Menjelang datangnya bulan suci Ramadhan, selalu ada sesuatu yang mengharu biru bermain pada kisi kecil dalam jiwa saya. Sesuatu yang selalu membuat saya rindu, dan ingin terus berada dalam suasana khidmatnya bulan penuh maghfirah itu. Sesuatu yang mampu menghantarkan saya pada syahdunya ‘pertemuan’ yang selalu dinanti.
Bukan pemandangan yang baru lagi, kalau bulan ramadhan hampir menjelang, dikota-kota besar, segerombolan orang-orang dengan niat kuat mulai mengumpulkan bahan makanan pokok, berbelanja ini itu, mengeluh dengan melonjaknya kenaikan harga, berkerut-kerut memikirkan menu-menu apa yang akan dihidangkan selama satu bulan ramadhan nanti. Bahkan itu tetap saya temukan hingga saat ini. Di beberapa milis kuliner, bahkan sudah ada promosi kue kering dan katering selama ramadhan. Duh, belum juga ramadhan mulai, sudah pada promosi kue kering segala? Please deh ah…
Hal begini, tak pelak pernah saya alami juga, ketika masih tinggal dengan kedua orangtua. Mulai berbelanja kebutuhan, dan ngider ke toko-toko yang mulai disesaki manusia. Layaknya anak kecil, saya merasa senang saja pada waktu itu. Kue-kue kering sudah saya ancer-ancer yang mana saja. Makanan dan minuman yang enak sudah bermain-main dimata saya. Lalu tanpa sadar cap ‘beginilah ramadhan’ mulai nempel pada otak saya. Walaupun dalam sebulan nantinya, saya dan keluarga berusaha untuk tidak absent taraweh dan tadarus, tapi tetap ada ruang kosong. Hikmah dari ramadhan rasanya kok susah banget didapatnya?
Kemudian tidak berlebihan, kalau saya katakan, khidmat dan hikmah bulan ramadhan bisa benar-benar saya rasakan ketika saya telah berusia 21 tahun. Ketika itu saya dengan beraninya terbang dan hidup ke tengah hutan Kalimantan demi sebuah idealisme. Jauh dari peradaban kota, dengan relanya dikelilingi oleh bau asap pabrik, setumpuk kertas, sederet data dan kehidupan monoton serta banyak bergaul dengan kaum adam. Lalu, di mana letak penjelasan pada kalimat ‘khidmat dan hikmah ramadhan bisa benar-benar dirasakan ketika telah berusia 21 tahun’? Coba deh bayangkan! Di tengah hutan yang minim fasilitas, nggak mungkin ada pasar ramadhan, apalagi mau belanja ini itu, lebih baik tidak pernah punya harapan seperti itu deh.
Yang ada, malam menjelang ramadhan, di asrama, tempat tinggal saya dan beberapa karyawan wanita, kami mulai berkumpul, saling menangis, saling menguatkan, saling meyakinkan. Menangis karena jauh dari orangtua dan sanak saudara, menangis karena tidak pernah menyangka akan melewatkan ramadhan di tengah hutan.
Saling menguatkan dan meyakinkan karena datangnya ramadhan tidak akan membuat kita merugi setitik pun, justru sebaliknya, akan bertaburan pahala dan keberkahan bagi umat manusia yang bertaqwa, gemar bersyukur dan mencintai sesama. Akhirnya kami pun sadar dan melalui malam-malam selanjutnya dengan tadarus bersama. Subhanallah indahnya! Kegiatan setelah itu nggak kalah indah.
Setiap subuh, selesai sahur bersama, saya dan beberapa teman wanita akan bergegas ke masjid yang jaraknya sekitar 2km, melewati aliran sungai kecil, melewati rimbunnya pohon besar, melawan rasa kantuk, hanya ingin bisa berjamaah subuh. Lalu ketika masuk saat berbuka puasa, walau hanya dengan secangkir teh hangat, semangkuk mie rebus/goreng, rasanya tetap sama, indah banget. Berlomba ke masjid untuk taraweh pun nggak kalah seru, kami bahkan selalu dinanti oleh sebuah bis besar –yang kasian melihat kami, para wanita jalan di jalanan berdebu- dengan setianya mengantar kami kemasjid. (really miss that moment)
Kalau dipikir-pikir, di mana letak nikmat dan indahnya, jika seperti itu saja cerita yang saya panjang lebarkan?
Mari saya tuntun untuk meraba dan merasakan di mana letaknya. Ketika memasuki bulan ramadhan, kita kerap lupa untuk apa kita masih dipertemukan dengan bulan suci ini. Kita kerap lengah, akan agung dan banyaknya kemudahan yang Sang Pemilik Kehidupan berikan pada kita. Untuk sampai pada bulan ini pun, kita terkadang alpa bahwa ini sudah merupakan awal kebaikan yang DIA berikan. Siapa yang bisa menjamin kita akan dipertemukan pada bulan penuh rahmat ini untuk tahun depan? Adakah yang bisa mencium bau umur akan berhenti di mana?
Memasuki bulan suci ini, kita harus bisa lebih mempersiapkan diri, baik jasmani, mengisi ruh agar bisa lebih bersabar dan ikhlas dalam menjalankannya. Memperbanyak istigfhar dan berupaya lebih mesra berdekatan dengan-Nya. Tidak ada larangan untuk berbelanja ataupun mempersiapkan menu-menu selama satu bulan, tidak ada halangan untuk mengais rejeki dengan mulai mempromosikan usaha, karena saya pun yakin itu untuk kebaikan juga, dan bulan ini memang bulan yang terbaik dari segala bulan. Namun tidak berlebih-lebihan, itu yang lebih penting. Lebih bisa menahan nafsu yang bisa menelan kita hidup-hidup. Lebih mampu menjadikan bulan ramadhan sebagai pesantren, sebagai tempat pembelajaran kita, agar bisa lebih bisa menempa ilmu hidup akhirat.
Insya Allah, kita masih diberi kenikmatan untuk merasakan indahnya ramadhan sampai saat ini. Dengan kemurahan-Nya, menjangkau dan meraih, mengingatkan bahwa kita masih memiliki amanah untuk selalu menyebar ilmu kebaikan. Insya Allah kelak akan dibagikan menjadi wasiat.
"Seorang Muslim adalah saudara Muslim yang lainnya. Siapa saja yang berusaha memenuhi kebutuhan saudaranya, Allah akan memenuhi kebutuhannya. Siapa saja yang menghilangkan kesusahan dari seorang Muslim, Allah akan menghilangkan salah satu kesusahannya pada Hari Kiamat. " (HR Muttafaq ‘Alaih)
Marhaban ya Ramadhan…
Selamat menunaikan ibadah shaum ramadhan 1428 H Minal aidin wal faidzin