Saya kurang begitu ingat kapan tepatnya peristiwa ini terjadi. Tapi saya ingat satu hal. Waktu itu penerimaan raport kelas satu SMA. Saya, untuk kedua kalinya bertindak sebagai wali murid bagi adik perempuan saya. Anak terakhir dari sepuluh bersaudara.
Sebenarnya tidak ada hal yang terlalu istimewa dalam acara pengambilan raport. Saya juga tidak terlalu kaget dengan prestasinya yang masuk tiga besar (dia sudah melakukannya sejak kelas satu SD). Memang saat semester satu, dia cuma masuk sepuluh besar. Kalau tidak salah ranking delapan (prestasi yang kemudian membuatnya sangat shock). Dan ini kemudian membuatnya belajar lebih giat lagi. Sebuah akibat yang positif saya pikir.
Saya ucapkan selamat atas prestasinya. Diciumnya tanganku. Lalu kucium keningnya yang mulai ditumbuhi bintik-bintik tanda pubertas. Aku ingin mengajaknya makan sesuatu yang spesial. Mungkin ke rumah makan atau restoran. Tanggal muda begini gajiku masih cukup untuk sekedar membelikannya makanan dengan harga yang tak biasanya. Tapi dia menolak. "Lilis lagi puasa mas, " tolaknya.
"Subhanallah!" batinku. Dia begitu bersahaja.
"Oh, maaf deh kalo gitu. Ya udah. Kamu pengin dibelikan apa? Anggap ini hadiah dari Mas untuk prestasi kamu, " kataku kemudian.
Sejenak dia terdiam.
"Kalo aku bilang, Mas marah nggak?" tanyanya ragu.
Aku jadi penasaran. Apa yang ingin dimintanya. Selama ini, dia memang tak pernah meminta. Bahkan ketika kutawari membeli ini-itu, dia selalu menolak. Baru setelah kubelikan barang tertentu, dia tak kuasa menolaknya. Alasan yang belakangan kuketahui bahwa dia tak ingin merepotkan orang lain dan tak ingin mengecewakan pemberinya.
Pernah suatu ketika aku dapat rizki lumayan banyak dari komisi iklan yang tanpa sengaja aku peroleh. Aku mengajaknya jalan-jalan ke supermarket. Aku ingin membelikannya pakaian atau apapun yang dia inginkan. Tapi kami ternyata pulang dengan tangan hampa. Setiap ditanya kamu pengin beli apa? Dia selalu bilang nggak pengin apa-apa. Sebenarnya agak keki juga waktu itu. Wong disuruh milih beli sesuatu kok nggak pernah mau. Coba kalau orang lain, mungkin tak akan disia-siakan.
"Memangnya kamu mau bilang apa? Selama ini, apa kamu pernah mendapati Mas marah sama kamu. Nggak kan? Bilang aja. Insya Allah kalau Mas bisa mengabulkannya, pasti akan Mas usahakan, " kataku penasaran.
Dia tertunduk sesaat. Seperti menimbang-nimbang. Apakah mau meneruskan permintaannya atau membatalkannya. Tapi sesaat kemudian aku tahu, dia memilih melanjutkannya.
"Mas, Lilis pengin berjilbab pas kelas dua!" ujarnya mantap. Meski lirih, tapi aku tahu dia tegas mengucapkannya.
"Apa?" Sebenarnya aku mendengar permintaanya dengan sangat jelas. Sejelas suara petir yang meledak di siang bolong. Pertanyaanku dengan ‘Apa’ mungkin hanya reaksi keterkejutan.
"Lilis pengin berjilbab pas kelas dua besok, " ulangnya.
Aku tak bisa berkata-kata beberapa saat lamanya. Tapi sama sekali bukan karena aku tak menyetujuinya. Justru sebaliknya. Aku tentu sangat mendukungnya. Berjilbab, bagi seorang muslimah adalah wajib hukumnya. Dan aku tahu itu. Aku hanya tak percaya. Di usianya yang masih sangat muda (15 tahun) dia dengan mantap berniat berhijrah ke jalan Allah. Hatiku basah. Mulutku serasa terkunci. Dua kelopak mataku seperti berubah menjadi mata air. Dari keempat ujungnya, meluber air yang tak kuketahui asalnya.
"Alhamdulillah…" ucapku tanpa keluar suara. Kemudian, kukecup keningnya sekali lagi. Dia kelihatan bingung karena aku belum menjawab pertanyaanya.
