Melakukan perselingkuhan bagi orang yang telah ijab kabul, tentu saja akan membuat banyak pihak yang dirugikan. Baik bagi dirinya pribadi, bagi pasangannya maupun lingkungannya. Baik di lingkungan tempat tinggalnya maupun tempatnya mengais rejeki. Semuanya akan menyoroti dan mencibirkan bibirnya, karena perbuatan itu memang tidak sesuai dengan syariat Islam dan norma hukum masyarakat yang berlaku di lingkungan kita.
Masalahnya, kadang perselingkuhan terjadi bukan karena kesengajaan. Banyak perselingkuhan terjadi karena faktor lingkungan di mana kita berada, yang turut membantu proses itu. Lingkungan yang memang rentan terjadi perselingkuhan misalnya ; seperti dunia entertainment maupun dunia hiburan lainnya. Mereka khan mau tidak mau memerankan sebuah lakon yang seringkali harus bersikap seperti sepasang suami isteri. Untuk urusan ke lain hati, memang dunia keartisan ini tempatnya. Sepertinya kita semua memaklumi ini.
Tapi untuk perselingkuhan yang terjadi di luar dunia entertainment, tetap juga sering terjadi. Walaupun di lingkungan secara kasat mata merupakan tempat yang aman, karena merasa yakin orang-orang di lingkungan itu bermoral bagus. Tapi jangan terpedaya dengan situasi maupun penampilan seseorang. Semuanya tidak menjamin deh. Termasuk di lingkungan tempat kita bekerja.
Saat saya masih bekerja di sebuah perusahaan, seringkali saya merenungi waktu yang saya habiskan setiap harinya untuk menyelesaikan tanggungjawab yang telah saya sepakati. Jam kerja yang sangat panjang, membuatku sedikit jenuh. Jam tujuh pagi sudah harus bekerja dan pulangnya pun seperti pulangnya burung-burung yang akan balik ke sarangnya. Sinar matahari senja, serasa tak pernah indah di mataku. Aku pulang dengan hanya sisa-sisa tenaga. Yah, kantorku menguras semua persediaan energi yang telah aku charge setiap malamnya.
Pagi adalah saat tubuhku sangat fresh, tapi itu bukan untuk keluargaku. Mereka hanya bisa melihat senyumku, dan aku pun berpamitan untuk berangkat kerja. Pulangnya mereka pun hanya mendapat sisa tenangaku, yang tentu saja tidak cukup untuk membuat mereka lebih dekat padaku, dikarenakan aku sangat ingin meluruskan punggung di kamar. Jam kerja yang sangat ketat membuatku berpikir ulang tentang sebuah karier yang harus aku jalani, walaupun untuk itu aku mendapatkan sejumlah materi yang bagi kebanyakan orang “wah”.
Ketika di kantor inilah aku sering bercanda pada teman sejawat : “Sepertinya waktu kebersamaan kita lebih lama, di banding dengan pasangan kita.” Bagaimana tidak lama? Bila setiap harinya kita berkutat dengan pekerjaan dan sekaligus bergaul dengan teman sejawat untuk berdiskusi dan saling mendukung pekerjaan yang segunung setiap harinya. Kebersamaan yang berlangsung mulai saat daun-daun masih ditemani tetesan embun, hingga matahari mulai lelah bersinar dari ufuk barat..
Aku juga merasakan sedikit kekhawatiran tentang pergaulan di tempat kerjaku. Karena mereka telah bertahun bersama satu tim, hingga mereka seperti orang yang bersaudara. Persaudaraan itu tentu saja bagus. Tapi yang membuatku miris, gaya dan tingkah mereka yang menurutku tidak wajar. Bayangkan, mereka yang laki-laki maupun wanita merasa sebuah kewajaran bila bercanda sambil merangkul. Padahal yang laki-laki rata-rata telah berkeluarga, dan kebetulan yang wanita banyak yang masih sorangan wae.
Hingga suatu saat terjadilah pertemanan di luar batas antar teman pekerja. Ceritanya begini. Seorang wanita sebut saja A yang telah punya seorang anak menjadi sekretaris di kantorku. A seorang wanita yang lembut dan kelihatan ke-ibuan. Aku suka pada gaya bicara dan kelembutannya ( mungkin karena aku bertipe kebalikannya. He..he.. ). Kemudain sebutlah B untuk seorang pemuda lajang yang kebetulan magang kerja dari sebuah organisasi tenaga kerja. Aku sih nggak tahu perselingkuhan itu. Karena aku memang lebih konsentrasi pada pekerjaan dan jarang sekali tinggal di kantor bila jam makan siang. Aku lebih suka pulang untuk makan siang di rumah, sambil menengok anakku yang pertama saat itu. Jadilah aku ketinggalan berita, walaupun seisi kantor telah sangat heboh! ( Perjalanan kantor dan rumah hanya memakan waktu sekitar sepuluh menit. )
“Kenapa aku nggak diberitahu A selingkuh dengan B?!” Paman A sangat marah, keliihatannya hampir-hampir membentakku. Aku hanya terbengong dengan bentakan yang mendadak itu. Dia memang seseorang yang kenal dekat denganku. Malah nambahin : “Kamu khan seperti keluarga sendiri, seharusnya tak boleh diam begitu!” Ada juga seorang pria di sampingnya yang hanya diam mengamati kami. Rupanya dia juga membawa rekan yang berotot besar, takut juga rasanya hati ini.
