Jumat lalu kami kedatangan tamu dari Bahrain, DR. Salah Soltan. Syeikh yang banyak mengajar di Universitas-universitas Amerika ini menjelaskan kepada kami isi Alqur’an surat Al Fajr. Sungguh penjelasannya sangat mengesankan bagi mereka yang menginginkan perubahan. Surat ini dimulai dengan perkataan “Demi Waktu Fajar” dan diakhiri dengan “Dan masuklah kedalam surga-Ku”.
Dipanggil ke istana oleh presiden saja banyak orang senang, apalagi dipanggil ke istana Tuhan, dan yang memanggil langsung Tuhan, pasti lebih senang lagi. Presiden tidak memanggil orang untuk keistananya kecuali ada alasan tertentu, begitu juga untuk masuk ke istana Tuhan. Tentu harus ada alasan yang menyebabkan kita layak dipanggil untuk masuk kedalam surganya yang penuh kenikmatan.
Sayangnya, banyak orang mengatakan ingin masuk surga, tapi tidak banyak orang mau melakukan hal-hal yang menjadi syarat agar undangan surga itu datang. DR. Salah Soltan mengatakan “banyak orang ingin berubah hidupnya, tapi tidak banyak orang mau melakukan perubahan”. Setiap orang pasti ingin menjadi lebih baik, lebih bahagia, lebih sejahtera, dan sebagainya. Namun tidak banyak yang mau melakukan perubahan untuk mendapatkan kebaikan yang diinginkan.
Apa yang dikatakan DR Salah Soltan ini agaknya sesuai dengan realita. Guru saya, Prof. Renald Kasali, pernah bertanya kepada mahasiswa “siapa yang besok ingin lebih baik dari hari ini?” semua mahasiswa angkat tangan. Lalu beliau bertanya lagi “siapa yang setiap hari ke kampus melalui jalan yang sama?” sebagian besar mahasiswa angkat tangan. Kepada mahasiswa yang biasa kekampus naik motor dan selalu melalui jalan yang sama beliau bertanya “kalau jalan yang dilalui selalu macet, mengapa tidak mencoba jalan lain?” mahasiswa ini menjawab “saya rasa ini jalan yang paling dekat dan paling mudah, untuk apa saya mencoba-coba jalan baru yang belum jelas?”.
Mahasiswa ini rupanya sudah menikmati rutinitas kemacetannya setiap hari dan tidak ragu untuk mengulanginya kembali. Tak terfikir olehnya untuk mencari alternatif lain karena sudah merasa nyaman dengan pilihan sekarang. Kalau ditanya apakah kesal dengan kemacetan, jawabnya kesal. Kalau ditanya apakah mau berubah, 100% jawabnya mau. Tapi faktanya dia lebih memilih kekesalan secara berulang dari pada harus berubah jalan. Yang seperti ini tentu banyak.
Seorang teman mengatakan “saya rajin ngajar, tapi kok masih belum kaya?” sambil bercanda saya jawab “orang rajin memang gak bakal kaya, karena guru SD saya bilang rajin pangkal pandai bukan pangkal kaya. Jadi kalo bapak rajin ngajar, pasti bapak pandai mengajar”. Lalu saya bicara agak serius pada teman ini. “ngajar jangan over dosis, cukup sesuai kewajiban, selebihnya bikin kerjaan, gimana?” dia jawab “kalau saya gak ambil tambahan jam ngajar nanti gak cukup untuk sebulan”.
Coba lihat, sebelumnya dia bilang banyak ngajar hidup tetap susah, tapi diajak berubah ternyata lebih susah. Saya sadar melakukan perubahan memang tidak mudah, penuh resistensi karena ketidaktahuan akan hasil yang akan diperoleh pasca perubahan. Itulah sebabnya banyak orang yang “senang” bertahan dalam penderitaan.
Ingin berubah ternyata tidak cukup. Banyak orang mengatakan punya keinginan tapi sebenarnya hanyalah keinginan kosong. Ingin baru bisa disebut ingin kalau ada tindakan yang sudah mulai dilakukan meskipun kecil. Seperti kata AA Gym, “seseorang belum bisa dikatakan ingin haji selama dia belum mulai membuka rekening haji”. Setiap muslim kalau ditanya apakah ingin pergi haji, 100% jawabnya pasti ingin. Tapi kalau ditanya apakah sudah mulai menabung untuk pergi haji, banyak yang sama sekali tidak terfikir untuk itu. Inilah keinginan yang kosong.
“Penyesalan selalu datang belakangan”, begitu orang bijak mengatakan. Dalam surat Al Fajr Allah menceritakan manusia yang seperti ini. Allah mengatakan “Apabila bumi digoncangkan,.., dan pada hari itu neraka diperlihatkan; pada hari itu sadarlah manusia, akan tetapi tidak berguna lagi kesadaran itu baginya, lalu mereka mengatakan: "Alangkah baiknya kiranya aku dahulu mengerjakan kebajikan untuk hidupku ini". (QS. Al Fajr:21-24).
Ayat diatas memperlihatkan bahwa banyak manusia baru berfikir tentang kebajikan setelah neraka diperlihatkan, tentu hal itu sudah terlambat. Memang banyak orang baru bergerak, baru berfikir untuk berubah setelah melihat “neraka”. Setelah bangkrut baru berfikir akan sedekah, setelah sakit baru berfikir ingin olah raga, setelah paru-paru berantakan baru sadar kalau rokok membahayakan, setelah gagal baru berfikir ingin berusaha keras, dan sebagainya.
Rakyat kita juga banyak yang seperti ini. Setelah pasarnya, rumahnya, pekerjaannya digusur paksa, setelah banjirnya tak juga reda, setelah bencana terus merajalela, setelah neraka tercipta dimana-mana baru sadar ingin ganti penguasa, tapi ketika diberi alternatif baru, sepontan mereka mengatakan “belum teruji, mending yang sudah terbukti”. walaupun sudah terbukti tidak membawa perbaikan, namun rakyat masih merasa nyaman, tidak mau melakukan perubahan, malah sama-sama berteriak lanjutkan.
Sebelum terlambat, sebelum nasi menjadi bubur, sebelum penyelasan menjadi tak berguna, marilah kita melangkah, melakukan perubahan-perubahan, menciptakan perbaikan-perbaikan pada hari ini untuk kebahagiaan di hari depan. Semoga kita tidak menjadi manusia-manusia yang menyesal di hari kemudian. Amin.