Sebuah kebiasaan yang sering saya lakukan saat berkunjung ke rumah saudara di Jakarta, adalah mampir ke kawasan Jatinegara, tepatnya di seputar stasiun kereta api. Di sana saya senang sekali berjalan-jalan melihat berbagai jenis barang-barang yang dijual di sepanjang emper pertokoan.
Suatu saat saya berhenti di sebuah tempat, di mana banyak dijual buku-buku. Tergerak dalam hati saya untuk mencari buku tentang Tauhid. Entah karya siapapun, yang penting buku tersebut menguraiakan tentang ke-Maha Esa-an Allah.
Mencari yang murah, adalah harapan saya. Karena memang menyesuaikan dengan kondisi keuangan. Dan kebetulan, di tempat itu banyak sekali pedagang kaki lima yang menjual buku-buku loak. Biasanya memasang harga jauh dari harga toko dan lebih bisa diajak untuk tawar menawar.
Saya memulai berjalan dari ujung Timur, dan mencarinya di setiap pedagang buku. Saat belum menemukan apa yang saya maksud, kemudian mengulanginya lagi dari arah Barat, terus balik ke Timur lagi.
Saya mencoba terus mencari. Buku baru yang berharga mahal, memang berserakan di toko-toko buku. Namun saya sengaja mencari yang harganya murah, tapi isinya sama dengan buku baru.
Hasilnya? Ternyata nihil. Saking seringnya saya hilir mudik ke sana kemari, ke Timur dan balik lagi ke Barat atau sebaliknya, ahirnya ada seorang pedagang buku di emper toko itu yang memperhatikan saya.
“Sudah dapat bukunya Mas?”
Tanyanya pada saya. Saya berusaha mendekat ke laki-laki itu dan duduk sejenak di sampingnya.
“Belum pak. Mungkin tidak ada di sini. ”
Laki-laki itu tersenyum.
“Mas, kalau tidak dapat buku itu, nggak apa-apa lah, tidak perlu menyesal. Sebab pada dasarnya, tauhid itu tidak harus kita temukan dalam buku-buku saja, tapi ada di dalam sini. Kita bisa menemukannya di sini. ”
Ujar laki-laki itu sambil menunjukan arah tauhid itu dalam dadanya. Awalnya saya menganggap ia bercanda, main-main saja. Tapi ternyata ia bicara serius bahkan sangat serius kepada saya.
Saya makin penasaran dengan dia. Tutur katanya yang lemah lembut menjadi daya tarik sendiri bagi saya. Kata-katanya sering menggunakan bahasa isyarat, tapi masih bisa dimengeti oleh orang awam seperti saya ini.
“Maksudnya bagaimana, pak?”
Tanya saya penasaran. Ia berhenti sejenak karena ada seorang ibu yang memborong buku pelajaran sekolah untuk anaknya.
“Tauhid itu ada dalam kalimat ‘laa ilaha ilallah’. Semakin banyak kita mengucapkan kalimat itu, maka semakin banyak kita mengingatNya. Dan ujungnya adalah kita mengakui bahwa tak ada kekuatan dan kekuasaan apapun dalam diri mahluk kecuali dzat yang Maha Agung, yaitu Allah Subhanahu wa ta’ala. ”
Kalimat-kalimat yang meluncur darinya begitu enteng, spontanitas namun menyejukkan. Saya sama sekali tidak mengira kalau dalam kesibukan orang-orang dengan kepentingannya masing-masing itu saya akan menemukan mutiara yang begitu indah.
Saya akhirnya lama duduk di tempat tersebut. Sambil melihat hilir mudik orang sekeliling, saya banyak bicara dengannya tentang apa saja, dengan tidak mengesampingkan masalah tauhid. Saya menjadi tahu bahwa ia sudah tigabelas tahun berjualan di tempat itu. Dan rupanya ia pernah lama ‘nyantri’ di sebuah pesantren di daerah Tasikmalaya, Jawa Barat.
Saya total berhenti di tempat dagangan laki-laki itu. Saya menunda sementara untuk mencari buku tauhid ke tempat lain. Saya malah lebih senang ngaji pada sosok shaleh pedagang kaki lima ini. Di tengah hiruk pikuk orang yang berlalu lalang di tempat tersebut, ternyata ada kesejukan tersendiri dari sosok wajah yang sangat sedehana itu.
Masya Allah, petuahnya tentang tauhid, luar biasa. Ia mengajak saya agar memurnikan kalimat ‘lailaha ilallah’ dan mempraktekannya dalam kehidupan sehari-hari. Saya sempat menggaris bawahi kalimat penting ini:
“Orang berbuat musyrik, dan menjauhi Allah, tidak harus mereka yang membakar kemenyan dan mereka yang suka tidur di tempat-tempat ‘angker’ saja, tapi terlalu mencintai sesuatu yang bersifat keduniaan belaka, adalah awal dari kita men-tuhan-kan selain Allah. Dan ahir zaman ini sering kita lakukan, tanpa kita sadari. ”
***
Purwokerto, Juli 07