Laki-laki 29 tahun itu tidak banyak bicara. Wajahnya lumayan rupawan, sehingga banyak teman perempuan sesama warga Indonesia yang sering meliriknya. Tapi ia selalu tak ambil peduli dengan itu semua. Ia sedang belajar setia kepada seseorang, yang insya Allah akan dinikahinya setelah habis masa kontrak bekerja di luar negri. Kata dia suatu saat pada saya.
Namun, bukan penampilan fisik itu yang sedang saya kagumi. Akan tetapi tingkah laku sehari-hari yang membuat saya ‘kesengsem’ pada pemuda ini. Ia sangat sedikit buka mulut, kecuali yang penting-penting saja. Dan tak pernah sedikitpun kedengaran ia mengeluh, apalagi mengumpat. Padahal saya tahu, pekerjaan yang ia emban sangat banyak dan berat. Ia sopir untuk antar jemput anak sekolah. Ia juga setiap pagi antar barang-barang ke restoran dan pasar. Setelah itu ia juga harus ‘stand by’ petang hari di tempat kami memproduksi mie basah milik majikan saya.
Ia juga masih sempat masak untuk kami, membersihkan kamar, mengangkat jemuran sekaligus melipatkannya rapi-rapi. Kalau ada barang-barang berserakan, cepat-cepat membereskannya, dan tanpa komentar sedikitpun kepada saya maupun kawan-kawan saya. Kalau ada kesempatan libur, ia tidak pernah diam. Pagi-pagi ia sudah membersihkan kawasan tempat kami tinggal. Menyapunya bersih-bersih. Dan memindahkan apa-apa yang dilihatnya kurang nyaman dipandang. Itupun tidak peduli, apakah kawannya mau membantu atau tidak.
Tak hanya sebatas pada pekerjaan. Rupanya pemuda ini juga sangat tanggap terhadap lingkungannya. Ketika di kamar kami hanya ada koleksi musik-musik pop saja, seperti Jamrud, Slank, Sheila On 7, Paterpan dam kelompok musik pop lainnya, ia menambah koleksinya dengan lagu-lagu yang bernada dan berirama Islami, tanpa menyingkirkan kaset-kaset lainnya.
Ia rajin mengoleksi Raihan, Brother, Haddad Alwi. Mayada, Kyai Kanjeng bahkan ia sangat gandrung sekali dengan shalawatnya grup nasyid dari beberapa pesantren tradisional. Dan tak ketinggalan ia juga membeli karya-karya legendaris dari Nasyida Ria. Yang rupanya di negri ini sangat terkenal. Sehingga, kalau pagi maupun petang, mengalunlah lagu-lagu rohani atau shalawat dari kelompok-kelompok nasyid tersebut. Rupanya kami ikut larut dalam irama-irama itu.
Dan tak ketinggalan, sehabis menerima gaji ia memborong buku -buku Islam ataupun majalah-majalah yang berbau Islam. Ia tidak pernah menyuruh kami untuk membacanya. Tapi karena majalah dan buku-buku itu berserakan, ahirnya saya dan teman-teman punya napsu juga untuk membaca. Satu langkah kecil telah mempengaruhi kami untuk berbuat dan bertindak dengan jalan keagamaan.
Dan beberapa waktu lalu, ia telah mengirimkan uang kepada orang tuanya, agar dipergunakan untuk membuat sumur pompa. Sebab selama ini sumur timbanya, kalau tidak hujan tiga hari saja sudah kering kerontang. Maklum kampungnya agak sedikit susah air.
Sungguh, saya jadi makin dekat saja dengan teman yang satu ini. Saya juga banyak berteman dengan banyak pekerja dari berbagai bangsa di Brunei ini. Ada yang kalau saya ikuti bisa menjadikan saya menyelusuri jalan-jalan menuju ke dasar neraka. Dan yang satu ini, kalau saya ikuti, Insya Allah, akan membawa saya menuju jalan syurga, mudah-mudahan!
Suatu saat, menjelang tidur, ia berbisik pada saya, "Di mana saja dan kapan saja, dan dalam situasi sedang bagaimanapun, dakwah harus kita laksanakan. Walaupun mungkin sangat sederhana sekali. Seperti hanya dengan perantaraan musik, bacaan, atau mungkin hanya sekedar menyingkirkan barang-barang sepele yang kurang enak dipandang mata."
Ah, ternyata saya baru menyadari bahwa kawan saya ini sedang menyampaikan pesan-pesan mulia para kekasih Allah kepada kami. Alias dia sedang berdakwah. Bukan hanya lewat kata-kata atau lisannya saja, tapi juga lewat perbuatan sehari-harinya yang terkadang dianggap remeh oleh orang lain, namun bagi dia sangat mulia di hadapan Sang Maha Pencipta.
Begitu indahnya kisah dakwah laki-laki ini. Dan tentu akan bertambah indah, jika saya dan teman-teman yang lain bisa mengikuti jejaknya.* * *