Sebuah gerobak, dilengkapi terpal berwarna orange dan bangku berukuran 1, 5 meter. Meski kecil, namun tempat itu kini menjadi tempat favorit yang sering kukunjungi. Meski berjarak 1 kilo meter dari tempat kos, namun aku rela berjalan kaki pulang pergi, sambil olahraga pagi. Tentu tujuanku tidak hanya untuk mendapatkan Kupat Tahu Petis yang dijual di warung mini ini. Sebab, sebenarnya banyak penjual makanan serupa yang letaknya lebih dekat dan mudah terjangkau. Entahlah, ada keterikatan hati yang membuatku merasa nyaman untuk datang, lagi dan lagi.
Untuk mencari tempat langganan makanan, jujur, aku termasuk yang pilih-pilih. Namun bicara kriteria, mungkin agak lain dari kebanyakan orang. Menjadi kebiasaanku untuk mendahulukan pedagang yang berjilbab, agar lebih memastikan makanan yang dijual aman kehalalannya. Faktor kedua yang menjadi penentu adalah kebersihan tempatnya. Sedangkan masalah harga dan rasa, menjadi alasan berikutnya. Bagiku, makanan enak akan menjadi kurang nikmat jika kebersihannya diragukan, apalagi kehalalannya.
Perkenalan dengan warung mini itu berawal pada sebuah Minggu pagi. Sambil berjalan-jalan, terihat olehku seorang ibu berjilbab dengan anak gadis yang nampak akrab menyiapkan dagangannya. Sang ibu berwajah lembut, namun terlihat gesit memainkan perannya. Sang gadis dengan penuh cinta membantu pekerjaan ibunya. "Wow, tidak ada salahnya dicoba, " hati kecilku berteriak memberi perintah kaki untuk berbelok. Awalnya, gerobak yang bertuliskan "Kupat Tahu Petis dan Sayur" ini enggan kudekati, mengingat posisinya yang tepat di depan alun-alun Banjaran, dan ramai dilewati angkot. Apa boleh buat, keharmonisan ibu dan anak itu lebih kuat mendorongku untuk mendekat.
Pada kunjungan pertama, aku menikmati keakraban ibu anak itu. Bahu membahu menyajikan Kupat Tahu untuk pembeli. Begitu sepi, si ibu juga membuatkan menu serupa untuk gadisnya dengan mesra. Awalnya aku berpikir bahwa ibu tersebut single parent. Ternyata dugaanku meleset. Beberapa kunjungan berikutnya, aku bertemu dengan suaminya, yang juga ramah kepada pembeli.
Mungkin tidak banyak yang mengetahui latar belakang mereka yang sesungguhnya. Hingga menjadi kesyukuran bagiku bisa mengenal seluruh personil keluarga ini: pak Tamara, Ibu Endang, Icha dan Toni. Tidak hanya lezatnya makanan yang kurasakan, tapi lebih dari itu. Banyak cerita yang penuh hikmah kudapatkan dari mereka. Aku seperti memiliki keluarga baru di sini. Semakin mengenal, semakin akrab, dan semakin kagum. Inilah potongan kisah mereka…
Ialah Pak Tamara, siapa sangka, penjual Kupat Tahu petis ini adalah pensiunan Tentara. Lelaki sederhana berusia 58 tahun ini, sempat merasakan mewahnya hidup. Bertahun-tahun lamanya tinggal di Jerman, bekerja di Kedutaan, dengan berbagai fasilitas yang luar biasa. Naik pesawat dan empuknya mobil menjadi kesehariannya. Sebelum mengenal bu Endang, pak Tamara pernah menikah dengan perempuan Jerman, anak seorang Ustadz. Sayangnya, selama 17 tahun usia pernikahannya, beliau tidak mendapatkan keturunan. Menurut prediksi beliau, besar kemungkinan dipengaruhi kebiasaan merokok sang isteri, yang terbawa tradisi perempuan Jerman. Ketika pak Tamara mendapat kesempatan pulang ke Indonesia, isterinya menolak menyertainya. Apalah daya, bahtera rumah tangga itu pun kandas pada akhirnya.
Pulang ke Indonesia, pak Tamara mengenal seorang perempuan lembut penuh keibuan. Ialah Bu Endang, yang waktu itu berusia 30 tahun. Awalnya bu Endang juga menolak lamaran pak Tamara, setelah melihat banyaknya potret kehidupan rumah tangga yang berantakan. Apa boleh dikata, mungkin itulah yang disebut jodoh. Akhirnya mereka pun menikah, meski uang pensiun jatuh ke tangan isteri pertama.
Kini, aku bisa mengenal mereka dalam kebersahajaan hidup bersama kedua buah hatinya. Ada Icha, bidadari mereka yang duduk di kelas 1 SMU dan selalu terdepan di kelasnya. Begitupun dengan Toni, si bungsu pintar kelas 6 SD. Seringkali orang mengira, bahwa Toni adalah cucu pak Tamara.
Apa yang membuat mereka hebat? Pertama, mungkin cinta yang menjadi jawabnya. Terlihat sekali betapa harmonisnya hubungan di antara mereka. Kedua, tidak ada racun televisi di rumah mereka. Ini bukan karena mereka tidak mampu membeli. Justru anak-anak mereka yang merasa terganggu jika mempunyai TV. Tidak bisa konsen belajar menjadi alasannya. Icha sudah gandrung membaca sejak kecil. Begitupun Toni. Ke manapun pergi, buku selalu menjadi temannya yang setia.
Ketiga, suasana dialogis menjadi jalan pencerdasan keluarga ini. Setiap berkunjung, diskusi seolah tidak ada habisnya. Selalu ada tema yang menarik untuk dibahas. Tentang penyesalan perilaku pejabat yang doyan korupsi. Tentang kegundahan akan remaja yang gandrung televisi, dan masih banyak lagi.
Dari sana aku mengetahui, bahwa sebenarnya pak Tamara pun tidak perlu merasakan menjadi penjual Kupat Tahu Petis jika menghendaki. Beliau pernah mendapat tawaran posisi strategis, asalkan mau sedikit culas. Namun jalan itu tidak pernah diambilnya, dan lebih memilih kesederhanaan dalam hidupnya.
Beliau juga mengaku, jika saja teman-temannya melihat profesinya yang sekarang, mungkin mereka tidak akan rela. Namun bukan itu masalahnya. Toh, pak Tamara dan keluarga ini begitu menikmati hidupnya. Berjualan bukanlah profesi yang hina. Mengenang masa lalunya yang penuh kemewahan, pak Tamara justru mengaku bosan. Dan kini, ia menemukan kebahagiaan bersama isteri dan anak-anak yang dicintainya.
Hingga kisah ini kutuliskan, aku membayangkan betapa bahagianya mereka. Ah, seandainya para orang tua bisa bersikap bijak seperti mereka. Ah, seandainya para anak berpikir seperti Toni dan Icha. Ah, seandainya aku… Upzz.sebelum ke mana-mana, lebih baik kuakhiri saja.
Http://hamasahputri. Multiply. Com
http://greatspiritever. Blogspot. Com