Ketika kita melihat masjid Al-azhar Cairo, tentu akan terbesit ketakjuban di benak kita, betapa Al-azhar sangat memperhatikan nilai-nilai pendidikan, betapa Al-azhar sangat memperhatikan fungsi masjid tidak hanya sebagai tempat shalat saja. Masjid yang di bangun oleh Jauhar Atssaqily itu, mendapatkan ruang tersendiri di hati masyakat Cairo pada umumnya dan para wafidin (pendatang) seperti kita ini.
Ketika kita berbicara tentang masjid, tak jarang di hati kita hanya terbayang seorang yang menghadap kiblat seraya melaksanakan ritual yang kita sebut dengan shalat, benar masjid memang tempat kita shalat, menghadap, berdiri bersujud pada Allah yang Maha Kuasa, tapi masjid lebih dari itu masjid terdapat beberapa dimensi yang sangat menjujung tinggi nilai-nilai kehidupan
Masjid media perkumpulan berbagai golongan, tak ada satu media pun selain masjid yang membiarkan masuk meski itu waktu malam, waktu siang, musim panas ataupun musim dingin, tidak pernah menolak orang yang sudah renta, tidak pernah juga menolak oirang yang masih kecil. Lebih dari itu tidak ada satupun kecuali masjid suatu tempat yang di sana di ajarkan berbagai ilmu, mulai dari ilmu agama sampai ilmu perang sekalipun diriwayatkan “Sesungguhnya seorang habasyah bermain dengan alat perangnya di masjid Nabi, dan Nabi pun melihat, dan itu pun juga disaksikan oleh Aisyah dan seakan-akan itu tidak membuat Umar kagum karena mungkin karena saking kerasnya Umar, maka Umarpun ingin melempar mereka dengan kerikil tapi Nabi melarang” tinggalkan mereka wahai Umar!”.
Dari hadis ini para ulama mengambil hukum bolehnya bermain dengan alat perang di masjid, mereka berpendapat bahwa sesuatu yang berkaitan dengan maslahat kaum muslimin di perbolehkannya dilakukan di dalam masjid. Dalam sejarah perjalanan Islam masjid sering di jadikan sebagai perkumpuan antar golongan, tempat parlemen bermusyawarah, saling memberi kefahaman, tempat saling berkenalan, dan tempat tempat pendidikan perpolitikan.
Suatu ketika ketika menjadi khalifah abu bakar pernah menyampaikan khutbah perpolitikannya, saat itu ia pertama kalinya diangkat sebagai Khalifah, “wahai manusia, sesungguhnya aku pemimpin kalian, dan aku bukanlah sebagus-bagusnya dari kalian, ketika kalian melihatku dalam kebaikan maka tentukanlah itu kepadaku, tapi jika kalian melihatku dalam kesalahan maka luruskanlah aku”
Islam sangat menganjurkan shalat berjamaah di masjid, di bandingkan shalat sendiri di rumahnya, sebagaimana Islam menjanjikan bagi yang berjamaah dilipatkan pahalanya 27 kali dari shalat biasa, Islam sangat mengajarkan saling mengenal tidak saling mengingkari, saling berdekatan bukan untuk saling berjauhan, saling mencintai bukan saling membenci, saling bersalam-salaman bukan saling berceai berai.
Hakikat agama ini bukanlah hanya apa yang kita bayangkan di dalam otak saja, apa yang kita ucapkan dalam lidah saja, lebih dari itu agama adalah realita yang dapat menghubungkan antara manusia yang satu dengan manusia yang lain dengan hubungan yang sinergis, bagaimana agama memberi ruang bagi manusia untuk menjadi insan yang ideal dimata manusia dan di mata Tuhan. Sebagian dari itu adalah kebebasan, persamaan, persaudaraan. Realita inilah yang dapat kita temui di masjid
Ketika kita melakukan ruku’ lalu kita bersujud, kita merendahkan diri kita semua hanya kepada Dzat yang Satu, inilah yang kita sebut sebagai kebebasan hati, adapun kebebasan yang kita temui ketika kita melihat imam kita salah dalam gerakan, dalam bacaan kita di tuntut untuk membenarkan apa yang salah itu, dan membenarkan pada yang benar. Khatib bukanlah seorang yang diktator yang bebas berekspresi di atas mimbar, tapi ia di tuntut pertanggung jawaban, ketika ia salah maka umatlah yang harus mengingatkannya, dan meluruskannya ketika ia menyimpang ke jalan yang salah
Yang kedua ialah persaudaraan, umat Islam shalat di pimpin oleh seorang Islam, menyembah satu orang Tuhan, membaca satu surat, menghadap satu kiblat dan mengerjakan amal yang satu, ruku’ yang satu, begitu juga sujud, kita bersama-sama satu pekerjaan, satu perkataan, oleh karena itu ini sesuai dengan ayat Alhujurat: 10 yang artinya “Sesungguhnya Orang-orang mukmin itu bersaudara”
Yang ketiga adalah persamaan, inilah yang dapat kita ketahui secara kasat mata, saat kita melihat orang kaya berjajar dengan dengan orang fakir, seorang pemimpin berjajar dengan rakyat jelata, seorang yang pintar berjajar dengan orang yang bodoh. Di masjid tidak kita jumpai seorang presiden khusus di barisan yang pertama, seorang yang fakir di barisan yang paling belakang, semua seperti satu sisir, semua sama. Berdiri dari di samping pundak yang satu kepundak yang lain, tak ada pembedaan di antara mereka.
Islam adalah agama yang indah, oleh karena itu keindahan yang telah diberi oleh Islam, jangan sampai hilang hanya karena kita sebagai umatnya tidak mau melaksanakan keindahan itu. Wallahu a’lam