"Bu, Saya Minta Maaf"

Hari itu, empat hari menjelang keberangkatanku ke luar kota. Ada sebuah training yang harus kuikuti. Cukup lama waktunya, sekitar tiga minggu. Satu minggu terakhir, aku sengaja mengagendakan beberapa kewajiban yang harus aku selesaikan terlebih dahulu. Rasanya, akan lebih lega meninggalkan kantor dan kota Bandung dengan tuntasnya kewajiban-kewajiban itu. Termasuk hari itu.

Ada tiga agenda yang harus kuselesaikan, dan ketiganya mengharuskanku ke luar dari kantor sejenak. Pergi ke sebuah bank untuk mengambil ATM-ku, pergi ke sebuah tempat kursus bahasa asing untuk mengambil CD pesananku dan mentransfer sejumlah uang pembayaran kaos untuk acara kopi darat milis SK. Ketiganya berurutan mengisi organizerku, pada kolom yang menandakan hari itu.

Hari itu, aku datang ke kantor sekitar jam 7. 45 WIB. Aku berencana untuk pergi menyelesaikan ketiga agendaku di atas sekitar jam 10. 00 WIB. Masih cukup ada waktu untuk menyelesaikan tugas-tugasku yang lain.

Pagi itu sudah menunjukkan sekitar pukul 10. 00 WIB pagi. Aku sudah berada di sebuah angkot, menuju ke tempat sebuah kursus bahasa. Tidak lama aku di sana. Pesanan CD-ku sudah ada. Setelah mengambil CD dan mengucapkan terima kasih, aku segera menyetop angkot lagi.

Saat itu tujuanku adalah sebuah bank yang letaknya cukup dekat dengan tempat kursus bahasa itu. Untunglah urusan di bank inipun lancar-lancar saja. Ternyata, ATM-ku sudah bisa diambil. Ah, tinggal mentransfer uang lagi, nih. InsyaAllah semuanya akan selesai sebelum jam istirahat usai, batinku berkata.

Turun dari sebuah angkot, aku menuju ke sebuah bank. Ada kesegaran terasa ketika membuka pintu masuk bank tersebut. Dinginnya AC menyambut kedatanganku. Suasana sejuk mulai menggantikan rasa gerah di tubuhku.

Senyum seorang satpam menyambut kedatanganku. Pertanyaan “ada yang bisa dibantu, Bu?” adalah sambutan yang kedua untukku. Dua buah urutan kejadian yang menjadi standar bagi seorang frontliner di sebuah kantor. Dan terkadang, frontliner adalah ujung tombak sebuah perusahaan, menentukan citra perusahaan tersebut di mata konsumennya. Sebuah tugas yang maha berat.

Segera kujelaskan maksud kedatanganku. Dan satpam itupun memberiku sebuah nomor antrian. Aku belum mengetahui prosedur mentransfer antarcabang di bank tersebut. Selain itu, seorang teman kantor juga memintaku untuk mengeprint buku tabungannya. Prosedur mengeprint buku tabungan di bank itupun, aku juga belum memahaminya. Karena itulah, aku memutuskan untuk menemui costumer servicenya terlebih dahulu. Aku hanya ingin minta penjelasan bagaimana caraku melakukan keduanya.

Nomor antrian sudah di tanganku. Segera kulangkahkan kakiku menuju sebuah kursi tunggu yang berwarna kuning muda. Hmm, terasa empuk. Cukup mampu mengurai lelah di punggungku. Di depanku ada sebuah layar TV. Tampak sebuah nomor antrian. Empat nomor menjelang nomor antrianku. Syukurlah, aku tidak harus lama menunggu.

Tidak beberapa lama, nomor antrianku dipanggil. Terpampang juga di layar TV di hadapanku. Kulihat lagi nomor antrianku, juga nomor meja customer service yang akan melayaniku, sekedar untuk memastikan. Ah, benar nomor antrianku, batinku. Aku berdiri dari tempat dudukku. Mulai mau melangkahkan kakiku menuju ke nomor meja seorang costumer service yang nomornya juga terpampang di layar TV.

Namun, langkah kaki pertamaku juga belum menginjak ubin di depanku, aku melihat sesuatu yang janggal. Antrianku telah digantikan oleh sepasang suami isteri yang baru saja datang di bank tersebut. Mereka tengah bercakap dengan costumer service itu. Aku menatap aneh. Namun, sebelum aku sempat protes, satpam yang tadi menyambutku telah berada di sampingku.

“Maaf, Bu. Mereka prioritas. ”, penjelasan pendeknya memenuhi gendang telingaku. Kulihat sejenak senyumnya. Masih tetap seperti aku datang tadi.

