Sebuah keniscayaan bahwa kita adalah manusia biasa, tempatnya salah, khilaf, dan lupa. Dalam interaksi kita, sebagai apapun, baik sebagai saudara, teman, sahabat, anak kepada orang tua, atau sebagai atasan/bawahan dalam dunia kerja akan selalu menghajatkan kesalahan atau kekurangan. Selain itu, kita juga tidak bisa lepas dari ketergantungan terhadap manusia atau makhluk lainnya, karena itu kita disebut makhluk sosial. Kita akan terhubung dan tersambung dengan makhluk lainnya. Dan dalam Islam atau kita sebagai muslim, hubungan tersebut kita sebut ukhuwah atau persaudaraan. Dalam persaudaraan antar sesama muslim akan ada rasa khilaf, benci, dan cinta pada saudaranya. Maka pertanyaannya adalah bagaimana sikap kita pada saudara, teman, atau sahabat anda? Sudahkah kita menjadi saudara, teman, atau sahabat terbaik untuk mereka? Mari kita lihat…..
Kadang saudara kita melakukan salah, luput, kezaliman kepada kita, dan sudahkah kita memberlakukan kaidah, “Bencilah kesalahannya tapi jangan benci orangnya”? Subhanallah, kadang kita dengan kesalahan yang orang lakukan kepada kita, bukan hanya kesalahannya yang kita benci namun sang pelaku juga kita benci, padahal dengan kebencian kita kepada sang pelaku justru tidak akan membantu kepada sang pelaku untuk bertaubat dan berubah menjadi lebih baik, karena sang pelaku akan merasa sendiri, sebagai makhluk penuh kesalahan yang tidak termaafkan karena kebencian kita.
Alhamdulillah, jika kaidah di atas sudah bisa kita lakukan kepada saudara kita, selanjutnya tentu kaidah “Memaafkan”. Memaafkan tentu tidak mudah, apalagi jika kita benar-benar merasa tersakiti dan terzalimi olehnya, karena itu Allah menempatkan sikap bersabar dan memaafkan sebagai sikap yang diutamakan daripada mengambil pembalasan serupa atas kejahatan orang kepada kita, meskipun pembalasan diperbolehkan (QS 42 : 39-43). Tentu, kita berharap dan berdoa agar ketika ada takdir kesalahan dari saudara, teman, dan sahabat kita maka ada takdir memaafkan yang mengiringi takdir kesalahan mereka, Insya Allah…..
Mari kita simak ungkapan indah dari Imam Asy-Syafi’i, “Aku mencintai orang-orang shalih meski aku bukanlah bagian dari mereka, dan aku membenci para pemaksiatNya meski aku tak berbeda dengan mereka”. Tentu kita tidak meragukan betapa shalih dan utamanya kepribadian Sang Imam, dan, beliau ternyata mencintai orang-orang shalih meski “merasa” bukan bagian dari orang shalih, dan membenci pemaksiat meski “merasa” tidak jauh berbeda dengan pemaksiat. Sebuah ungkapan yang menggambarkan rendah hatinya Sang Imam. Dan dalam persaudaraan kita, perlu memang adanya cinta dan benci yang seperti ini, cinta akan kebaikan dan keshalihannya, serta benci akan kesalahannya — dengan adanya salah dan khilaf saudara kita, maka diperlukan nasehat indah yang mengiringinya, sehingga kitapun harus ikhlas dan siap untuk memberi ataupun menerima nasehat dari saudara, teman, dan sahabat kita. Karena dengan tradisi saling menasehati itulah yang akan menjadikan persaudaraan kita tidak merugi. Dengan tradisi saling menasehati inilah yang akan meminimalisir kesalahan kita serta menyuburkan cinta di antara kita. Yang dengan tradisi saling menasehati tersebut, akan melahirkan rasa sesal atas kesalahan kita dan keinginan berubah menjadi lebih baik, Insya Allah….
“Karena orang beriman tetaplah rembulan, memiliki sisi kelam, yang tak ingin ditampakkannya pada siapapun, maka cukuplah bagi kita memandang sang bulan pada sisi cantik yang menghadap bumi. Tentu, tanpa kehilangan semangat untuk selalu berbagi dan sesekali merasai gelapnya sesal dan hangatnya nasehat sebagaimana sang rembulan yang kadang harus menggerhanai matahari”
Ramadhan, 1434 H,
the special One <[email protected]>
Di saat merenungkan banyak “kekurangan” dalam persaudaraan kita…