Gelap telah sempurna. Azan magrib hampir setengah jam lalu berkumandang. Perut sudah bernyanyi. Saya meninggalkan toko buku di kawasan Margonda. Menyebrang jalan, mencari tempat makan murah-meriah-bergizi. Pandangan saya menumbuk warung tenda, penjual soto. Asyik juga kalau perut diisi makanan berkuah. Tak lama berselang, sepiring nasi, semangkuk soto ayam dan segelas jeruk panas telah terhidang.
Belum lama menikmati sajian, pengamen datang. Laki-laki, dua puluhan, membawa gitar, mengenakan jeans dan kemeja lusuh. Ia menyanyikan sebuah lagu lama, lima meter di depan saya, berdendang di depan ibu-ibu berjilbab. Setelah si ibu memberikan uang, ia beranjak ke pengunjung lain. Saya bersiap, tak lama lagi dis pasti mendatangi saya.
Benar saja, ia bernyanyi di depan saya. Saya harus memilih: mengangkat telapak tangan dan berkata, “maaf!” atau merogoh saku. Pilihan kedua saya lakukan. Tak ada salahnya berbagi rejeki. Tapi saya biarkan dulu dia bernyanyi agak lama. Bukankah dia menjual suara? Bukan mengganggu kenyamanan orang, rela diusir asal ada rupiahnya. Saya ingin dia mengamen secara profesional. Setelah saya berikan dua keping logam ia ke belakang, mendekati lima gadis bermata sipit.
Belum lama pengamen pergi, muncul bocah perempuan. Usianya sekitar 12 tahun. Tak beralas kaki, mengenakan pakaian putih lusuh. Pada pengunjung di depan saya, ia menadahkan tangan. Saya harus siap-siap lagi.
“Kak minta, kak! Lapar, kak. Belum makan. “ katanya. Memelas tapi wajahnya datar. Tak ada ekspresi bahwa di belum makan seharian.
Saya menggerakkan telapak tangan kanan, “maaf!”
Bocah itu bergerak ke belakang, memepet lima gadis bermata sipit yang tengah menikmati ayam bakar. Kata-kata yang sama diucapkan oleh gadis kecil itu. Dua gadis memberikan lembar ribuan. Kasihan? Tak sampai hati mengangkat tangan dan berkata maaf? Entah!
Air jeruk panas hampir habis ketika di depan tenda seorang bapak tua hendak masuk. Usianya 70 tahun lebih. Mulut berpayung kumis abu-abu seperti merapalkan sesuatu, berdiri menatap pengunjung. Seorang ibu maju, memberikan uang. Bapak Tua mengenggam pemberian si ibu, mendekatkan genggaman ke mulut, lalu komat-kamit mengucapkan sesuatu, sambil menatap ke atas. Ia menyentuhkan genggaman tangan ke dahi sebelum pergi. Saya ikut meninggalkan kursi.
Baru kemarin saya mendengar penuturan seorang Ustadz: penghasilan pengamen, pengemis dan anak jalanan bisa mencapai Rp 100. 000, – dalam sehari. Jadi dalam sebulan total penghasilan bisa Rp 3 juta. Jumlah yang lebih besar jika dibandingkan dengan pembantu rumah tangga di perumahan saya yang bekerja hampir 24 jam, lebih besar dari gaji guru SD negeri seperti ibu saya, dan lebih banyak daripada gaji pokok teman saya yang bekerja di Industri kimia milik Jepang. Pengamen, pengemis dan anak jalanan tak perlu keahlian khusus, apalagi sekolah tinggi. Learning by doing, punya muka tebal, belajar ekspresi wajah tertentu, dan menghapal kata-kata, uang masuk kantong.
Apakah penghasilan sebesar itu membuat hidup mereka lebih baik? Saya tidak begitu tahu. Yang saya tahu, di lain hari saya masih menemukan pengamen, pengemis, dan anak jalanan yang sama, dengan lagu yang masih sumbang, dengan ratapan yang masih memilukan, dengan pinta yang tak berkesudahan. Jumlah merekasemakin banyak, terutama di hari raya atau hari besar lainnya.
Jika melihat pengemis dan anak jalanan, saya teringat Baznas, Dompet Dhuafa, Layanan Kesehatan Cuma-cuma, Portal Infaq, Rumah Zakat, Dompet Sosial Insan Mulia, dan lembaga zakat lainnya. Saya teringat sebuah klinik gratis di Ciputat, bentukan Layanan Kesehatan Cuma-Cuma. Saya terkenang Rumah Cahaya Depok yang didirikan oleh Dompet Dhuafa. Dari mana dana operasional mereka? Dari uluran tangan dermawan, orang-orang yang kelebihan.
Maka ketika akan memberi saya dihadapkan pada dua pilihan: memberi untuk saat ini atau memberi untuk jangka panjang. Saya kerap memilih yang terakhir. Maka, saya akan terlihat pelit, sinis dan tak mau berbagi bila ada pengemis, anak jalanan atau peminta sumbangan. Setiap orang punya hak, kepada siapa dia akan memberi. Malaikat akan tetap mencatat perbuatan baiknya tak peduli siapapun yang diberinya. Hanya saja kita perlu berpikir apakah pemberian kita sekedar untuk sekarang atau untuk masa depan. Sebelum memberi ada baiknya kita renungkan, akan lari ke mana uang-uang yang kita berikan, akan berubah menjadi apa? Menjadi debu atau benih pohon tinggi? Mari kita renungkan.