"Mas belum jawab pertanyaan Lilis, " tuntutnya.
Aku menghela nafas panjang. Menghapus air mataku.
"Apa kamu sudah memikirkannya masak-masak?" tanyaku kemudian. Aku sebenarnya agak terkejut dengan kata-kata yang mendadak muncul dari mulutku barusan. Kenapa aku menanyakannya? Toh dia memang sudah yakin benar untuk melakukannya. Sungguh ini bukan kata-kata yang ingin kuucapkan. Aku, sebaliknya ingin berjingkat dan bersorak sambil mengucapkan syukur kepada Allah atas hidayah yang diberikan-Nya pada adikku. Tapi demi berpikir bahwa usianya baru 15 tahun, aku kemudian membenarkan pertanyaanku yang barusan kuucapkan. Ya. Kita tahu sendiri. Kayak apa pergaulan anak-anak seumurannya yang sangat dipengaruhi sinetron di TV. Dari gaya ngomong sampai gaya berpakaian. Semuanya jarang sekali yang Islami. Karena itu aku menanyakan komitmennya yang ingin hijrah. Jangan-jangan dia hanya ikut-ikutan teman-temannya yang berjilbab modis. Berjilbab, tapi rambutnya nyembul di dahi atau keluar di ujung kerudung. Atau berjilbab, tapi seluruh lekuk tubuhnya bertonjolan. Atau berjilbab, tapi begitu jongkok, celana dalamnya kelihatan. Demi Allah, aku tidak ingin itu terjadi pada saudara kandungku. Aku tidak ingin jilbabnya justru membawanya ke kobaran api neraka.
Bagiku, berjilbab bukan sekedar menutupi tubuh dan rambut. Tapi lebih penting lagi adalah menutupi aurat dan hati dari kemaksiatan. Menutupi kehormatan sekaligus menjaganya ke derajat yang seharusnya. Dan membuat seorang wanita menjadi wanita yang sesungguhnya. Selain tentu saja mengamalkan perintah agama.
Saat itu, jujur saja aku juga memikirkan masalah biaya. Ketika aku memperbolehkannya mengenakan hijab, maka sebagai konsekuensinya, aku juga mesti mengganti seluruh pakaiannya dengan pakaian-pakaian yang sesuai. Padahal gajiku selalu habis untuk mencicil motor, membayar SPP-nya, membayar SPP kakaknya yang semester dua dan buat makan serta bayar kontrakanku sendiri.
"Sudah mas. Lilis sudah sholat istikharoh. dan niat itu semakin kuat. Semakin lama Lilis keluar dengan pakaian begini, akan semakin banyak dosa yang Lilis buat. Lilis tidak mau masuk neraka. Lagian memakai hijab kan sudah wajib hukumnya bagi seorang perempuan, " jelasnya.
Aku kembali menghitung gajiku dalam kepala. Tidak cukup. Tapi Bismillahhirrahmanirrohiim.
"Mas insya Allah pasti mengizinkan. Bahkan sangat mendukung keputusan kamu. Cuma satu hal yang harus kamu ingat. Jangan berjilbab karena ikut-ikutan. Mas ingin kamu berjilbab karena memang itu kewajiban. Kewajiban untuk menjaga kehormatan. Menjaga diri dari fitnah dan kemaksiatan. Mas akan sangat marah kalau suatu hari ternyata kamu melepas jilbabmu. Kalau sampai terbersit keinginan seperti itu meski setitik, mending kamu tidak usah melakukannya sejak sekarang. Jilbabi dulu hatimu. Baru kemudian tubuhmu!" panjang lebar kuutarakan isi hatiku.
"Mas, Isyhadu bi anna muslimun. Bersaksilah, bahwa Lilis adalah seorang muslim. Lilis ingin jadi muslim sejati, " katanya. Kepalanya tertunduk. Ketika menengadah, ada genangan air bening di kedua matanya. Aku memeluknya. Seakan tak ingin melepasnya. Aku tidak ingin kehilangan dia.
Ya Allah. Terima kasih atas nikmat dan karunia yang Engkau berikan padaku. Terima Kasih telah memberiku seoran bidadari sekaligus malaikat yang selalu menjadi pemantik api semangatku untuk terus bekerja dan mengingat-Mu.
Ya Allah. Kuatkan niat kami untuk selalu berjalan di jalan-Mu ya Allah. Jalan yang engkau ridloi. Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat. Bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. Amiin