Kamaludin adalah seorang petugas kebersihan di sebuah komplek dekat kampungnya. Sudah sekitar lima tahunan ia menjalani profesi itu. Sebelumnya, ia pernah berjualan rujak tumbuk secara berkeliling dengan cara memikul. Namun nampaknya jualannya itu kurang mendatangkan hasil. Anak-anak lebih suka membeli rujak sabang (rujak berbentuk es mambo) dibanding rujaknya. Bagi orang dewasa pun rujaknya Kamaludin terlihat tidak praktis dan menarik. Orang lebih suka membeli lotek/lotis yang dijaja oleh para penjual gerobak dorong yang sekaligus menjaja potongan buah-buahan dalam kemasan plastik. Akhirnya ia banding setir menjadi petugas kebersihan atau lebih populernya sebagai tukang sampah di komplek tetangga itu.
Setiap pagi, dengan gerobaknya, ia berkeliling mengayun langkah mendatangi rumah-rumah warga. Sampah-sampah yang terkumpul di bak sampah depan rumah, dipungut lalu dimasukkan ke dalam gerobak sampah yang ditariknya. Setelah isi gerobak sampahnya penuh, ia membawanya ke tempat pembuangan di sebuah lahan kosong milik warga yang sudah ditentukan. Letaknya di pojok komplek dan dipinggir sungai. Setelah menumpahkan isi gerobak di sana, ia kembali mendatangi menjemput sampah-sampah yang belum terangkut. Setelah sekian kali bolak-balik, barulah pekerjaannya itu selesai dilakukannya.
Pekerjaan yang sebagian orang memandangnya rendah itu, dijalani dengan tekun oleh Kamaludin. Pada awalnya, ia tidak tahan dengan bau sampah yang ditanganinya. Lama-kelamaan karena terbiasa dan adaptasi fisiologi, ia bersikap biasa saja dengan sampah-sampah yang diangkutnya. Tidak ada keluhan karena bau yang menyengat atau aroma yang bisa bikin perut mual. Biasa-biasa saja.
Ada tantangan yang cukup besar dari pekerjaannya itu. Ia harus sehat dan fit sehingga mampu bertugas setiap hari dan harus disiplin dalam melakukan pekerjaannya. Jika tidak, akibatnya cukup berbahaya. Satu hari saja ia tidak bertugas, maka sampah-sampah rumah tangga pun menumpuk dan berpotensi menimbulkan penyakit karena tidak terbung ke tempat pembuangan. Atau satu bak penampungan sampah saja lewat dari pengambilannya, maka bau busuk dari sampah yang tidak terangkut bisa menyebar ke tetangga sebelah. Potensi penyakit pun bisa muncul dari situ.
Namun dibalik dibalik semua tantangan itu, terkandung suatu kemuliaan. Menjadi petugas sampah memang kecil honornya. Dia harus bisa mensiasati memanfaatkan waktu lebihnya untuk bekerja di tempat lain atau mengerjakan hal lain yang cukup produktif, misalnya ia bertanam pisang, ketela, cabe, sayuran atau apa saja yang bisa mendatangkan hasil (rezeki) dari lahan kosong milik warga atau lahan kosong di bantaran sungai yang mengalir di sisi perumahan itu.
Ada satu hal yang cukup membanggakan. Dalam keterbatasan hidupnya, ia memiliki ghirah yang baik untuk menuntut ilmu agama. Ia selalu hadir dalam pengajian pekanan bapak-bapak yang kami bina.
Pengetahuan fiqhnya relatif lebih baik dibanding bapak-bapak yang lain. Demikian pula dalam hal melafadzkan ayat-ayat Al Quran, ia relatif lancar dan lebih baik dibanding lainnya. Tak heran, jika mampu mengajar baca Al Quran bagi anak-anak didekat rumahnya. Ia juga dipercaya melakukan pemotongan hewan kurban pada setiap perayaan Idul Adha. Kemampuan tersebut adalah kemampuan yang tidak setiap orang bisa memilikinya.
Kini, dengan rajinnya ia mengikuti pengajian pekanan, kami berharap ada sentuhan-sentuhan yang bisa mempertajam wawasannya, memperkaya batinnya, dan meningkatkan produktivitasnya.
Saya selalu menekankan bahwa tidak ada pekerjaan yang hina bahkan untuk petugas sampah sekalipun. Setiap pekerjaan bisa bernilai ibadah tergantung bagaimana kita memaknainya. Dan setiap pekerjaan harus dilakukan secara ihsan atau profesional.
