“Essalamu’alaikum.” Salam seorang bapak paruh baya membuyarkan lamunan kami yang panjang. Lamunan yang jauh menerawang ke zaman seorang suci yang telah syahid di tanah ini. Eyup Cami adalah lokasi pemakaman seorang sahabat Nabi, Abu Ayyub al-Anshari ra., yang syahid di pintu gerbang benteng pertahanan Byzantium kala itu. Ia syahid di tanah ini kala berupaya mewujudkan bashirah Nabi Saw. atas takluknya Konstantinopel di tangan umat muslim. Kini bangunan masjid di sisi makamnya yang berarsitektur khas Dinasti Usmani selalu diramaikan dengan aktifitas peribadatan umat Islam. Subhanallah, telah menjadi rahasia umum bahwa jumlah jamaah shalat shubuh di masjid ini setiap harinya sama dengan jumlah jamaah shalat jumat.
Secara refleks pun kami bersegera membalas salamnya sambil menjabat tangannya yang sedari tadi ia julurkan. Dengan bahasanya yang belum terlalu kami kuasai, ditambah lagi dengan terlalu cepat pula ia mengucapkannya, namun dapat kami sadari bahwa ia sedang meminta kami untuk foto bersamanya. Di tanah Usmani ini, memang yang menjadi bule adalah orang-orang seperti kami, orang-orang berwajah asia. Bukan hanya bapak paruh baya ini sebenarnya, sebelumnya juga ada seorang ibu yang telah berhasil menebak dari awal bahwa kami adalah orang Indonesia langsung meminta foto bareng. Sesi potret-memotret pun berlangsung dengan hikmat.
“Siz nereden? (kalian dari mana?) ” tanyanya penasaran. “Endonezyadan Hocam.” Sambil senyum-senyum kami menjawab. Sebutan ‘hocam’ kami sematkan untuk kata ganti namanya sebagai bentuk penghormatan kepada orang yang lebih tua. “Elhamdulillah, Endonezya çok guzel (Indonesia sangat bagus).” Kata-kata berbahasa arab yang berawal alif-lam syamsiyyah maupun qomariyyah mereka lafalkan dengan awalan huruf ‘e’, seperti elhamdulillah, estaghfirullah, dan yang lainnya. Selanjutnya kalimat-kalimat memuji dan mendoakan Indonesia mengalir dari lisannya. Keserasian antara gerakan tangan dengan mimik wajah di saat berbicara menjadi ciri khas orang-orang Turki. Allah razi olsun, ‘semoga Allah memberkahimu’ berkali-kali ia ucapkan. Kemudian ia merangkul dan mengusap-usap kepala kami sambil memanjatkan doa. Ia sangat menyayangi dan mengayomi kami sepertihalnya seorang ayah mengasihi anaknya sendiri.
Jumlah umat muslim terbanyak dan keramah-tamahan orang-orang Indonesia di saat berhaji menjadi alasan orang-orang Turki untuk kembali ramah dan tamah kepada orang Indonesia. Di saat mereka tahu bahwa yang di hadapannya adalah orang Indonesia, biasanya mereka akan selalu berkomentar “Endonezya’da muslimler çok var ve Endonezyalılar çok iyi, di Indonesia orang-orang muslim sangat banyak dan orang-orangnya sangat baik.”
Alasan-alasan seperti ini sebenarnya adalah alasan-alasan yang tercipta dari indahnya persaudaraan antar sesama umat Islam, atau yang lebih dikenal dengan istilah ukhuwwah islamiyyah. Merasa satu iman, satu naungan, dan satu pandangan menjadikan umat manusia yang beraneka suku dan budaya bersatu padu di bawah naungan Islam. Rasulullah Saw. bersabda, “Perumpamaan mukmin dalam hal saling mencintai dan berkasih sayang adalah ibarat satu satu tubuh, apabila satu organnya merasa sakit, maka seluruh tubuhnya turut merasakan hal yang sama, sulit tidur dan merasakan demam.” (HR. Muslim).
Islam mampu menjadikan elang di padang pasir menjadi merpati yang penyayang. Sebaliknya, Islam juga mampu menjadikan merpati yang lemah lembut menjadi elang yang gagah perkasa di kala gangguan dan ancaman menghadang.
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu jadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.(QS. Al-Imran ayat 103)
Muhammad Reza Fadil,
Istanbul, 08 Oktober 2013