“Aku memang dengar-dengar berita selentingan. Tapi aku khan tidak boleh menuduh begitu aja, bila tak melihat sendiri?!” Aku pun membela diri. Bagaimana aku bisa tahu peristiwa perselingkuhan itu, bila aku tak punya perhatian lebih pada personalnya. Untuk mencari tahu sebuah issu, aku nggak punya waktu. Aku hanya fokus pada tanggungjawab kerja dan tentunya keluargaku sendiri.
Akhirnya paman A yang mencari B, yang ternyata tak diketemukannya di kantorku. Sadar akan kekeliruannya telah berbicara agak panas padaku, maka dia pun mengatakan : “Peristiwa ini terjadi karena memang dia kurang beriman.” Berbicaranya pun dengan sedikit lembut padaku. Seperti menyesali kekeliruannya.
A memang bekerja di kantorku atas “lisensiku”. Maka tak heran, paman A mungkin mengharapkan aku punya perhatian lebih pada ponakannya. Urusan pekerjaan mungkin bisa aku intervensi, tapi untuk urusan pribadi? Nanti dulu deh. Dia sudah dewasa dan punya seorang anak. Penampilannya tidak menampakkan kebinalan seorang wanita. Dia sangat bersahaja. Aku ternyata tertipu!
Ada juiga ceirta di tempat kerjaku yang hampir senada dengan peristiwa C. C adalah pekerja yang kami terima karena gerakannya yang terlihat cekatan ( karena kantor kami dituntut bekerja secara cepat dan akurat ) dan vocal bahasa asingnya lumayan. Dia mampu menyisihkan peserta lainnya yang lumayan banyak. C adalah seorang ibu dari seorang anak pula. Suaminya adalah seorang guru pada sebuah sekolah swasta.
Permasalahan muncul ketika dia sering saling ber-say hello pada client kami dari luar daerah. Memang sih, awalnya hanya urusan pekerjaan. Seiring waktu mereka mungkin berbicara di luar jalur pekerjaan. Hingga sering terjadi makan siang bersama. Lelaki yang merupakan client kami seringkali menjemputnya di tempat kerja. Ini tentu saja sangat mencolok mata. Peristiwa yang sering terjadi saat jam makan siang, saat dimana saat aku pulang ke rumah. Rekan yang lain punya argument, aku juga telah tahu peristiwanya. Padahal, tentu saja peristiwa ini pun luput dari pandangan mataku.
Memang wanita yang bekerja diluar rumah, akan banyak menemui godaan, bila lingkungan kerjanya tidak Islami. Lingkungan kerja yang Islami harus kita utamakan bila ingin bekerja di luar rumah, di samping benteng keimanan yang harus sering kita bangun lebih kuat. Karena saat bekerja di luar inilah kita dalam keadaan “cantik dan rapi” sebagai wanita. Waktu kebersamaan bersama laki-laki yang bukan muhrim dalam jangka waktu lebih lama di banding dengan pasangan, memungkinkan terjadinya gesekan rasa dan perhatian lebih, yang pada akhirnya akan mendapatkan lirikan dari lawan jenis.
Lirikan tersebut apakah akan kita balas atau tidak? Tentu saja tergantung pada pribadi masing-masing. Memang sih, bila kejenuhan menghampiri rumah tangga dan monotonnya irama bahtera rumah-tangga yang kita jalani, akan dapat memicu hati kita untuk tergiur sejenak. Tergiur ntuk mencoba hal yang baru, karena akan ada sebuah sensasi yang nikmat di hati. Membuat kita lebih bergairah dan berpikir ulang tentang kehidupan yang telah dijalani bersama suami tercinta. Hingga akhirnya membuat kita kadang mengambil jalan pintas. Jalan pintas untuk mendapatkan sebuah rasa yang asing yang akan menimbulkan rasa nikmat, yang tidak pernah kita perhitungkan ; “bagaimana hasil dari perbuatan itu!”
Yah, perselingkuhan memang dapat terjadi di mana saja, termasuk di lingkungan kita bekerja.. Semoga saja, ibu-ibu yang bekerja di luar rumah, dapat selalu menyirami hatinya dengan do’a sebelum melangkahkan kaki dari rumah. Jangan sampai timbul pikiran untuk membandingkan pribadi pasangannya dengan orang lain.
Karena mencari-cari kekurangan suami untuk membandingkannya dengan orang lain, tentu saja akan membuat kita gamang dengan pasangan kita, yang telah bertahun bahkan mungkin berpuluh tahun hidup bersama kita. Suami telah teruji kesetiaan dan tanggungjawabnya pada kita, di banding dengan orang yang mungkin baru kita lihat sisi luarnya saja. Jangan sampai tertipu hanya karena melihat perhatiannya saja selama ini, karena sifat aslinya masih terbungkus dengan rapi..
Sengata, 30 Mei 2009
Halimah Taslima
Forum Lingkar Pena ( FLP ) Cab. Sengata