“ Ayah, kenapa kita kalau Lebaran Haji harus potong Kambing?” anak ke 3 ku Zidan bertanya, saat kami sedang mengantar kambing untuk Qurban ke masjid.
“ Karena itu sudah menjadi kewajiban kita sebagai umat Islam, untuk melaksanakannya sayang “ ujarku sambil memegang tali tambatan kambing.
“ Kenapa menjadi kewajiban ayah, kan kasihan kambingnya jadi pada mati dipotong lehernya….. iiiiih Zidan ngeri melihatnya!” lanjutnya sambil meringis.
“ Lho kan Zidan sudah pernah bilang, kalau Guru TPA pernah bercerita kita harus mengikuti perintah Allah seperti yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim saat harus menyembelih anaknya Nabi Ismail”, kataku berusaha menghilangkan kengeriannya.
“ O iya ya, Zidan lupa cerita tentang Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Karena Nabi Ibrahim mengikuti perintah Allah, lalu Nabi Ismail diubah menjadi gibas. Gibas itu sama dengan kambing ya Yah?” ketakutannya sudah mulai sirna dari wajah lugunya.
“ Ya Gibas itu kalau di Indonesia sama dengan domba. Atau kambing” aku berusaha menjelaskan pada dia, agar kengeriannya terhapus dengan kisah para NabiAllah.
“ Terus dagingnya untuk apa Yah? Sebegitu banyak kambing yang dipotong, malahan itu Zidan lihat ada sapinya juga. ” katanya kembali bersemangat.
“ Nanti setelah di potong, daging hewan qurban itu di bagikan pada orang yang membutuhkannya. Zidan lihat kan, kalau disekeliling komplek kita masih banyak yang kurang mampu. Kepada mereka itulah daging qurban diberikan. ” sambutku.
“ Iya ya Yah, banyak sekali orang yang nggak mampu punya rumah, sampai-sampai rumah kontrakan milik ayah yang di pinggir komplek itu nggak pernah kosong. ” lanjutnya, aku menganggukkan kepala menyetujui ucapannya.
“ Zidan jadi ingat sama si Ujang deh Yah” katanya kemudian dengan wajah sedikit sedih.
Memang begitulah mimik anak-anak, gampang berubah dalam beberapa saat, takut, gembira, kemudian sedih lalu gembira lagi. Tapi kali ini ada yang lain dari ucapan terakhirnya itu. Wajahnya cukup lama muram, tampak belum bisa melupakan hal yang ada di benaknya. Aku jadi ingin mengetahui apa yang sedang dipikirkannya.
“ Ngomong-ngomong Ujang yang mana ya? Lalu kenapa Zidan kelihatan sedih? Kataku berusaha mengorek keterangan darinya.
“ Masak Ayah lupa sama Ujang. Dulu kan dia sama Emaknya pernah tinggal di rumah kontrakan Ayah. ” ujarnya berusaha mengingatkanku.
Aku berusaha mengingat kembali siapa saja yang pernah menyewa kontrakan milik kami. Aku teringat memang dulu ada seorang janda yang tinggal bersama seorang anak laki-laki sebaya dengan anakku Zidan. Tapi seingatku mereka tinggal tidak terlalu lama, kurang lebih hanya sembilan bulan.. Dengan terpaksa aku tidak mengizinkan mereka tinggal lebih lama di kontrakan setelah aku mengetahui pekerjaan Emaknya. Dari banyak orang kudengar si Emak bekerja di warung remang-remang sekitar pangkalan truk. Karenanyalah anak laki-lakinya lebih sering bermain dengan anakku saat dia “dinas” siang ataupun malam hari. Karena kebetulan kontrakan tersebut terletak tidak terlalu jauh dari rumah kami di belakang komplek. Aku tidak ingin kontrakkan milik kami dihuni oleh pekerja yang mencari nafkah di tempat-tempat seperti itu. Lagi pula sebagai pengurus DKM masjid di komplek, aku tidak mau memberikan citra buruk pada para jamaah.
“ Ayah sudah ingatkan?” seakan dia sudah tahu kalau aku kembali ingat pada si Ujang. Aku menganggukan kepala.
“ Tinggal di mana si Ujang sekarang ya Yah? Kasihan Ujang sama Emaknya tidak punya rumah, dia pasti kedinginan musim hujan ini ya Yah? Kenapa sih dulu dia pindah dari kontrakan Yah? Memang Ayah ya yang menyuruh mereka pindah?” pertanyaannya bertubi-tubi menghampiriku.
“ Zidan tahu, kalau Allah tidak suka pada orang yang mendapatkan uang dari pekerjaan yang tidak halal. Apalagi pekerjaan itu sampai merugikan orang lain dan sangat dibenci oleh Allah” kataku berusaha menerangkan yang sesungguhnya dengan cara yang lembut. Dia mengangguk.
“ Zidan juga tahukan kalau ada orang jahat, kita tidak boleh berteman dengannya?” lanjutku sambil menatap wajahnya.
“ Tapi Ujang sangat baik Yah. Dia yang mengajari Zidan membuat perahu dari batang pisang, lalu membuat layarnya dari plastik bekas. Ujang juga dulu belajar ngaji di TPA sama Zidan lho Yah. Suaranya bagus kalau sedang belajar Adzan. Terus banyak sekali doa-doa yang Ujang hapal. Oh iya, Dia malah yang membela Zidan waktu Angga yang nakal itu mau mengambil perahu buatan Zidan. Untung tenaga Ujang kuat, sampai-sampai Angga takut melawannya. Pokoknya Ujang baik deh Yah, nggak pernah jahat sama siapapun, apalagi sama Zidan. ” ujarnya beruntun, tidak menyetujui ucapanku.
