Miris saat pertama sekali mendengar Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengajukan pencekalan terhadap film berjudul “Paku Kuntilanak” yang dianggap adegannya sarat dengan penampilan porno, vulgar, dan menyalahi peraturan-peraturan tentang perfilman Indonesia dan jauh dari penyampaian pesan hiburan yang mendidik masyarakat. MUI pun lantas mempertanyakan kinerja lembaga sensor yang telah teledor meloloskan Paku Kuntilanak ke ranah publik dan lagi-lagi film ini menyakiti segenap muslim di tanah air.
Perjuangan masyarakat Indonesia untuk membebaskan negerinya dari unsur pornografi ternyata membutuhkan kerja keras dan pengorbanan yang kontinyu. Karena unsur pornografi tak hanya datang dari pengaruh budaya luar, melainkan ada sebagian oknum dari warga negara Indonesia sendiri yang menganggap pornografi sebagai “barang dagangan” yang banyak peminatnya dan memberikan keuntungan materi dan finansial menggiurkan.
Kita patut berbangga dengan kerja kreatif cendikiawan, seniman dan sineas berlatar muslim taat yang telah menghasilkan karya spektakuler seperti film bertajuk Ayat-ayat Cinta, Ketika Cinta Bertasbih (KCB), Laskar Pelangi maupun Naga Bonar yang bertema kepahlawanan sehingga hasil pemutarannya sempat menduduki rating tertinggi perfilman di belantika nusantara. Hadirnya film-film ini semakin memotivasi sineas film menghadirkan sajian alternatif tontontan film Indonesia yang selama ini telah membudaya yang didominasi oleh tema horor, percintaan, kekerasan, dan seksualitas.
Namun situasi ini tidak bertahan lama, ketika film KCB habis masa tayang bersamaan film kreatif penggugah semangat Garuda di Dadaku karya anak bangsa seolah para sineas film terbuai dan kembali lagi kepada kebiasaan awal. Bahkan seperti sudah terpatri dan menjadi rahasia bisnis perfilman nasional jika tidak menyuguhkan sajian berbumbu pornografi atau hantu tontonan menjadi kurang laku, ibarat masakan tanpa bumbu penyedap. Perfilman nasional bakal hambar dan tak bisa bersaing dengan film kelas dunia. Karenanya para produser maupun sutradara tak segan-segan memproduksi film jenis ini, meski tantangannya bakal menjadi film yang kontroversial dan ditentang masyarakat. Tapi, untuk mengatasinya mereka sudah punya taktik jitu, cukup dengan bekerjasama dengan lembaga sensor.
Menyedihkan sekali jika hal ini terus dibiarkan berlarut, bagaimana kelanjutan generasi remaja harapan bangsa ke depan hancur oleh tangan-tangan jahil tak bertanggung jawab, lembaga sensor hanya menjadi pajangan dan bekerja tanpa memperdulikan rambu-rambu agama. Karenanya apa yang dilakukan oleh MUI patut kita dukung sepenuhnya. Kita sebagai bagian dari masyarakat pun dituntut untuk berperan aktif melakukan pencegahan, pengawasan, dan memberantas budaya pornografi sebatas kemampuan kita sebagaimana Nabi Muhammad SAW bersabda, “Barangsiapa melihat suatu kemungkaran hendaklah ia merobah dengan tangannya. Apabila tidak mampu, hendaklah dengan lidahnya (ucapan), dan apabila tidak mampu juga hendaklah dengan hatinya dan itulah keimanan yang paling lemah”. (HR. Muslim). (dea)