Keberadaan kami di Jepang tinggal berbilang hari. Tak lama lagi kami akan pulang ke Indonesia karena tugas suamiku di Jepang sudah selesai. Mau tidak mau, kami harus meninggalkan semua yang kami cintai di Jepang. Perpisahan, di mana-mana selalu menyisakan kepedihan. Begitu juga dengan anak sulungku Faisal yang sudah bersekolah di TK. Tepatnya di Musashi no Youchien di Tsurugashima, Saitama, Jepang. Dia harus berpisah dengan guru dan teman-teman sekelasnya di Himawari gumi. Aku bisa memahami kepedihan hatinya itu, karena setahun sudah kebersamaan Faisal dengan gurunya, Mika Sensei dan anak-anak Himawari gumi. Tentu banyak kenangan indah yang telah mereka alami bersama, bermain, dan belajar bersama.
Ketika hari perpisahan itu datang, boleh jadi hal itu merupakan hal yang paling menyedihkan bagi anakku di usianya yang keenam tahun. Saat aku menjemputnya di sekolahnya di Kamis siang yang dingin itu, aku tak kuasa menahan tangis. Di pinggir lapangan, kulihat anakku berdiri mematung seraya air mata bercucuran di pipinya. Di sekelilingnya berdiri anak-anak Himawari gumi, dan mereka juga ikut menangis keras. Begitu kerasnya sampai aku merasa heran dibuatnya. Begitu istimewanyakah Faisal di mata mereka, sehingga mereka seperti tidak rela kehilangan salah seorang teman sekelasnya? Saat itu aku tidak bisa berpikir mengapa hal itu bisa terjadi, karena aku begitu sedihnya dan ikut larut dalam kedukaan itu. Begitu pun hari-hari sesudahnya, aku disibukkan dengan kegiatan pengepakan barang dan persiapan pulang ke Indonesia, sehingga aku tidak dapat menemukan jawaban atas keherananku.
***
Ternyata jawabannya kutemukan saat aku sudah berada di Indonesia. Saat aku melihat-lihat foto-foto Faisal selama di TK Musashi, aku menemukan bahwa Faisal begitu berbaur dengan teman-temannya. Padahal Faisal merupakan sosok asing yang berbeda warna kulit, ras dan agamanya. Namun mereka tidak pernah mengejeknya, apalagi mengucilkannya. Mereka menerima Faisal, sama seperti anak-anak Jepang lainnya. Kulihat mereka begitu kompak dan solid. Memang jika kutelusuri lebih jauh lagi, hal yang menonjol dari sistim pendidikan di TK Jepang adalah kekompakan murid-muridnya. Dari kegiatan-kegiatan ataupun permainan-permainan yang dilakukan, semuanya menekankan kerjasama dalam kelompok. Sebagai contoh adalah lomba lari estafet, paduan suara, pertunjukan musik, menari, pementasan drama dan membuat kue moci. Semuanya menuntut kekompakan anggota-anggotanya. Yang ditekankan adalah keberhasilan kelompok, bukan keberhasilan individu. Keberhasilan kelompok adalah keberhasilan dirinya. Begitu pula sebaliknya, kegagalan kelompok juga merupakan kegagalan dirinya. Dengan demikian, tidak ada persaingan individu, yang ada adalah persaingan kelompok. Hal ini sangat baik bagi perkembangan kepribadian para murid. Murid dituntut untuk bisa bekerja sama dengan orang lain, menyingkirkan segala sekat kesombongan maupun egoisme diri yang berlebihan. Sangat mudah dimengerti bahwa kita tidak mungkin hidup tanpa bantuan orang lain di dunia ini. Kita pun tak mungkin meraih keberhasilan tanpa dukungan orang lain. Sesungguhnya kerjasama dan tolong menolong, adalah lebih baik daripada bersaing.
Selain itu dengan adanya kerjasama dan tolong menolong, segala yang sukar bisa jadi mudah. Misalnya membuat kue moci dengan cara menumbuk tepung ketan yang dicampur dengan air, jika dilakukan sendirian tentu akan berat, sedangkan jika dilakukan beramai-ramai tentu akan ringan. Memang kerjasama sesungguhnya merupakan sinergi ataupun gabungan dari kekuatan-kekuatan kecil yang dapat menghasilkan suatu kekuatan yang amat dahsyat. Subhanalloh! Sebetulnya kerjasama dan tolong menolong ataupun kebersamaan ini adalah nilai yang diperintahkan dalam Islam, istilahnya dalam Islam adalah ukhuwah.
Sabda Rasul saw, ”Janganlah kalian saling membenci, menghasud, membelakangi dan saling memutuskan tali persahabatan. Akan tetapi jadilah kalian itu hamba Allah yang bersaudara. Seorang mukmin tidak diperbolehkan mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari.” (HR Bukhari dan Muslim).
Anak-anak Himawarigumi, yang notabene adalah nonmuslim, telah menunjukkan kepadaku bagaimana membina ukhuwah yang baik. Dan mereka juga sudah membuktikan bahwa mereka tidak hanya bisa membina ukhuwah dengan orang yang sebangsa dan seagama dengan mereka namun juga bisa berukhuwah dengan orang yang berbeda asal usulnya dengan mereka.
Akan hal ini, Baginda Rasulullah saw juga sudah mencontohkannya 14 abad yang lalu. Saat kaum muslimin hijrah dari Mekah ke Madinah, Rasulullah berusaha mempersatukan kaum muslimin asal Makkah (Muhajirin) dengan kaum muslimin asal Madinah (Anshor). Sungguh hal itu merupakan hal yang tidak mudah, karena mereka berasal dari suku yang berbeda. Namun kerja keras beliau membuahkan hasil dan beliau berhasil mempersaudarakan secara nyata antara kaum Muhajirin dengan kaum Anshor. Mereka pun menerima dengan lapang dada.
Sabda Rasul saw, ”Sesungguhnya kaum muslimin itu bagaikan satu bangunan yang kokoh, sebagiannya menguatkan sebagian yang lain.” Rasulullah juga menanamkan dalam diri para sahabat bahwa ukhuwah merupakan bagian dari keimanan.
Kini aku mengerti mengapa anak-anak Himawari gumi begitu berat berpisah dengan Faisal. Kebersamaan dan kekompakan yang sudah terjalin selama setahun ini ternyata membuat mereka laksana satu bangunan yang kokoh. Anak-anak Himawari gumi telah memberikan contoh nyata -bukan hanya slogan- betapa indahnya ukhuwah, padahal itu semua adalah nilai-nilai Islam yang agung. Seyogianyalah kita sebagai umat Islam bisa menerapkan nilai-nilai tersebut lebih baik lagi dalam kehidupan sehari-hari.
Kemanggisan, 2005 Mala Ridha
Catatan kaki:
Sensei: guru
Himawari gumi: kelas bunga matahari