Petani Tua dalam Gerbong Kereta

Tidak ada yang tahu, bila di samping pintu toilet itu adalah tempat favoritku, tidak peduli gerbong yang mana, yang pasti sih disaat tidak kedapatan tempat duduk.

Seringnya ku melakukan perjalanan menuju ibukota yang terbilang cukup jauh dari tempatku bekerja, membuatku terbiasa menumpang kereta.

Bagi buruh seperti aku ini, kereta menjadi transportasi paling tepat, tepat waktu juga tepat saku!

Seandainya aku konglomerat, atau gajiku lebih dari cukup sekedar buat makan dan bayar sewa rumah, pasti aku menggunakan jasa pesawat terbang. Tapi sayang, harga tiket melambung tinggi, tinggi bahkan semakin tinggi hingga jatah snack di pesawatpun akhirnya ditiadakan dalam penerbangan domestic ini. Kenaikan bahan bakar minyak dunia, berimbas besar pada system transportasi.

Boleh dibilang tiket bus lebih murah daripada ongkos pesawat maupun kereta. Tetapi alamak… waktu yang harus dihabiskan selama perjalanan sangat lama. Aku permah mencoba memakai jasa angkutan bus. Bayangkan, sebelum subuh aku harus sudah siap dengan pemberangkatan bus paling pagi. Sampai di ibukota tengah hari. Perjalanan lima jam dengan kereta menjadi delapan jam dengan bus. Sesampai di ibukota acaraku gagal karena telat tiga jam. Keesokan harinya, aku harus absen kerja karena telat tiga jam masuk ke kantor.

Semenjak itu, keretalah pilihan tetap yang kugunakan. Meski tiket lumayan murah, waktu juga relative singkat, namun tak jarang juga ku menderita didalamnya.

Pada hari minggu dimana aku mengadakan perjalanan tak jarang aku tidak kebagian tempat duduk. Apa daya karena kegiatan dan acaraku selalu jatuh pada hari minggu maka mau tidak mau tetap harus berangkat. Tidak ada pilihan lain perjalanan tetap harus berlanjut.

Bila nasib baik, aku bisa duduk walau beberapa saat untuk menempati kursi yang belum diduduki orang. Walau akhirnya harus kebal menahan wajah merah alias malu ketika siempunya yang punya hak duduk mengusir secara halus menyuruhku ankat kaki.

Pada waktu itulah dimana tidak ada lagi tempat, yang nyaman untuk berdiam aku memilih duduk di dekat pintu toilet. Dalam sambungan gerbong ini, walaupun tidak ber-AC namun aku merasa lebih baik daripada berjubel di koridor kereta dengan orang yang sama-sama tidak kebagian tempat duduk.

Kadang dari pintu kereta yang dibuka secara sembunyi-sembunyi ini, aku bisa melihat pemandangan langsung diluar dan menghirup udara segar. Secepat itu pula kututup bila tampak petugas karcis atau operator lewat untuk memeriksa kondisi kereta. Bagaimanapun aku tidak ingin untuk kedua kalinya mendapat teguran keras dari orang-orang yang berseragam putih biru tua itu.

Omelannya pernah tertuju padaku gara-gara kedapatan aku duduk disamping pintu kereta yang dibuka oleh seorang bapak. nasibku menjadi sasaran ceramah tujuh menitnya yang dikarenakan seorang bapak lupa menutup pintu setelah habis merokok.

Tidak akan kulupakan selamanya dalam sambungan gerbong ini pula aku telah mendapatkan petuah bijak dari seorang petani tua.

Aku lupa kapan dan tepatnya dia naik. Aku tahu petani tua itu mempunyai kursi duduk dari tiket yang dipegangnya,. Tapi karena barang bawaannya banyak, dan merasa tidak mampu berpindah-pindah maka dia mamilih diam dalam sambungan gerbong dekat toilet dan dispenser air, menjaga barang-barangnya sekaligus menjadi teman baruku mendiami tempat yang tidak dilirik orang karena panas, berisik, dekat dengan toilet pula!

Ku akui petani tua itu cukup ramah, berkali-kali menawarkan buah-buahan yang dibawanya untuk ku makan. Sampai di suatu stasiun kereta berhenti, kami pun menepi memberi jalan kepada penumpang lain yang hendak turun maupun naik. Ku lihat petani tua itu sibuk membenahi barang-barangnya yang di anggap menghalangi orang yang mau mengambil air minum. Secara refleks aku membantu mangangkat dan merapihkan semua barang-barangnya.