Dalam QS Al Mulk, Allah menandaskan bahwa Dia menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji siapa yang paling baik amalnya (ahsanu amalan). Bahasa kerennya adalah siapa yang paling profesional.
Dalam hadits dikatakan bahwa ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, jika engkau tidak bisa berlaku seperti itu, maka yakinlah bahwa Allah melihat engkau. Saya menyimpulkan bahwa ihsan (profesionalitas) adalah hasil dari rasa pengawasan Allah SWT terhadap seorang hamba. Makin merasa diawasi, maka semakin baik amalnya.
Saya mencontohkan, andaikan seorang petugas sampah menghayutkan sedikit demi sedikit sampah ke dalam sungai sehingga tidak menumpuk di tempat pembuangan, siapakah yang tahu dan hirau? Atau membiarkan got-got komplek penuh dengan sampah tanpa dibersihkan, siapakah yang hirau dan memarahinya? Toh ia hanya dibayar untuk mengangkut sampah-sampah ke tempat pembuangan sampah saja. Jika ada warga yang terganggu dengan tumpukan sampah di gotnya, maka ia harus menyuruh si tukang sampah mengerjakan pekerjaan tambahan dengan beberapa rupiah upah. Bukankah ini sebuah peluang untuk mendapatkan penghasilan tambahan?
Namun Islam memerintahkan untuk profesional, profesional untuk semua urusan. Sandaran hal ini bisa ditemukan dalam sebuah hadits mengatakan bahwa ‘Sesungguhnya Allah mewajibkan Ihsan atas segala urusan’. Ya, segala urusan. Hal ini diperkuat dengan sebuah hadits yang mengatakan bahwa menyembelih hewan kurban pun harus dilakukan secara ihsan atau profesional. Bukan mentang-mentang hewan kurban itu akan mati, maka menjelang penyembelihan mereka dibiarkan lapar, tidak menyantap daun-daun yang segar, atau kita bisa menyembelihnya dengan pisau yang ala kadarnya tanpa memastikan bahwa pisau itu cukup tajam sehingga tidak akan menyiksa sang hewan kurban. Sebaliknya, Nabi Saw menganjurkan agar sebelum penyembelihan, hewan kurban digembirakan dengan makanan yang baik. Dan ketika disembelih, pisau yang digunakan adalah pisau yang sangat tajam.
Pekerjaan yang tidak dilakukan secara Ihsan, maka yang timbul adalah bencana. Oleh karena itu kita mafhum dengan sebuah hadits bahwa “barang siapa suatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya”. Ahli di sini tidak semata-mata karena ia memiliki kompetensi tetapi juga memiliki integritas (kejujuran). Apalah artinya suatu urusan dikerjakan oleh orang yang berkompeten tetapi ia tidak jujur. Yang timbul adalah bencana. Jalan-jalan yang cepat rusak, jembatan yang tiba-tiba ambruk, bendungan yang tiba-tiba jebol, pesawat yang tiba-tiba mengalami kecelakaan, dan segala bencana yang berunsur kesalahan manusia (human error).
Ihsan adalah istilah yang tepat untuk menggambarkan kualitas hasil pekerjaan. Tidak semata didasarkan oleh etika profesi tetapi yang jauh lebih penting didasarkan oleh etika Ilahi. Dengan mendasarkan pada etika Ilahi ini, Insya Allah hasil yang dicapai akan maksimal karena dilandasi oleh kejujuran dan pengawan langsung dari Allah SWT.
Jika profesional kita maknakan dengan Ihsan, sesungguhnya setiap orang bisa mengerjakan segala hal secara profesional. Bukan cuma dokter, akuntan, insinyur atau profesional lainnya, tetapi juga pekerja lain seperti pedagang, kurir, porter, ibu rumah tangga, atau petugas sampah dan segala pekerjaan yang memiliki nilai manfaat bagi orang lain.
Dengan memahami makna profesional yang dikaitkan dengan makna ihsan tersebut, mudah-mudahan memacu kita untuk selalu mengerjakan suatu hal dengan cara yang terbaik atau sebaik-baiknya. Memang sulit untuk bisa profesional dalam segala urusan karena kita bukanlah orang yang sempurna. Namun setidaknya, kita selalu diingatkan untuk mencapai ke arah sana.
Waallahua’lam bishshawaab