Saya mempunyai teman, dia sedang serius menggeluti dunia marketing. Untuk menambah wawasannya, dia memutuskan untuk berlangganan sebuah majalah terbitan Jakarta yang mengulas pernak-pernih marketing. Alhamdullillah, setelah berhasil mengumpulkan sejumlah uang, dia lekas mentranfer ke pihak majalah dengan harapan bisa membaca majalah marketing itu yang terbit setiap bulannya.
Beberapa hari dia menunggu kiriman majalah itu, tapi “kok nggak datang juga ya” bisiknya agak gelisah. Kemudian untuk memastikan nasib uang yang ditranfernya, dia menelpon pihak majalah. Salah satu staf majalah mengangkatnya. Kemudian dijelaskan oleh staf itu bahwa uangnya telah diterima dan teman saya disuruh menunggu kiriman majalah itu. Teman saya pun bersabar untuk menunggu lagi.
Ketika waktu yang dijanjikan telah tiba, kiriman belum datang juga. Lantas teman saya menelpon lagi, penjelasannya sama, disuruh menunggu. “Membosankan sekali,” pikirnya. Rupa-rupanya, teman saya kesal juga mendengar penjelasan staf yang berbelit-belit dan terkesan tidak profesional.
Akhirnya, teman saya mengirimkan surat yang langsung ditujukan kepada direktur (pimpinan) majalah itu. Di dalam surat itu, teman saya menumpahkan kekesalannya terkait dengan ketidakberesan manajemen majalah itu. Apalagi, sebuah majalah marketing tentu saja mengajarkan cara-cara yang baik menghadapi pelanggan dan tercermin dari sikap dan perilaku keseharian stafnya. Di dalam surat itu pula teman saya mengatakan bahwa apa yang selalu “diajarkan” dalam setiap tulisan di majalah marketing itu omong kosong belaka. Kini, dia tak percaya lagi dengan para kru majalah itu. Tak lupa, teman saya melampirkan biaya telpon yang dihabiskan untuk mengkonfirmasi datangnya majalah itu.
Tentu saja, dengan kiriman surat dari teman saya itu, sang direktur yang sekaligus pemimpin majalah marketing itu kebakaran jenggot. Lantas, segera menelpon teman saya. Meminta maaf dan akan segera mengirimkan majalah produknya. Sebagai imbalan atas kesalahan, pihak majalah kemudian mengirimkan satu majalah yang terbit di bulan itu. Bahkan memberikan langganan gratis selama enam bulan dan uang yang sebelumnya untuk berlangganan majalah itu dikembalikan. Teman saya akhirnya tersenyum, begitu juga denganku ketika dia menceritakan pengalaman tersebut kepada saya.
Entah, maksudnya apa seorang teman bercerita pengalamannya kepada saya. Setelah saya pikir-pikir banyak juga pengalaman dan hikmah yang bisa saya ambil. Pengalaman tentang rizki yang kemudian datang ketika kita mau bergerak. Coba kalau teman saya diam saja, tidak berinisiatif mengkonfirmasi dan selanjutnya berinisiatif mengirimkan surat langsung ke pimpinan majalah, bisa-bisa uangnya raib dan tak jadi bisa membaca majalah marketing itu.
Tapi, ada satu lagi yang justru paling penting yaitu kepercayaan. Kepercayaan itu penting dalam kehidupan. Entah dalam kehidupan keseharian, organisasi atau persahabatan. Untuk membangun sebuah kepercayaan, salah satunya adalah kita menepati janji-janji yang telah kita sepakati sebelumnya. Jika berulangkali kita tidak menepati janji-janji kita, hasilnya seperti cerita nyata di atas, kepercayaan akan pudar.
Pudarnya kepercayaan orang kepada kita, akan mempersulit bagi kita dalam menjalin kerjasama. Kalau sudah begini, alangkah malangnya kita. Mau apa-apa susah jadinya. Untuk itulah, menepati janji itu begitu penting agar kita tidak menyusahkan orang lain dan merugikan diri kita sendiri. Dengan berlatih menepati janji kita, harapan besarnya kita akan terjauh dari sifat munafik yang akan melekat dalam diri kita. Semoga.
Purwokerto, awal Juli 2006.
freelance_corp (at) yahoo.com