Hari itu masih pagi. Subuh belum lama beranjak. Beberapa saat yang lalu, aku baru kembali ke kamar kosku. Seperti biasanya, saat-saat seperti itu adalah waktu bagiku untuk membeli sarapan pagiku. Begitulah, balada anak kos yang berada di perantauan dan jauh dari orang tua.
Menu sarapan pagiku saat itu adalah bubur kerupuk. Ini adalah makanan tradisional dari kota Bandung. Sudah lama sejak dulu, kata ibu kosku. Bahkan sejak usia ibu kosku, yang sekarang berusia kepala lima, masih merupakan anak-anak yang beusia sekolah dasar. Bentuknya cukup sederhana. Kerupuk yang biasanya berharga seratus rupiah dilapisi bubur nasi yang agak kental, lalu di atas lapisan bubur nasi itu diberi lapisan oncom. Lebih enak lagi ditambah dengan campuran sambal dan kecap manis. Ehm, sungguh nikmat rasanya. Senikmat harganya yang juga masih tergolong murah, yakni lima ratus rupiah.
Begitulah. Pagi itu aku menikmati menu sarapan pagiku, sambil mendengarkan radio. Kuraih handphoneku, yang berada tak jauh dari sisiku. Ada satu tanda miscall di layar handphoneku. Dari adekku yang sekarang berada di kota kelahiranku, menemani kedua orangtuaku yang juga masih bermukim di sana.
Hmm, ada apa yah?, batinku bertanya. Padahal, beberapa jam yang lalu, dia barusan mengsmsku. Kumiscall ulang nomor adekku. Selang beberapa lama, dia menelepon.
“Assalamualaikum, Nga?Apa khabar? Selamat hari lahir, Inga”, suaranya terdengar dari horn handphoneku. Di keluargaku, aku sering dipanggil dengan Inga. Inga adalah panggilan anak kedua perempuan dalam adat kebiasaan orang di tanah kelahiranku. Begitulah, setiap anak, baik laki-laki maupun perempuan mempunyai nama panggilan tersendiri, yang biasanya menjadi penanda anak keberapa dia dalam keluarganya.
“Wa’alaikumsalam, dek. Alhamdulillah. Makasih dek untuk ucapannya. Kok nelepon lagi, tadi subuh kan sudah sms”, tanyaku heran.
“Tadi, aku nginap di rumah nenek. Ini baru pulang. Ibu kan belum ngomong dengan inga? Ini ibu, Nga”, jawabnya pendek
“Assalamualaikum, Nak. Apa khabar? Sehat? Selamat ulang tahun, anakku sayang”, suara ibu terdengar. Pertanyaan beruntun pagi itu menggerakkan adrenalin kerinduanku pada ibu memuncak. Ditambah dengan ucapan selamat hari lahir dari beliau, semakin menuju puncak kerinduan itu. Membuncah dan memenuhi ruang hatiku. Ibu, batinku menjerit.
“Waalaikumsalam, Ibu. Alhamdulillah, inga baik. Ibu sehatkan?”, hanya itu yang mampu terucap dari lisanku. Rasanya semua kata menjadi kelu. Telah tergantikan dengan desahan nafas ibuku yang merasuk dengan cepat melewati gendang telingaku dan mengisi ruangan yang senantiasa menghadirkan kerinduannya di sampingku. Hm, jarak memang menjadi penghalang. Tapi, setidaknya, suaranya hampir di setiap minggu cukup mampu mewakili segenap kasih sayangnya, yang terluruhkan untuk diriku.
“Nga, si Y, temanmu sewaktu SMAmu dulu, sudah menikah.”, cerita ibu selanjutnya setelah beliau bercerita tentang bapak dan keluarga besarku di tanah kelahiranku.
“Oh yah, Bu, dengan siapa?”, tanyaku. Si Y adalah nama seorang teman perempuanku sewaktu masih duduk di bangku SMA, kira-kira tujuh tahun yang lalu. Memang tidak ada memori berkesan dengannya. Hanya teman sekedar say hello. Kebetulan jarak rumahnya berdekatan dengan jarak rumah nenekku.
“Dengan seorang dokter. Dokter itu duda beranak satu. Mereka kenalnya sama-sama kerja di kota X. Memang ganteng, Nga, dokter itu. Tapi satu hal yang sangat disayangkan, dokter itu beragama Kristen Katholik.”, cerita ibuku berlanjut. Aku terhenyak. Cerita ibuku mengingatkan aku tentang sosok seorang Y. Dia anak tertua dalam keluarganya. Seseorang yang mempunyai watak yang keras dan mandiri. Setamat SMA, dia melanjutkan studinya ke sebuah sekolah keperawatan di Jakarta. Setamat dari pendidikan keperawatannya, dia kembali ke kota kelahiranku dan mengabdikan ilmunya di kota X. Begitulah yang ketahu tentang dia. Terakhir aku bertemu dengannya adalah ketika Idul Fitri tahun kemarin. Waktu itu adalah malam hari. Saat itu, aku bersama dengan adekku berpapasan dengannya di jalan, sepulang kami dari bersilahturahim ke rumah nenek. Berbincang sebentar dengannya, cukup sudah memupus rindu, setelah selepas SMA aku hampir tidak pernah bertemunya. Hanya itu.
“Nga, Ibu hanya minta satu hal dari calon suami nanti, siapapun dia. Dia harus beragama Islam. Hanya itu pinta ibu.”, suara ibu terdengar kembali di seberang horn handphoneku. aku terdiam mendengar pinta ibu. Suatu permintaan yang diucapkan ibu ketika hari lahirku di usiaku yang seperempat abad. Permintaan itu sederhana tapi maknanya membuat aku semakin mengerti ibu teramat sayang padaku. Pada kehidupanku.
