Eramuslim.com – Kisah berikut ini barangkali sangat langka, nyaris tidak ditemukan pada masa sekarang. Tatkala seorang putra pemimpin memilih hidup zuhud ketimbang menikmati berbagai fasilitas yang diberikan kepada keluarga seorang pemimpin suatu negara. Kisah ini seperti yang dinukilkan oleh Imam al-Ajury dalam kitabnya yang bertajuk Ghuraba’ Min al-Mu’minin yang dialihbahasakan oleh Abu Aswad al-Bayaty.
Suatu saat Abdullah bin Faraj, seorang ulama yang hidup pada masa Dinasti Abbasiyah, membutuhkan seorang kuli yang bekerja untuknya.
Abdullah pun bergegas menuju pasar mencari pekerja yang bersedia membantunya.
Setelah berkeliling, matanya tertuju pada seorang remaja berkulit kuning langsat yang tangannya membawa bungkusan besar. Bajunya berupa jubah yang terbuat dari kain berbahan bulu domba kasar. Abdullah bertanya kepada pemuda tersebut, “Anda ingin bekerja untukku?”
Dia menjawab, “Iya”.
“Berapa upah yang kamu minta?” tanya Abdullah. Dia menjawab, “Satu dirham dan satu daniq (total tujuh daniq)”.
“Berdirilah, dan bekerja padaku,” pinta Abdullah. Dia berkata, “Dengan satu syarat”.
“Apa itu ?” Abdullah bertanya balik merasa penasaran. Dia menjawab, “Jika telah datang waktu Zhuhur aku akan keluar wudhu shalat kemudian kembali bekerja dan jika datang waktu Ashar demikian pula.”
Abdullah pun akhirnya menyetujui permintaan tersebut. Keduanya berjalan bersama menuju kediaman Abdullah. Tugas bagi sang pemuda adalah memindahkan barang dari satu tempat ke tempat lain di rumahnya. Sang pemuda tadi tampak ulet. Tak banyak kata dan hanya fokus bekerja.
Lalu, terdengarlah kumandang azan. Si pemuda pun menagih janji sang majikan. “Terserah engkau saja,” jawab Abdullah.
Seusai melaksanakan shalat, pemuda itu pun melanjutkan pekerjaannya. Keuletannya tak berubah. Ia tetap terlihat rajin hingga suara azan Ashar terdengar.
“Wahai Abdullah muazin telah mengumandangkan azan Ashar,” kata sang pemuda. Aku menjawab, “Terserah engkau saja”.
Sang pemuda bergegas menuju masjid untuk menunaikan shalat Ashar. Sama seperti sebelumnya, ia pun lekas kembali bekerja setelah shalat Ashar hingga matahari hampir terbenam. Abdullah lantas memberikan upah si pemuda yang meminta pamit untuk pulang.
Berkat saran sang istri, akhirnya Abdullah kembali ingin menggunakan tenaga si pemuda tersebut. Menurut istri Abdullah, kinerja si pemuda layak diacungi jempol. Abdullah mengikuti saran istrinya dan segera berangkat ke pasar untuk menemukan si pemuda.
Abdullah bertanya pada orang-orang dan mereka menjawab, “Kamu bertanya tentang remaja kuning langsat yang tidak muncul kecuali pada Sabtu saja dan ia senantiasa duduk sendirian di bagian belakang.” Tak merasa kecewa, Abdullah pun sabar menanti bertemu sang pemuda hingga Sabtu.
Tibalah Sabtu yang dinantikan Abdullah. Ia berangkat ke pasar dan mendapati pemuda tersebut. Abdullah mengutarakan niatnya.
Sang pemuda lagi-lagi tidak banyak bicara dan hanya mengajukan syarat yang sama seperti sebelumnya, bila sang majikan tersebut ingin mempekerjakannya kembali. Abdullah sepakat.
Tugas yang diberikan kepada sang pemuda diselesaikan dengan baik. Sebagai ucapan terima kasih, Abdullah memberikan uang tambahan di luar gaji, tetapi kebaikan tersebut ditolak. Abdullah berusaha membujuk, tetapi justru iktikad baiknya tersebut tidak diterima dengan baik.
Sang pemuda yang sedikit marah itu menjauh dari Abdullah.
Abdullah tidak tinggal diam, ia bergegas menyusul dan membujuknya agar berkenan menerima upahnya saja, tanpa tambahan. Usahanya berhasil.
Selang beberapa lama, suatu saat, Abdullah kembali membutuhkan pekerja untuk membantu urusannya.