“Maksudnya, Pak? Tapi, kan sekarang giliran urutan antrian saya. ”, aku membantah. Ada kesal merayap di hatiku. Bagiku, urutan antrian adalah sesuatu hal yang harus dipatuhi. Siapa yang datang dahulu, maka dia pula yang mendapatkan pelayanan yang lebih dahulu. Itu prinsipku.

Di sampingku, satpam itu menjelaskan apa yang dimaksud dengan prioritas di bank tersebut. Tapi aku tidak mendengar dengan seutuhnya. Rasa kesal sudah memenuhi hatiku.

“Ok..Ok, kalau begitu”, hanya itu jawabanku, dengan suara yang agak keras. Satpam itupun menjauh dari tempat dudukku, juga tetap dengan seulas senyum di bibirnya.

Aku duduk lagi. Menunggu lagi. Kali ini cukup lama. Mungkin suasana hatiku juga yang membuat penantian itu menjadi lebih lama. Ternyata selanjutnya bukan nomorku yang dipanggil, tapi namor antrian sesudahku. Tapi, kuberanikan diriku untuk menuju meja costumer service itu. Dan ternyata, di sampingku telah ada lagi satpam itu. Tetap dengan senyum yang sama. Dia menjelaskan kejadian yang kualami tadi. Dan segera, si costumer service mempersilahkan aku duduk.

Setelah kupahami penjelasan customer service itu, aku pun menuju ke loket antrian di kasir. Terlebih dahulu, aku mengisi sebuah form aplikasi transfer. Kuamati terlebih dulu form itu. Ternyata, sang satpam sudah berada di sampingku. Senyumnya pun tidak pudar, masih sama. Namun, senyuman itu belum mampu menggantikan kesal di hatiku. Tanpa kuminta, beliau menjelaskan prosedur pengisian form itu. Aku mengikuti petunjuknya.

“Bu, saya minta maaf atas kejadian tadi”, seuntai kata itu meluncur dari bibirnya, di tengah-tengah dia menjelaskan prosedur pengisian form itu padaku. Senyumpun tidak lepas dari kedua bibirnya. Masih tetap sama. Aku terkesiap mendengar permintaan maafnya. Ada perasaan malu menyelusup di dadaku.

Ah, begitu angkuhnyakah diriku? Tampaknya, peristiwa hari itu bukan kesalahannya. Rasa kesalpun sepatutnya tidak kutumpahkan padanya. Dia mungkin hanya menjalankan tugas. Aku cuma menyesalkan tidak disediakannya customer service khusus untuk melayani nasabah yang menjadi prioritas di bank tersebut.

Gak apa-apa, pak. ”, hanya kata itu yang mampu aku ucapkan. Tak ada untaian kata yang lain yang mampu aku ucapkan. Aku menyesal.

“Adalagi yang perlu dibantu, Bu?”, pertanyaan itu muncul sejenak setelah ada keterdiaman di antara kami.

Gak, pak. Terima kasih. ”, aku berusaha tersenyum padanya, menggantikan kesalku. Rasanya tidak patut lagi ada rasa kesal di hatiku. Senyum dan perhatian beliau sudah mampu menggantikannya.

Beliau beranjak pergi, menuju tempatnya semula, di pintu masuk bank itu. Akupun beranjak ke tempat antrian di kasir. Tidak berapa lama, selesai sudah urusanku. Kulangkahkan kakiku menuju keluar bank itu. Tetap kujumpai senyuman di wajah satpam itu. Tetap sama. Dan, akupun berusaha memberikan senyuman terbaikku, untuknya.

Panas matahari menyambutku begitu keluar dari bank itu. Hangat. Sehangat senyuman satpam itu. Sehangat hatiku. Ah, aku masih banyak harus belajar memahami. Ternyata, aku belum mampu mengendalikan diriku. Aku malu dengan satpam itu. Berhadapan dengan situasi apapun, senyuman itu tetap menghiasi wajahnya. Rasa kesalku pada kejadian itu tidak mampu menggantikan senyuman di wajahnya. Mungkin, senyuman memang sebuah keharusan untuk dirinya.

Ah, rasanya tidak tepat dikatakan sebuah keharusan. Keikhlasan, tepatnya. Yah, keikhlasannya untuk tetap tersenyum telah menggantikan sebuah suasana yang tidak menyenangkan. Aku belum mampu seperti dia. Aku memang harus belajar seperti dia. Terima kasih, bapak untuk pelajaran senyumnya.

Bandung, June 2007