“Insya Allah, Bu. Bagi inga, suami adalah imam dan untuk itu dia haruslah seseorang yang beragama dan mengerti Islam.”, hanya itu yang mampu kuucapkan terhadap permintaan ibuku.
“Syukurlah. Masih ada yang mau diceritakan dengan ibu? Kalau gak ada lagi, Inga mau bicara dengan dhodho?”, tanya ibuku kemudian sesaat setelah ucapan syukur itu terlontar dari lisan beliau.
“Boleh, Bu. Dhodho mana?”, jawabku. Dhodho adalah nama panggilan untuk adekku. Dia adalah anak ketiga dalam keluargaku, kelahirannya persis tujuh belas bulan setelah kelahiranku. Karena itulah, aku teramat dekat dengan dia. Ibuku menjuluki kami berdua sebagai anak kembar. Bukan tanpa alasan julukan ini. Terkadang, kalau aku sakit dia akan ikutan sakit. Begitu juga sebaliknya. Saat lain, aku merasakan kalau dia sedang menghadapi masalah. Begitu juga dengan dia.
“Nga, Ibu sudah cerita kan tentang teman inga yang bernama si Y itu? Mereka memang menikah secara Islam. Bapaknya yang menikahkan si Y. Tapi, menurut teman kerjanya si Y, si Y dan suaminya sudah menikah secara Katholik di Semarang. Temannya itu pernah menemani si Y membuat KTP dan si Y mencantumkan beragama Katholik dalam KTPnya. Kasihan bapak ibunya, Nga. Sewaktu pernikahannya, bapak ibunya sangat sedih. Ibunya menangis, Nga. Ibunya sampai berkata begini, Nga: bukan masalah bagiku kalau si Y menikah dengan duda tapi agamanya itu yang membuatku sangat sedih. Tahu, gak, Nga? Sekarang si Y sudah lepas jilbab.”, cerita adekku kembali mengejutkan diriku. Keterhenyakan itu kembali melanda diriku. Begitukah?
“Sekarang dia masih bekerja di kota X, dek?”, tanyaku.
“Nah itu dia, Nga?Sekarang mereka sudah pergi ke Semarang. Persis satu hari setelah hari pernikahan mereka. Tampaknya, semuanya sudah dipersipkan secara matang sebelum hari pernikahan mereka. Si Y dan suaminya sudah pindah kerja ke Semarang. Sedih, Nga ketika mendengar ibunya si Y berkata: Aku benar-benar kehilangan anak perempuanku.”, cerita adekku berlanjut.
Pagi telah beranjak. Aku harus segera mempersiapkan diri untuk ke tempat kerjaku. Begitu juga adekku. Akhirnya, cerita kami pagi itu kami akhiri.
Tapi, tidak denganku. Cerita pagi itu membuat berfikir jauh. Menerawang. Menembus batas-batas alam pikirku. Sebegitu dahsyatnya cinta pada lawan jenis? Yang karenanya, apapun rela dikorbankan, pun juga sesuatu yang sangat prinsip yang bernama keyakinan pada ketauhidan Sang Khalik? Mengalahkan cinta pada Sang Khalik, padahal karena cinta dan kemurahan-Nyalah kita berada pada kehidupan dunia yang fana ini? Mengalahkan cinta pada kedua orang tua yang telah melahirkan dan membesarkan dengan sepenuh kasih sayang sehingga apapun rela mereka korbankan atas nama bentuk kasih sayang mereka kepada putra-putri mereka? Mengalahkan cinta kepada keluarga besar yang menjadi pelipur lara kala kesedihan menghampiri? Mengalahkan cinta kepada adik dan kakak, yang senantiasa menemani dalam setiap langkah perjalanan hidup? Pertanyaan-pertanyaan itu runtut berada dalam ruang hatiku. Bertanya pada diri sendiri. Meminta jawab pada diri sendiri.
Sebegitu kuatnyakah jaringan kristenisasi di Indonesia, sehingga dengan apapun mereka menghalalkan cara, termasuk dengan melalui sesuatu yang sangat sakral dan suci, yang bernama pernikahan? Sebegitu rapinyakah gerakan mereka sehingga apapun mereka lakukan dengan sangat tidak mudah dilihat oleh mata orang awam?
Cerita ibuku dan adekku pagi itu menyadarkanku. Aku masih harus banyak belajar tentang agamaku. Memahami dan mengerti sejelas dan sedalam mungkin tentangnya, tentang agamaku, tentang pedoman hidupku. Pekerjaan rumah itu begitu besar terbentang di hadapanku.
Cerita ibuku dan adekku pagi itu membuatku berfikir tentang kasih saying yang lain dari ibuku. Pintanya sungguh sederhana tapi maknanya melebihi luas lautan samudera.
“Allah, tolong tetap Engkau sematkan hidayah-Mu di dalam hati hati hamba-Mu ini, di dalam hati bapak ibuku, di dalam hati kedua adikku dan di dalam hati kakakku. Tolong jaga kami. Tolong wafatkan kami dalam keadaan iman, Islam dan husnul khotimah. Tolong mudahkan sakaratul maut kami. Tolong ringankan azab kubur kami. Dan tolong kumpulkan kami dengan orang-orang yang mendapat rahmat dan keridhoan-Mu di Padang Mahsyar nanti”, sebait doa itu kupanjatkan pada Sang Khalik, untuk keluargaku tercinta.
Bandung, Februari 2007
Rangkuman cerita ibuku dan adekku di suatu pagi