Suatu siang yang terik, aku menghadiri pesta pernikahan di kawasan Cililitan. Saat aku datang, terlihat suasana begitu meriah, penuh dengan tetamu. Semua memancarkan rona kebahagiaan. Setelah melewati meja penerima tamu, aku langsung masuk memberikan ucapan selamat kepada kedua mempelai, kemudian mengambil hidangan makan siang, mencari tempat duduk, dan menikmatinya di sana.
O, ada yang unik rupanya. Tamu-tamu yang sedang bersantap siang dihibur oleh sebuah tim nasyid yang terdiri dari tiga personil laki-laki. Kami pun menikmati nasyid-nasyid yang dibawakannya. Sebagian dari nasyid yang dibawakan adalah nasyid-nasyid yang sudah populer. Suasana cukup hidup karena tim nasyid tersebut tidak sekedar membawakan nasyid, tetapi juga menyelinginya dengan dialog-dialog atraktif yang bersifat menghibur.
Aku menikmati hidangan dan menikmati sajian mereka. Hingga kemudian perhatianku terbawa pada ucapan personil tim nasyid bahwa lagu yang akan dibawakan berikutnya adalah lagu “special” buat pengantin. Setelah personil itu selesai berorasi memberikan pengantar, ada jeda beberapa saat. Kemudian kudengar lagu yang kukenal dan populer saat ini, yaitu lagu “Andai Kutahu” yang aslinya disuarakan oleh vokalis band “Ungu”.
Aku dibuat penasaran, kenapa lagu yang berisi pesan kematian itu dianggap lagu “special” bagi mempelai. Apa dasar pertimbangannya?
Biasanya pada pesta pernikahan, pesan-pesan yang lazim disampaikan antara lain adalah pesan agar bekerja sama dalam mewujudkan keluarga sakinah, agar menjadikan agama sebagai rujukan dalam mengatasi persoalan keluarga, atau agar masing-masing memperhatikan kewajibannya sebagai isteri atau suami. Lha ini pesan agar mengingat kematian? Apa hubungannya?
***
Aku mencoba mengambil hikmah. Kurasakan pesan itu tidak hanya ditujukan kepada kedua mempelai saja, tetapi kepada semua yang hadir termasuk diriku.
Kematian bisa datang kapan saja dan sering tak terduga, termasuk pada momen bahagia atau momen di mana seseorang belum sempat menikmati kebahagiaannya.
Hal yang agak mirip pernah dialami oleh sahabat Rasulullah yang baru melangsungkan pernikahannya. Baru beberapa detik ia menikmati malam pertamanya, datang panggilan jihad sehingga sahabat tadi langsung bergegas memenuhi panggilan Rasullullah. Sampai-sampai Rasulullah merasa tidak enak dengan sahabat tadi. “Apakah aku membuatmu tergesa-gesa?” demikian Rasulullah berujar kepada sang sahabat. Sahabat tersebut tertunda menikmati malam pertama karena panggilan jihad. Panggilan jihad adalah bentuk lain dari panggilan kematian, hanya saja kematian dalam jihad ini selalu di rindukan kedatangannya oleh sahabat-sahabat.
Aku pun terbawa ingatan pada bulan bahagia yang sebentar lagi kan menjelang. Orang beriman sungguh berharap agar bisa menjumpai bulan bahagia itu dan mengisinya dengan kebaikan yang sempurna, sebagaimana pengantin tadi juga berharap dapat menikmati malam pertama dan bulan madu mereka dengan sempurna.
Saya melihat fenomena yang cukup memiriskan, Ramadhan sang bulan bahagia itu datang tiap tahun dengan berbagai kebaikan dan keutamaan. Namun banyak dari kita yang menyia-nyiakan. Al-Hasil, kita tidak menemukan perubahan yang berarti selain umur kita yang makin berkurang. Padahal belum tentu kita akan bisa menjumpai Ramadhan hingga tahun depannya.
Demikian juga dengan fenomena pernikahan yang didasarkan atas nafsu belaka. Pernikahan tidak menjadi sarana sebagai ladang kebaikan dan keberkahan. Tidak juga menjadi sarana penyempurna agama. Cerai dan nikah lagi gampang dilakukannya karena limpahan harta.
Ternyata pesan kematian di pesta pernikahan itu memberikan banyak pelajaran yang baik bagiku. Kapan pun dan di mana pun kita harus mengingat kematian. Sesungguhnya ia selalu memberikan pelajaran yang baik bagi kita.
Waallahua’lam.