Saya hanya tersenyum menyaksikan seorang seleb yang berusaha meyakinkan publik bahwa dirinya tak bersalah terkait jatuhnya hukuman pidana terhadap dirinya. Saya memang kurang begitu memperhatikan apa kasusnya karena hanya nonton selewat saja. Tapi yang pasti, sang seleb telah menikmati masa hukuman kurang lebih 7 bulan dalam kurungan penjara. Saya tidak bersalah…saya bersih…ini ujian dari Tuhan, begitulah kira-kira sanggahan sang seleb yang disampaikan dihadapan para wartawan. Sekali lagi saya hanya tersenyum memperhatikan sang seleb. Senyum bukan karena senang atas pembebasan sang seleb. Tidak sama sekali. Lebih tepatnya saya senyum kecut. Saya berbisik dalam hati, kok masih juga dia merasa tidak bersalah ya ? apa benar ini adalah ujian dari Allah untuk sang seleb, atau jangan-jangan ini adalah teguran atas berbagai kesalahan ?
Banyak manusia hari ini yang merasa tidak bersalah bahkan sebaliknya selalu mencari kesalahan orang lain. Rasanya sedikit manusia hari ini yang mau mengakui kesalahan diri dibanding dengan mereka yang selalu merasa paling benar bahkan marah bila diingatkan. Adapula manusia hari ini yang selalu mencari pembenaran atas segala kesalahan yang jelas-jelas dia lakukan. Sebagian manusia ada juga yang ingin menjadi pahlawan dengan membela kekejian dan kerusakan moral. Sungguh kasihan manusia-manusia yang lupa diri dan selalu merasa benar. Karena kelak dia akan merasakan penyesalan yang tak bertepi atas kesalahan-kesalahannya itu.
Lantas bagaimana dengan kita ? sudahkah kita mendewasakan diri dengan selalu mengakui segala kesalahan dan berusaha untuk tidak mencari kesalahan orang lain ? sudahkah kita bersabar atas perbedaan dan tidak merasa paling benar ? apa yang kita lakukan seandainya dinasihati orang lain ? marah, kecewa, atau berusaha mencari pembenaran atas kesalahan ? atau kita pun mencoba menjadi seorang pahlawan dengan membela mereka yang melakukan kesalahan hanya karena dia adalah kerabat kita ? sesungguhnya tidak ada yang akan kita peroleh dari sikap merasa paling benar, marah bila dinasihati, merasa tidak bersalah, mencari pembenaran atas kesalahan, membela secara membabi-buta mereka yang bersalah kecuali kerugian dunia dan akhirat. Sesungguhnya sikap-sikap buruk tersebut hanya akan membawa manusia pada jurang kegagalan dan kehancuran. Mari kita evaluasi diri. Mari kita tengok ke dalam diri kita sendiri, tak usah repot-repot menengok orang lain.
Kita begitu mudah marah bila isteri kita cemberut bermuka masam. Tidak hanya itu, dalam otak pun bermunculanlah keburukan-keburukan sang isteri seolah-olah hilang segala kebaikannya. Kok isteriku cemberut ya ? apa salahku ? bukankah isteri yang baik adalah wanita anggun yang bila dilihat suami akan menggairahkan ? bagaimana isteriku ini, kok malah cemberut ? begitulah kira-kira fikiran-fikiran negatif mulai mengotori fikiran kita. Kita lupa bahwa disebalik keburukan isteri kita ada kebaikannya. Semestinya kita tetap berfikiran postif karena itu memang kewajiban seorang muslim. Fikiran negatif adalah dosa dalam kacamata Islam. Semestinya kita tetap mngevaluasi diri sendiri, sudahkah kita menjadi teladan bagi isteri kita untuk tetap tersenyum ditengah berbagai cobaan dan ujian. Jangan-jangan kita sendiri yang mengajarkan cemberut kepada isteri kita. Seharusnya kita tetap berkata…ini adalah salahku yang belum pandai mendidik isteri untuk bisa lebih bersabar.
Sekali waktu mungkin kita pernah berselisih paham dengan saudara kita sesama muslim. Apa yang kita lakukan ? marah, benci, menghadirkan keburukan-keburukannya dan melupakan segala kebaikan yang telah dia lakukan kepada kita ? atau sebaliknya, tetap bersabar dan positif thinking. Memang sulit tapi inilah seharusnya yang dilakukan seorang muslim terhadap muslim lainnya. Kita terlahir sebagai saudara antara muslim satu dengan lainnya, tanpa ada sekat-sekat pembatas. Bahkan persaudaraan sesama muslim lebih kokoh dibandingkan dengan persaudaraan senasab. Jangan pernah merasa paling benar. Bisa jadi kesalahan kita lebih banyak dibanding saudara kita. Jangan kita buka kembali lembar-lembar keburukan masa lalu, karena kita tidak tahu hati seseorang. Bisa jadi dia telah berubah menjadi lebih baik dari masa sebelumnya.
Mari bercermin kepada teladan zaman sahabat mulia al-Faruq Umar ibn Khottob. Dialah sang pemanggul karung gandum untuk rakyatnya yang merasa tidak diperhatikan oleh sang khalifah. Bahkan beliau ra. tidak rela digantikan sang ajudan untuk memikul karung sarat gandum itu. Maukah engkau memikul dosaku di akhirat nanti ? begitulah jawab Umar ibn Khottob, sang amirul mukminin. Maha Suci Allah yang telah menjadikan Umar ibn Khottob muslim terbaik sepanjang zaman sebagai hasil tarbiyah nabi mulia, Muhammad SAW. Bayangkanlah, betapa jauhnya kita dengan kesucian hati seorang Umar ibn Khottob. Beliau seorang khalifah penguasa beberapa Negara. Sahabat yang telah mendapat jaminan surga. Seorang mujtahid yang Allah sendiri pernah membenarkan ijtihadnya. Namun tetap, beliau adalah orang yang senantiasa merasa bersalah. Matanya selalu dipenuhi bulir air mata, meratapi segala dosa dan alpa. Tak pernah marah atau benci kepada rakyatnya yang memberikan nasihat pedas sekalipun. Bahkan zaman senantiasa mengenang salah satu ungkapannya, hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab (oleh Allah).
Jadi, mari kita menuju kebaikan. Jangan merasa paling benar, karena kita manusia tempat salah dan lupa. Jangan mencari kesalahan orang lain, karena bisa jadi kesalahan kita lebih besar darinya. Jangan marah bila dinasihati karena itu akan menyelamatkan.