Pagi itu aku sedang duduk antri, menunggu pelayanan dari kantor pelayanan tiket maskapai milik pemerintah di Jalan Daud Beureuh. Nomor antrianku 44, sedangkan pelanggan yang sedang dilayani bernomor antrian 40, yaitu seorang warga asing yang dipandu seorang muslimah yang berjilbab. Nampaknya mereka sedang mengusahakan tiket untuk keperluan tertentu.
Pakaian dari muslimah yang mendampingi ‘bule’ tersebut, sebagaimana pakaian muslimah lain di kota ini, belum mencerminkan pakaian seorang muslimah yang sebenarnya, yaitu menutup aurat di sekujur badan. Masih banyak beberapa aurat yang kelihatan, baik rambut, tangan, kaki, atau lekuk tubuh. Jilbab ‘tanggung’ yang dikenakan seakan hanya berfungsi sebagai syarat formalitas ‘kewajiban berjilbab’ saja sesuai peraturan daerah (qonun) yang ada. Padahal makna jilbab tidak sekedar kain yang menutupi kepala, tetapi pakaian yang menutupi aurat, tidak menonjolkan bagian sensitif, dan merupakan pakaian taqwa. Patut disayangkan, dalam hal berjilbab, muslimah di daerah ini banyak yang belum sepenuhnya memenuhi ketentuan syariat.
Saat aku merenungi kondisi muslimah di daerah ini, tiba-tiba masuk seorang muslimah dengan busana yang berbeda dari kebanyakan. Jilbab jaguar warna coklat tua dengan pon bunga di bagian pinggirnya, selaras dengan rok coklat tua yang dikenakan. Bajunya bermotif coklat muda, memanjang dengan balutan manset di kedua tangannya. Ia juga memakai kaos kaki coklat muda. Nah, muslimah yang memakai busana jilbab model begini, yaitu yang sesuai syariat, jarang sekali kutemui di sini. Kebanyakan yang kutemui adalah model jilbab gaul.
Setelah mengambil nomor antrian, wanita yang saya duga adalah mahasiswi itu, mengambil tempat tidak jauh dari tempat dudukku. Awalnya dia membaca-baca brosur yang ada. Tidak lama kemudian ia mengeluarkan mushaf dari tas coklat mudanya, lalu menekuni dan membaca huruf-hurufnya di balik lensa kata mata minusnya. Sungguh, pemandangan tersebut rasanya baru kulihat di Kota ini. Semestinya aku tidak heran karena di sini diberlakukan syariat Islam, terlebih sekarang adalah bulan Ramadhan. Seharusnya banyak orang baca Qur’an di mana-mana. Tapi realita yang kutemui jarang memenuhi harapan.
Aku mengagumi adik mahasiswi tersebut. Mengisi waktu kosong saat menunggu antrian dengan sibuk membaca Al-Qur’an. Semangatnya itu mengingatkan semangat diriku waktu dulu sedang ghirahnya mengenal dan beramal Islam. Di kantor, di Metromini, dan di manapun selalu ditemani oleh mushaf kecil Al-Qur’an. Tiada hari tanpa Qur’an, begitulah motto yang selalu didengungkan oleh teman-teman di kampus dulu.
***
Ramadhan adalah bulan diturunkannya Al-Quran (QS. 2:185). Pada bulan ini Al-Qur’an benar-benar turun ke bumi (dunia) untuk menjadi pedoman hidup manusia. Dan malaikat Jibril turun untuk memuroja’ah (mendengar dan mengecek) bacaan Al-Quran dari Rasulullah Saw. Maka tidak aneh jika Rasulullah Saw lebih sering membacanya pada bulan Ramadhan. Iman Az-Zuhri pernah berkata: ”Apabila datang Ramadhan maka kegiatan utama kita (selain shiyam) ialah membaca Al-Quran”. Hal ini tentu saja dilakukan dengan tetap memperhatikan tajwid dan esensi dasar diturunkannya Al-Quran untuk ditadabburi, dipahami, dan diamalkan.
Pada bulan ini, hendaknya kita benar-benar berinteraksi dengan Al-Qur’an untuk meraih keberkahan hidup dan meniti jenjang menuju umat yang terbaik dengan petunjuk Al-Qur’an. Rasulullah Saw bersabda: "Sebaik-baiknya kamu orang yang mempelajari Al-Qur’an dan yang mengajarkannya”
Mengetahui bahwa Ramadhan dinisbatkan sebagai bulan diturunkannya Al-Qur’an, aku mengambil kesimpulan bahwa keberhasilan kita dalam menjalankan Ramadhan sebenarnya bisa diukur dengan komitmen kita kepada Al-Qur’an. Jika setelah Ramadhan kita makin dekat dengan Al-Qur’an, dalam arti hidup dalam naungan Al-Qur’an baik secara tilawah (membaca), tadabbur (memahami), hifzh (menghafalkan), tanfiidzh (mengamalkan), ta’liim (mengajarkan) dan tahkiim (menjadikannya sebagai pedoman), maka Insya Allah kita telah berhasil menjalani pelatihan di bulan Ramadhan ini. Namun jika tidak menambah komitmen apapun, maka sebenarnya Ramadhan tidak memberikan pengaruh apa-apa kepada kita. Al-hasil, Ramadhan tetap berlalu dari tahun ke tahun, tetapi kita tidak mendapat kemajuan apa-apa kecuali pertambahan umur yang kian mendekati kematian.
Nah, muslimah yang kusaksikan di kantor maskapai tersebut, adalah sedikit gambaran muslimah yang Insya Allah mendapatkan hasil dari tarbiyah Ramadhan, yaitu komitmen terhadap nilai-nilai Al-Quran. Salah satu nilai Al-Qur’an yang harus dipegang (dipatuhi/dikomitmeni) oleh muslimah adalah mengulurkan jilbabnya.
Bagi orang-orang tertentu menjalankan atau berkomitmen kepada nilai-nilai Quran yang pada awalnya adalah asing, memang akan terasa berat. Tetapi di situlah keimanan akan diuji.
Sesungguhnya, nilai Al-Qur’an yang harus kita komitmen kepadanya, cukup banyak dan beragam. Ada yang pangkal (pokok) ada yang cabang. Kita bisa mengukur komitmen kita sendiri sebagai bahan evaluasi apakah kita berhasil atau tidak menjalani tarbiyah Ramadhan ini.
Semoga kita adalah golongan yang berhasil dalam tarbiyah Ramadhan dan menjadikan Al-Quran sebagai referensi utama dalam kehidupan. Amin
Waallahu’alam bishshawwab.