hari, walaupun target penelitian selama liburan ini tetap mesti tertunaikan. Sebuah kebahagiaan juga menyelusup di relung hatiku, Ramadhan kali ini ada sebuah kesempatan menjelaskan tentang Ramadhan kepada sensei dan teman-teman labku. Paling tidak bertambah satu perbendaharaan kata teman-teman labku. Ramadhan.
@lab, fall, September 2009
http://ingafety.wordpress.com