Tidak ada jalan menuju sukses, baik dunia maupun akhirat, selain dengan mengatur diri dengan baik. Dan tidak ada jalan lain yang akan menerangi kita, kecuali dengan cara menggali diri kita sendiri.
Seorang lelaki 30-an, mantan TKI di sebuah negeri jiran itu sedang merenungi perjalanan dirinya beberapa waktu yang lalu, saat ia masih ada di rantau. Ia mengingat betapa pekerjaan yang ia hadapi, adalah suatu episode kehidupan yang baginya adalah sangat memilukan.
Pukul tiga dini hari, ia harus bangun dan sudah harus memulai sebuah pekerjaan. Sementara teman yang lain masih bisa memperpanjang tidurnya sampai adzan subuh berkumandang.
Pagi hari, saat teman yang lain bisa menikmati kopi sambil nonton TV, dia harus sibuk mempersiapkan segala sesuatu untuk kepentingan anak-anak sang majikan yang mau berangkat ke sekolah.
Dan masih banyak lagi hal-hal yang sangat tidak ia sukai selama dua tahun bekerja di sebuah rumah majikan yang tidak begitu meperhatikan hak-hak pekerjanya. Bahkan ia sering muak dengan itu semua, jika ia mengingatnya.
Beberapa waktu kemudian, saat ia sudah ada di tanah air, lambat laun perasaan itu mulai hilang. Apalagi setelah mengingat bahwa, tak ada sesuatupun di dunia ini yag tidak berhikmah.
Empat belas jam kerja tanpa di hitung lembur, jelas perilaku biadab yang tidak manusiawi. Namun ia senyadari, bahwa kenapa mau-maunya pergi ke luar negri, jika hanya perlakuan seperti itu yang ia terima?
Sekarang laki-laki itu balas dendam. Bukan kepada majikannya yang memperlakukan jahat seperti itu. Tapi ia dendam terhadap dirinya sendiri. Setelah merasa dibodohkan, ia tidak mau mengulang hal yang demikian lagi di luar negri.
Suasana kerja yang begitu menyengsarakan, tak begitu saja bisa lupa dari ingatannya. Lagi-lagi ia selalu terngiang tentang hukum sebab akibat, aksi reaksi, dan yang lebih lagi adalah tentang menejemen hikmah.
Laki-laki itu, sekembalinya ke tanah air, tetap mencoba mengatur waktu seperti yang ia lakukan di negri orang dan untuk majikannya. Bangun jam tiga, dan terus mengerjakan sesuatu yang bisa ia kerjakan untuk menambah masukan (income) untuk keluarganya. Sekarang, ia tidak bekerja untuk orang lain, tetapi untuk dirinya sendiri. Kalau dulu ia sebagai employee, meminjam istilah Robert T kiyosaki, tetapi ia sekarang menjadi pebisnis. Usaha untuk dirinya sendiri.
Ia merasa sangat puas. Ia merasa menjadi raja bagi dirinya sendiri dan tidak ada yang mengatur-atur seperti bekerja pada seorang majikan. Ia terus bekerja sampai pukul enam sore.
Apa yang sekarang ia peroleh dari hikmah itu? Ia merasa puas. Merasa tertantang untuk memaksimalkan kinerjanya. Ia makin semangat, karena hasilnya untuk sendiri, bukan untuk majikan.
Laki-laki itu sekarang telah menjadi pengusaha. Ia merasa telah menjadi pribadi yang sukses, walau usahanya belum sesukses Bob Sadino atau dinasti Bakrie. Ia telah merasa sukses karena telah berhasil memenej dirinya sendiri. Minimal cara pandang terhadap kehidupannya, makin hari makin lain. Motivasinya untuk berwirausaha sendiri lebih besar ketimbang menjadi seorang yang mempunyai ketergantungan kepada majikan.
Sekarang, ia sangat menghargai apa yang namanya waktu. Tak ada sedetikpun waktu yang ia sia-siakan. Pelajaran di rantau, benar-benar ia ambil hikmahnya untuk memacu dirinya. Ia terus menggali potensi dirinya.
Ia merasa bersyukur kepada Tuhan, bahwa ia ditemukan dengan anak muda shaleh yang selalu mendampinginya untuk terus memotivasi usahanya. Cara pandangnya terhadap kehidupan juga sudah mulai berubah.
Ia ingin menjadi orang sukses. Ia tidak menginginkan kelak anaknya sengsara dan menggantungkan gaji kepada orang lain, apalagi ke luar negri sebagai kuli kasar seperti dirinya. Laki-laki itu sedang menapaki episode kehidupan untuk menjadi seorang usahawan sejati.
***
Purwokerto, Juni 09 ( [email protected] )