Tetapi, ia tak dapat menemukan pemuda tadi, sekalipun pada Sabtu. Ternyata, usut punya usut sang pemuda tengah sakit.
Abdullah menerima kabar selama sakit ia makan setiap harinya dengan satu daniq dan ia sekarang sakit (maknanya ia hanya bekerja satu hari dan mendapatkan tujuh daniq, setiap harinya ia gunakan satu daniq untuk makan, sisa hari yang lain atau enam hari ia gunakan untuk belajar agama.
Penasaran
Abdullah merasa penasaran dan berusaha mencari keberadaan sang pemuda. Akhirnya setelah bertanya ke sana kemari, ia pun menemukan alamatnya. Abdullah menjenguk dan bertemu dengan pemuda tadi yang rupanya tengah sakit parah. Ia menawarkan bantuan kepada sang pemuda.
Ia menjawab, “Iya, jika tidak merepotkanmu.” “Tidak merepotkan insya Allah,” kata Abdullah.
Ia berkata, “Apabila aku mati nanti maka juallah ini dan cucilah jubahku serta kain bulu kambing ini kemudian kafanilah aku dengannya! Bukalah saku jubahku karena di dalamnya ada sebuah cincin, ambillah cincin itu kemudian perhatikanlah kapan Harun al-Rasyid lewat di suatu jalan, dan berdirilah di lokasi yang memungkinkan bagi dia untuk melihatmu. Panggilah ia dan perlihatkan cincin itu maka ia akan memanggilmu. Setelah itu serahkanlah cincin itu kepadanya! Dan jangan kamu melakukan semua ini kecuali setelah aku mati.”
Permintaan itu sekaligus wasiat yang sangat dijaga oleh Abdullah. Setelah sang pemuda meninggal dunia, Abdullah pun berusaha menyampaikan amanat tersebut kepada penguasa Dinasti Abbasiyah itu. Tibalah saat itu. Abdullah sengaja menunggu Harun al- Rasyid yang melintas di jalanan kota.
“Wahai amirul mukminin aku memiliki titipan untuk engkau,” sambil aku memperlihatkan cincin permata. Ia pun memerintahkan untuk membawaku bersamanya, ketika ia memasuki rumahnya ia menyuruh orang yang bersamanya agar keluar lantas bertanya kepadaku, “Siapa engkau ini?” kata Abdullah mengisahkan.
“Abdullah bin Al Faraj,” kata Abdullah. Sang Khalifah bertanya lagi, “Cincin ini dari mana engkau mendapatkannya?”
Abdullah mengisahkan pertemuannya dengan pemuda tersebut. Tiba-tiba Harun al- Rasyid berlinangan air mata dan menangis terisak-isak sampai Abdullah merasa iba kepadanya. Setelah ia agak tenang, Abdullah bertanya kepadanya, “Wahai amirul mukminin, siapakah remaja itu sebenarnya?”
Ia menjawab, “Ia adalah anakku.” “Bagaimana hal ini bisa terjadi ?” tanya Abdullah Harun menjawab, “Ia dilahirkan sebelum aku menjabat sebagai khalifah dan ia tumbuh menjadi anak yang saleh. Ia menghafal Alquran dan mempelajari ilmu syar’i. Ketika aku diangkat menjadi khalifah, ia meninggalkan aku dan tidak mau menikmati harta dunia yang aku miliki sedikit pun juga.
Maka aku menyerahkan cincin ini kepada ibunya, ia adalah permata yang sangat mahal harganya. Aku berkata kepada ibunya, serahkan cincin ini kepada anak kita dan mintalah agar ia membawanya agar ia bisa memanfaatkannya suatu hari kelak. Ia adalah seorang anak yang sangat berbakti kepada ibunya. Semenjak ibunya meninggal, aku tidak pernah lagi mendengar kabarnya kecuali kabar yang telah engkau sampaikan kepadaku.”
Saat itu juga, Sang Khalifah meminta Abdullah untuk mengantarkannya ke makam pemuda yang ternyata putra Khalifah itu. Tiba di pemakaman, Harun duduk di samping kuburan dan menangis terisak-isak sampai ketika fajar telah terbit.
Sang Khalifah meminta Abdullah untuk menemaninya berziarah ke makam anaknya itu. “Aku pun berjanji untuk senantiasa menemaninya berziarah setiap malam. Berkata Abdullah bin Al Faraj, “Aku sungguh tidak mengetahui bahwa remaja itu anak khalifah sampai Harun al-Rasyid memberitahuku.”