Beberapa waktu lalu, salah sorang kawan berkunjung ke rumah. Kedatangannya tidak terlalu sering, malah bisa dikatakan termasuk jarang untuk standar kunjungan yang biasa dilakukan kawan-kawan lain. Sebab biasanya, jarak dua atau tiga mahattah (halte) termasuk dekat untuk ukuran kita yang bermukim di perkampungan sepuluh ini. Hanya cuma merogoh kantong satu pond, bisa digunakan untuk pulang pergi. Malah biasanya juga cukup jalan kaki.
Kami bertemu disela-sela kesibukan masing-masing. Setiap jumpa dia bilang, langkahnya menuju kediaman saya karena memang ia jenuh dengan aktivitas belajar. makanya ia datang untuk sekedar bersilaturahmi. Dan seringnya, kalau dia sudah datang pasti ada saja topik yang didiskusikan.
Bermula dari diskusi ringan. Saya, dia dan kawan serumah saya. Saya akui, kawan satu almamater saya itu orangnya memang sangat senang berfikir. Dengan raut wajah serius, bertengger kaca mata, dan rambut ikal sedikit dihiasi rambut putih dikepalanya, ia diberi label sebagian kawan sebagai sorang yang teoritis. Karena setiap omongannya, cara berfikirnya syarat dengan analisa-analisa ringan dan perenungan. Bahkan sampai ada yang bilang, ia Socrates abad sekarang. Ya, walaupun itu berlebihan, tapi memang renungan-renungan sering buat kami berfikir. Dan pertanya-pertanyaannya selalu memunculkan ide baru.
Topik pertama, kami membincangkan soal teknologi. Memang kedengarannya lucu, kita yang kesehariannya belajar ilmu agama di bangku Azhar, malah bicarain teknologi. Tapi ya itulah adanya. Penasaran melihat perkembangan teknologi yang ada, membuat kami sedikit melihat dan menghubung-hubungkannya dengan realitas agama.
Sampailah pada persoalan ruang dan waktu. Dia bilang, salah satu keberhasilan teknologi sekarang bahwa ilmuwan telah mengungkapkan misteri ruang dan waktu. Apa yang mereka temukan tentang partikel-partikel kecil dan atom adalah teknologi. Sampai akhirnya, seorang Einstein membuat bom Atom sebagai senjata pemusnah massal. Lihat saja apa yang terjadi di Hiroshima dan Nagasaki, bom yang besarnya lebih kecil dari pesawat yang bawa bom itu sendiri, bisa meluluhlantahkan dua kota besar yang ada di Jepang. Bukan hanya itu, beberapa saat setelah kehancuran kota tersebut, cuaca yang ketika itu mendung dan turun hujan, kemudian saat semua penduduk kota yang selamat ketika itu kehausan, langsung meminum air hujan tersebut. Wal hasil, semua yang minum juga meninggal. Sebab hujan yang turun adalah proses uap yang diambil dari zat kimia bom yang tersisah.
Lalu saya melontar pernyataan; kalaulah ruang-waktu itu sebegitu dahsyat, saya berfikir sekat dimensi alam nyata dan alam gaib juga bisa dihilangkan. Hipotesanya, sebut saja Jin dan alamnya termasuk gaib. Kalau dilihat dari komponen ciptaannya, jin terbuat dari api. Dalam bahasa arabnya “nar”. Kata “nar” ini adalah pecahan dari kata “nur” artinya cahaya. Berarti kesimpulannya, Jin dan alam sekitarnya tidak terlihat karena peredaran alam jin secepat bahkan lebih cepat dari cahaya. Pertanyaannya kemudian, jika ada ilmuan yang bisa menemukan alat yang bisa melihat kecepatan cahaya bergerak, berarti memungkinkan untuk mengungkap tabir rahasia alam jin. Hanya saja, karena kami bukan ilmuan, dan tidak tahu banyak mengenai fisika dan metafisika, perinsipnya kalau Allah menghendaki semua pasti terjadi.
Kemudian, diskusi ini berlanjut pada seputar masalah tujuan. Dia bertanya, kira-kira apa sih tingkat puncak kenikmatan dari ibadah. Sebab yang dia rasakan, sewaktu ramadhan lalu, dirinya bisa dibilang puas beribadah. Malahan frekuensi ibadanya meningkat drastis, tapi malah justeru yang timbul adalah kebosanan. Jadi apa yang dilakukan para sufi, dimana letak nikmatnya ibadah tersebut. Sementara rutinitas ibadah yang dilakukan dalam artian formal seperti shalat dan lain sebagainya, terkadang kalau sudah sifatnya addictif, maka akan mengabaikan kehidupan dunia.
Lantas, saya balik bertanya kira-kira apa makna ungkapan salah seorang sufi wanita yang bernama Rabiatul adawiyah. Katanya; dia beribadah bukan berharap surga dan bukan pula takut neraka. Dan teringat juga salah satu lirik lagu Crisye; jika surga dan neraka tak pernah ada, masihkah kita sujud pada-Nya.
Satu hal yang saya garisbawahi, kejayaan Islam yang diperoleh para pendahulu kita, justeru terletak pada tujuan murni yang hendak mereka capai. Bahwa kekuasaan Islam yang semula berawal dari semenanjung kecil Arabia, bisa meluas hingga dua pertiga dunia. Kenapa bisa seperti itu, karena mereka memahami fungsi mereka sebagai pemakmur bumi yang dibingkai dalam ikatan ibadah.
Dalam setiap tindak tanduk keseharian mereka, semua berjalan dalam rangka ibadah. Dan semuanya diikat kembali dengan tali keikhlasan. Perintah Allah tentang ibadah juga dirangkaikan dengan kata ikhlas. Dan sebagai motivasi, ada hadis yang menggariskan ibadah dengan senantiasa berinovasi dalam amal dunia. Dengan beribadah seolah melihat Allah, sekiranya pun tidak terlihat, dijamin Allah akan melihat apa yang kita kerjakan.
Di sinilah peran ikhlas tersebut. Ikhlas bukan pasrah, tapi ikhlas adalah tujuan tanpa batas. Sebab objek yang dituju adalah Allah. Ia tak dapat terlihat, berarti setiap langkah usaha yang dibuat, terus akan berjalan. Selama masih ada kesempatan hidup, maka inovasi harus ada. Biarlah semua Allah yang menilai usaha kita.
Saya katakan, coba anda buat sesuatu tanpa embel-embel dibelakang. Tujuannya, bukan untuk dipuji, jadi kaya, terhormat atau lainnya. Satu aja, arahkan tujuan anda hanya kepada Allah. Apa yang akan anda rasakan, anda tak akan mengeluh lelah, bosan, jenuh dan lain sebagainya. Justru, jika tujuan itu berhasil, keridhaan Allah sudah dijamin dan bisa jadi anda akan dipuji, kaya serta terhormat di mata manusia.
Itulah ikhlas, tujuan tanpa batas memotivasi kita untuk berbuat terus lebih baik. Karena Allah melihat semua apa yang kita kerjakan.