Oleh : Ustadz Didik Hariyanto MA
Usayd bin Hudhayr adalah salah seorang sahabat nabi Muhammad dari Suku Aws dari kalangan Anshar. Usayd digelari kaumnya dengan sebutan “Al Kamil” (yang sempurna), karena otaknya yang cemerlang dan kebangsaannya yang masih murni. Dia menguasai pedang dan pandai menulis. Sebagai penunggang kuda yang cekatan dia memiliki ketepatan memanah. Di samping itu dia dikenal sebagai pembaca dan penulis dalam masyarakat.
Usaid bin Hudhair dan Sa’ad bin Mu’adz adalah dua pemimpin Aus. Mereka memperoleh berita bahwa seorang dai dari Makkah tinggal dekat kampung mereka. Yang melindungi dai tersebut ialah As’ad bin Zurarah, keluarga dekat Sa’ad bin Mu’adz, yaitu anak bibinya sendiri
Kata Sa’ad bin Mu’adz, “Hai Usaid! Sebaiknya engkau datangi pemuda Makkah itu. Dia telah mempengaruhi rakyat kita yang bodoh-bodoh dan menghina Tuhan kita. Cegahlah dia, beri peringatan supaya jangan menginjak negeri kita lagi sejak hari ini.”
Kemudian Sa’ad melanjutkan bicaranya, “Seandainya dia bukan tamu anak bibiku, “As’ad bin Zurarah, sungguh aku lakukan sendiri.”
Usaid mengambil tombaknya, lalu pergi ke kebun dimana Mush’ab berdakwah. Ketika As’ad bin Zurarah melihat kedatangan Usaid, dia berkata kepada Mush’ab, “Kebetulan hai Mush’ab! Itu pimpinan kaumnya datang. Seorang yang sangat cemerlang otaknya dan sangat sempurna akalnya. Itulah Usaid bin Hudhair. Jika dia masuk Islam, akan banyak orang mengikutinya. Mohonlah kepada Allah dan bijaksanalah menghadapinya!”
Usaid bin Hudhair berdiri ditengah-tengah jamaah. Dia memandang kepada Mush’ab dan sahabatnya, As’ad bin Zurarah, seraya berkata, “Apa maksud tuan-tuan datang kesini? Tuan-tuan hendak mempengaruhi rakyat kami yang bodoh-bodoh. Pergilah tuan-tuan sekarang juga, jika tuan-tuan masih ingin hidup.”
Mush’ab menoleh kepada Usaid dengan wajah berseri-seri memantulkan cahaya iman. Dia berbicara dengan gayanya yang simpatik dan menawan, “Wahai pemimpin! Maukah anda mendengarkan yang lebih baik dari itu?”
Tanya Usaid, “Apa itu?”
Kata Mush’ab, “Silakan duduk bersama-sama kami mendengarkan apa yang kami perbincangkan, silakan ambil, dan jika anda tidak suka, kami akan meninggalkan anda dan tidak kembali lagi ke kampung anda.”
Kata Usaid, “Anda memang pintar!”
Lalu ditancapkannya lembingnya ke tanah, kemudian dia duduk.
Mush’ab mengarahkan pembicaran kepadanya tentang hakikat Islam, sambil membaca ayat-ayat Al-Qur’an di sela-sela pembicarannya. Rasa gembira terpancar di muka Usaid. Lalu dia berkata, “Alangkah bagusnya apa yang kamu katakan. Dan alangkah indahnya apa yang kamu baca. Apa yang kamu lakukan jika kamu hendak masuk Islam?”
Jawab Mush’ab, “Mandi (bersihkan badan), bersihkan pakaian, ucapkan syahadatain (bersaksi tidak ada Tuhan selain Allah dan sesungguhnya Muhammad Rasulullah), sesudah itu shalat dua rakaat.”
Usaid langsung berdiri dan pergi ke telaga mensucikan badan, kemudian diucapkannya syahadatain, dan sesudah itu dia shalat dua rakaat. Hati yang keras itupun lunak setelah mendengar al Quran.
Ibnu Abbas berkata: “Dua rokaat dengan penuh penghayatan lebih baik dari pada shalat satu malam penuh tanpa hati”
Muhammad bin Ka’ab Al Kurdzi berkata: “Aku lebih senang membaca dalam shalat malamku surat “al Zalzalah” dan “al Qoriah” diulang-ulang dengan penuh penghayatan daripada membaca Al Quran banyak tapi cepat.
Ibnul Qayyim berkata, “Tidak ada sesuatu yang lebih bermanfaat bagi seorang hamba dalam hidupnya, akhiratnya dan jalan menuju kesuksesan, selain tadabbur Al Qur’an” (Madarijus Salikin, 1/451)