Perempuan muslimah berjilbab itu tampak anggun, apalagi dibarengi dengan akhlak yang baik pula, aklah Islami. Tetapi, pesonanya akan memudar jika perilaku tak mencerminkan citra dirinya sebagai perempuan berjilbab. Seperti yang saya temui di depan perpustakaan kampus pada suatu malam, beberapa hari lalu. Sehabis shalat isya, saya menuju warnet kampus untuk sekedar cek email. Di depan perpustakaan kampus yang remang-remang itu, saya mendapati tak kurang lima perempuan berjilbab sedang asyik bermesraan dengan lelakinya masing-masing. Pacarnya mungkin. Mana ada suami isteri yang berduaan di depan kampus. Kalaupun ada, seribu satu lah. Masing-masing mereka terpisah dengan lokasi yang berbeda. Duh..mesra sekali, mereka berpelukan dan cuek saja ketika saya melihatnya. Hem…anak muda zaman sekarang begitu ya.
Dalam hati, saya hanya bergumam. Apa mereka tak malu yah dengan identitas dirinya sebagai perempuan berjilbab. Apalagi cuek saja ketika ada orang yang melihatnya. Tak pahamkah mereka. Dia berjilbab, jelas menandakan bahwa dirinya seorang muslimah. Tidakkah mereka berpikir akan konsekuensi dari perilakukanya itu. Misalnya ada orang yang berkata “ Tuh yang pake jilbab aja asik-asikan berduaan”. Jelas, tak bisa disalahkan ketika orang berkata begitu. Faktanya jelas ada. Dalam hal ini, citra seorang yang berjilbab menjadi buruk.
Bisa jadi perilaku semacam itu yang membuat orang sinis terhadap perempuan yang memakai jilbab. Saya pernah menujukkan kepada seorang teman, laki-laki. Dia teman biasa saja, bukan seorang aktivis masjid kampus atau aktif di organisasi Islam. Sewaktu ada mahasiswi berjilbab lebar, saya katakan ke dia “ Tuh contoh pakaian yang ideal bagi seorang muslimah”. Lantas, dia bilang “Jangan salah, itu hanya luarnya saja”. Kemudian, dia bercerita tentang teman-temannya yang memakai jilbab tetapi perilakunya norak abis. Intinya, tidak layak ketika memakai jilbab tapi perilakunya lebih buruk dari tidak memakai jilbab.
Nah, bagaimana hal demikian dimaknai…
Jilbab, di dalam Islam adalah kewajiban bagi seorang muslimah, kewajiban untuk menutub aurat. Jelas, lebih mulia seseorang jika berjilbab dibandingkan yang tidak. Jika kemudian ada perempuan yang berjilbab tetapi melakukan hal-hal yang dilarang secara hukum syari, itu persoalan lain. Jadi, jika ada perempuan muslimah yang belum siap memakai jilbab karena takut tidak bisa menjaga dirinya kelak, bukan sebuah alasan tepat. Yang semestinya, cobalah memakai jilbab terlebih dahulu, baru kemudian renungkan makna jilbab yang dipakai itu. Isyaallah ketika niatan “hijrah” itu tulus, kelak Allah akan memberikan hidayah, selajutnya akan dibarengi dengan perilaku-perilaku yang lebih baik dari sebelumnya.
Tetapi memang susah ketika jilbab hanya dimaknai sebagai trend saja, misalnya agar terlihat modis, terlihat beda dan lebih “keren”. Di tambah lagi, pakaian yang masih memperlihatkan lekuk-lekuk tubuhnya seperti yang bisa kita lihat sekarang. Berjilbab pendek, memakai celana jean ketat plus kaos yang ketat pula. Naik motor berpelukan erat dengan lelaki pasangannya duh...
Bukankah yang ideal itu berjilbab lebar dengan baju yang agak longgar sehingga lekuk tubuhnya tak tampak. Ah.mungkin proses memang harus terjalani. Semoga kesadaran berjilbab semakin marak di negeri ini. Tentunya kesadaran berjilbab yang syari. Kemudian bersama-sama bisa memaknai identitas dirinya sehingga tampak jelas kepahamannya tentang Islam dan sisi dirinya sebagai seorang muslimah. Muslimah yang berjilbab lebar, smart, punya karya, berakhlak Islami, itulah pesona sebenarnya. Adakah atau seberapa banyak yang semacam itu..?
Sanggar Pelangi, 7 Februari 2007/ 07.14