Petani tua itu mendekatiku dan membungkuk, ku lepas segera MP3, "Ada apa Pak?" kataku bingung. "Terima kasih, kamu mau membantuku memindahkan barang ladang yang kotor ini…" Katanya sambil membungkuk lagi. Diperlakukan seperti itu aku teringat kebiasaan orang Jepang yang selalu membungkuk menundukkan kepalanya bila mengucapkan terima kasih. "Akh.. itu bukan apa-apa. Tidak perlu berlebihan Pak." Ucapku sembari meraih bahunya mengajak berdiri. Akhirnya kamipun mengobrol banyak.

Tidak ku sangka, petani tua itu sangat bersahaja dan berbudi pekerti yang tinggi, aku bisa menilai dari semua ucapan-ucapannya…

"Anak muda, manusia memang mahluk mulia. Tapi tahukah kamu ada mahluk yang lain yang lebih baik dari itu?"

"Siapakah itu Pak?"

"Burung pipit!"

"Pipit? Burung pemakan padi? Bukankah itu hama pengganggu bagi padi yang Bapak tanam?" Kataku heran. Petani tua itu tersenyum.

"Mungkin bagi sebagian orang pipit adalah hewan pengganggu, tapi bagiku yang telah hidup bersama-sama mereka sepanjang hari di ladang, pupit adalah mahluk yang berbahagia. Lebih bahagia dari pada kita sebagai manusia."

"Kenapa begitu Pak?"

"Dulu aku selalu merasa gelisah. Tidak tanang, tidak tentram. Tapi secara tidak sengaja, disaat aku beristirahat sambil mengamati segerombolan burung pipit, kesadaran itu datang. Burung pipit telah mengajarkan ilmu yang tidak akan kau dapatkan di sekolah manapun!"

"Cepat beri tahu aku, Pak!" Kataku tertarik.

"Dengar anak muda, kita hanya mengenal lapar, tapi burung pipit itu mengenal kenyang. Burung pipit bekerja supaya mendapatkan makanan, tapi manusia maunya diberi makan tanpa mau susah bekerja."

"Yang aku lihat semua pipit keluar untuk mencari penghidupan masing-masing, tidak ada seekor pipit memperkerjakan pipit lain, ya kan?" Aku mengangguk membenerkan.

"Pipit bekerja sambil bernyanyi riang tanpa derita. Lain lagi dengan manusia, keinginannya hanya memperkerjakan orang lain menggantikan dirinya bekerja. Dirinya sendiri enak-enakkan mengongkang kaki. Burung pipit tidak pernah mengenal exploitasi tapi manusia inginnya selalu mengexploitasi sesamanya."

Aku hanya bisa terdiam, membenarkan semua ucapan si petani tua. Benar-benar merupakan ilmu kehidupan yang tidak diajarkan di sekolah manapun!

Diam-diam aku mengagumi karakter si petani tua. hingga di suatu stasiun dia pamit untuk turun. dengan refleks juga aku membantu menurunkan barang-barang si petani tua tadi.

"Anak muda, tidak perlu jadi orang kaya, tapi jadilah orang yang berbahagia…" Katanya terakhir kali sambil menepuk-nepuk bahuku. Sesaat sebelum pintu kereta tertutup.

Aku membungkuk, mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya sebagaimana dia melakukan nya kepadaku sewaktu masih dalam kereta. Dan kamipun berpisah…

Tapi begitu bodoh rasanya diriku, ketika menyadari diriku sama sekali tidak tahu di stasiun mana dia berhenti, dimana dia tinggal, bahkan aku juga tidak tahu namanya!

Sejak itu, setiap melakukan perjalanan dengan kereta aku selalu berharap dipertemukan kembali dengan si petani tua itu. Meski aku menduduki kursi yang nyaman, aku tidak pernah absen melongok dan diam beberapa saat di sambungan gerbong kereta dekat toilet, tempat favoritku ini. Tepat dimana waktu itu aku dan si petani tua duduk dan bercerita.

Semua petuah bijaknya selalu terngiang dalam hari-hariku. Aku sangat merindukannya!! Hati kecilku menginginkan aku dipertemukan lagi dengan si petani tua. Sungguh! Aku tidak ingin menjadi orang kaya tapi aku sangat ingin jadi orang yang berbahagia…..

T a m a t

mengenang setiap perjalanan okti li antara Taitung-Taipei, Taiwan ROC

diambil dari :

http://hidupuntukberkarya.multiply.com/journal/item/69/Petani_Tua_dalam_Gerbong_Kereta