Aku jadi tidak enak hati menghadapinya. Anakku belum mengerti bila yang kumaksud adalah Emaknya, bukan anaknya. Sulit bagiku untuk menerangkan hal yang satu ini, hal yang belum pantas didengar oleh anak seumur anakku.
Aku kembali teringat saat Mak Enoh panggilan janda beranak satu itu, menghiba meminta perpanjangan kontrak rumah, dengan alasan saat itu dia tidak mempunyai uang cukup untuk mencari rumah kontrakan lain. Selain itu mereka hidup jauh dari sanak saudaranya setelah ditinggal mati sang suami, ayah dari Ujang. Demi menjaga “nama baik” dengan terpaksa aku menolak, walaupun saat itu aku tahu kalau sangatlah sulit mencari rumah kontrakan semurah milik kami, yang memang mematok harga di bawah harga pasaran, serta pembayaran dengan cara cicilan.
Ah… Kenapa aku jadi memikirkan hal yang sudah cukup lama berlalu itu?
Apa karena tiba-tiba anakku menanyakan peristiwa itu kembali?
“ Kira-kira Ujang dapat bagian daging Qurban juga nggak ya Yah?” pertanyaannya mengagetkan lamunanku. “kan dia termasuk orang tidak mampu juga!”
Aku cuma bisa menganggukkan kepala.
“ Tapi kalau dia sudah tidak tinggal di sini lagi, siapa yang mau antarkan daging Qurbannya Yah?” tampaknya dia belum puas dengan anggukan kepalaku.
“ Mudah-mudahan di tempat tinggalnya yang baru, Ujang juga dapat daging Qurban”
kelu lidahku menjawabnya, sementara anak laki-lakiku kini terdiam tanpa merespon jawabanku.
Aku merasa berdosa terhadap anak yatim itu. Kenapa anak sekecil Ujang sudah mendapat imbas dari persoalan orang dewasa. Memori di otakku terputar kembali saat melihat mereka mengemasi barang-barang yang tidak seberapa itu keluar dari kontrakan kami. Sempat kulihat raut bingung dan sedih di wajah “sahabat” anakku. Saat itu keputusanku sudah bulat, pun ketika isteriku menyarankan agar aku memberi tenggang waktu beberapa minggu kepada mereka. Lagi pula menurut isteriku, Mak Enoh terpaksa bekerja di warung tersebut karena kebutuhan ekonomi. Demi menghidupi Ujang anaknya, dia rela “mengorbankan” rasa malunya bekerja sebagai tukang masak di tempat “rawan” tersebut. Memang menurut beberapa tetangganya, yang juga mengontrak rumah kami di sebelahnya, masakan Mak Enoh cukup enak. Tapi aku tak mudah percaya begitu saja, aku lebih percaya pada omongan warga komplek yang sering melihat Mak Enoh pulang malam. Warung apa yang buka hingga larut malam? Pikirku penuh kecurigaan.
Memang beberapa minggu sebelumnya, janda itu sempat meminta izin padaku untuk membuka warung makanan di depan kontrakan kami yang disewanya. Aku menolak, karena sebelumnya kami juga melarang salah seorang penyewa membuka kios kecil di kontrakan kami. Pikirku, tidak adil bila aku memberikan perlakuan yang berbeda, lagi pula dengan adanya warung atau kios, akan merusak keindahan dan kebersihan lingkungan sekitar kontrakan. Apalagi kalau sampai merusak bentuk bangunan yang sudah aku dirikan dengan susah payah itu, tentu saja aku menolak.
Tapi kini ingatan itu justeru menyerang batin-ku. Kenapa begitu mudahnya dulu aku men”judge” seseorang dengan mengorbankan nurani, hanya karena pendapat dari beberapa warga. Betapa mudahnya aku menghukum tanpa mempertimbangkan rasa “keadilan” untuk anak sekecil Ujang. Untuk apa aku ber-Qurban kambing setiap tahun, bila untuk ber-emphati saja aku tidak mampu. Bahkan Zidan anakku lebih mampu merasakan apa yang dirasakan sahabatnya.
Tak terasa air bening menggenang di ujung mataku. Bila saja dulu aku mengizinkan Mak Enoh membuka warung, tentu hidup mereka akan lebih baik. Anak yatim itu bisa terus bermain dengan anak kami, mengajari membuat perahu dengan kecekatan tangannya. Kini, tak kuat aku menahan letupan sejuta rasa bersalah yang menghujam dada. Aku peluk anakku yang masih terdiam. Penyesalan itu datang begitu terlambat. Apa jadinya bila Ujang dan Emaknya kini benar-benar terlunta-lunta, kedinginan menghadapi hujan, kegelapan menghadapi malam, kelaparan menghadapi hari-hari ke depan. Siapa yang akan mengantarkan daging Qurban pada mereka?
Ya Allah, biarkan kini aku memohon padaMu,
semoga Mak Enoh dan Ujang tidak terlunta-lunta seperti dugaanku,
semoga mereka bisa bertemu “malaikat” penolong yang mempunyai nurani tidak seperti aku, yang “buta” oleh “keadilan dunia” yang semu.
Ampuni hambaMu yang hina ini ya Allah,
yang tak pantas menyentuh SyurgaMu,
karena terlalu kaku tangan ini untuk menyentuh kepala anak yatim,
karena tak sanggup mempersembahkan “Qurban Sesungguhnya” dalam kehidupan.
(Antara Cikini – Bojong Depok Baru 05 12 07)