Di kamar 212…
Saya menyendiri, sepi. Kawasan puncak hujan menderas, lebat. Ah, tak bisa keluar jalan-jalan. Padahal ingin sekali berkeliling mengitari tempat yang sejuk ini dengan naik kuda. Kalau sudah begini, saya hanya bisa berdiam diri di kamar. Acara televisi tak ada yang menarik, membosankan. Untuk mengobati rasa sepi, saya ambil novel karya Andrea Hirata yang berjudul “Edensor”. Saya baca pelan-pelan, lembar demi lembar. Mengesankan, berkisah tentang seorang pemuda Kampung Belitong yang nekat berkeliling kota di berbagai negara. Hanya berbekal mimpi dan keberanian.
Untuk menghidupi diri selama berpetualang ala backpacker, terpaksa menjadi pengamen jalanan. Menyaru jadi patung ikan duyung, dari sini ia mendapatkan uang. Setelah melewati lika-liku perjalanan, akhirnya mimpi itu terwujud dan bisa menemukan “Edensor”, desa khayalan seperti dalam novel yang pernah dibacanya. Di sana ia menemukan jatidiri dan cinta sebenarnya. Novel ini cukup inspiratif, saya suka.
Seteleh selesai, saya longok jendela, hujan sudah redakah? Tinggal rintik-rintik saja, bagus. Lewat jendela pula, satu persatu saya lihat mobil-mobil berplat B mulai berdatangan. Memang ada program liburan dari salah satu perusahaan mobil internasional yang cukup terkenal. Kebetulan, saya datang ke sini karena diajak abang saya yang juga menjadi peserta program liburan. Mereka rencananya akan mengadakan sebuah hajatan di kawasan Mega Mendung ini. Begitulah gaya para pekerja Jakarta, seperti biasanya, akhir pekan adalah saat mereka untuk berbahagia bersama keluarga.
Yah, setelah sekian hari bekerja keras, tentu dengan rutinitas terjebak kemacetan yang telah membuat mereka kadang stres dan mendadak temperamental. Berlibur bersama keluarga, menikmati pemandangan alam adalah salah satu jawaban untuk merengkuh sebuah kebahagiaan, menghilangkan rasa penat. Setidaknya untuk sementara waktu. Selanjutnya, rutinitas pekerjaan kembali dilakoni demi menghidupi keluarga, anak dan isteri. Pemandangan seperti ini, wajar adanya.
Disaat sunyi ini, kadang saya merenungi diri.
Kebahagiaan, apa arti sesungguhnya..?
Tentu setiap orang mempunyai pandangan masing-masing. Setiap orang berbeda. Ada yang bahagia mendapat isteri cantik atau suami tampan, ada yang bahagia kalau punya uang banyak, ada yang bahagia kalau punya rumah mewah lengkap dengan mobilnya. Ada yang bahagia ketika berhasil menempuh pendidikan setinggi mungkin, ada yang bahagia karena punya anak sholeh. Ada pula yang cukup sederhana, merasa bahagia, ketika ia puas memandangi senja, menikmati matahari yang tenggelam. Dengan senyum tersimpan di hatinya.
Kebahagiaan, saya kira bukan semata soal seberapa banyak materi yang kita miliki. Tapi sejauh mana hati kita bisa merasakannya. Kebahagiaan itu hak semua orang, kaya miskin, pejabat tinggi atau rendahan. Semuanya punya hak untuk berbahagia. Kadang, orang itu mengejar kebahagiaan terlalu jauh, terlalu bertele-tele. Padahal sejatinya kebahagiaan itu amatlah dekat. Kata orang bijak, cukuplah mensyukuri nikmat Tuhan pada hari ini, inilah jalan kebahagiaan. Tentu ini dalam dimensi keduniaan. Kalau orang Islam, selain dimensi keduniawian, tentu juga mengerti puncak kebahagiaan sejati. Yaitu kelak ketika ia bisa melihat wajah Tuhan.
Tentang puncak kebahagiaan di dunia ini, saya mencoba menggali dari seorang teman, editor sebuah penerbitan buku Islam di Jakarta, bernama Mutia Esfand. Setidaknya, mewakili warga Jakarta. Saya menganggukkan kepala ketika mendapat jawaban diluar prediksi. Ah, paling saya mendapatkan jawaban seputar materi. Ternyata bukan. Ketika saya minta pendapatnya tentang puncak kebahagiaan. “ Teman, apa pendapatmu tentang puncak kebahagiaan di dunia?”. Setelah beberala lama dijawabnya“ Bagiku, puncak kebahagiaan adalah ketika bisa menolong orang lain”. Begitu katanya. Cukup mengesankan jawabannya. Saya tak menduga sebelumnya. Saya tersenyum. Lega. Sekarang, adakah engkau yang tidak sependapat dengannya..?
==
http://penakayu. Blogspot. Com