Eramuslim.com – Kebanyakan kita tidak hidup di suasana perang, seperti pada generasi kakek-nenek kita yang melalui masa-masa perang kemerdekaan, seperti masa-masa perjuangan di Afghanistan, seperti suasana di Palestina hingga saat ini, dan seperti suasana di masa Rasulullah saw dan para sahabatnya hidup.
Dalam satu buku sirah yang memenangkan satu lomba penulisan Sirah Nabi Muhammad saw yang diadakan Rabithah ‘Alam Islamiy, dipaparkan bahwa dalam kurang lebih 10 tahun masa kehidupan Nabi di Madinah, tidak kurang terjadi 83 kali peperangan dan ekspedisi pasukan. Artinya setiap tahun rata-rata terjadi delapan kali peperangan atau ekspedisi atau setiap satu setengah bulan sekali.
Bayangkan bagaimana kekuatan jiwa para shahabiyyah dalam menghadapi suasana seperti itu. Setiap kali melepaskan suami atau anak laki-laki mereka, para istri dan para ibu itu siap untuk menerima kepergian orang yang dicintainya untuk selamanya. Setidaknya begitulah kesiapan yang mereka miliki dalam dimensi kehidupan dunia. Begitu jiwa-jiwa para perempuan Palestina begitu teguh melepaskan suami dan anak-anak mereka berjuang merebut kemerdekaan negerinya.
Allah swt. telah melebihkan mereka dengan momentum waktu yang membuat jiwa mereka teguh. Cita-cita mendapatkan suami atau anak-anak yang pejuang dan menjadi syuhada, pahlawan yang gugur di jalan Allah adalah cita-cita yang nyata bagi mereka. Cinta mereka kepada suami dan anak-anak tidaklah dibatasi pada sentuhan fisik semata. Mereka telah melambungkan cintanya ke kehidupan yang lain, yang kekal abadi. Mereka telah membingkai cintanya dalam fikrah yang tinggi, ideologi yang menghantarkannya pada puncak kemanusiaan.
Fikrah yang diserap dari taujih Rabbani, pengajaran dan pengarahan dari Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Bijaksana Pada medan perjuangan bangsa Afghan saat mengusir agresor Rusia, seorang istri pejuang pernah ditanya wartawan, “Apakah Ibu tidak takut, jika suami Ibu meninggal. Bagaimana Ibu akan hidup dan menghidupi anak-anak kelak?” Si Ibu hanya tersenyum. Tapi dari sorot matanya terpancar keyakinan yang dalam. Ia menjawab, “Suami saya hanyalah seorang pemakan rizki dan bukan Pemberi Rizki!”
Dalam buku “Ghirah”, Buya Hamka pernah berkisah. Salah satu perkampungan di Tanah Minang diserbu Belanda. Pasukan mendapatkan seorang perempuan sedang menumbuk padi di depan sebuah rumah gadang. Seorang tentara Belanda menghardiknya dan menanyakan apakah di rumah ada orang laki-laki. Dengan tegas si perempuan menjawab,”Tidak ada!” Toh pasukan memeriksa rumah itu dan ternyata didapati ada seorang lelaki bersembunyi di dalam rumah. Perempuan itu pun dihardik lagi oleh tentara Belanda, “Kamu sudah berdusta ya… Tadi kamu bilang tidak ada orang laki-laki, ternyata ada!” Perempuan itu tidak menunjukkan wajah gentar sedikitpun. Dia malah menjawab lantang, “Yang kalian temukan itu bukan lelaki, sebab para lelaki adalah mereka yang berjuang di hutan-hutan. Bukan pengecut yang bersembunyi di rumah!”
Bapak saya bercerita, bagaimana kondisi desanya di Kuningan sana saat dikabari akan ada serangan dari Belanda [entah berapa kali Bapak menceritakan kisah ini]. Suara letusan dan desing peluru mulai terdengar, pertanda tengah terjadi pertarungan seru antara para pejuang melawan penjajah Belanda tidak jauh dari desa. Tapi kekuatan pasukan pejuang tak mampu menahan serbuan, hingga beberapa utusan pejuang datang ke desa dan memerintahkan para perempuan dan anak-anak untuk meninggalkan desa.
Saat itu terlihat bagaimana Enin [panggilan saya untuk nenek yang tak pernah saya jumpai, karena wafat saat Bapak masih remaja] begitu tenang dan teguh mengurus anak-anaknya yang masih kecil-kecil untuk pergi mengungsi. Bapak saya adalah anak terbesar. Usianya baru sekitar 13-14 tahunan. Ia mesti membantu Enin dengan sekuat tenaga. Di mana Engki, kakek saya? Saat itu ia tak ada di tengah keluarga, karena tengah bergerilya di hutan-hutan. Enin telah berusaha mempersiapkan segalanya. Tak ada waktu santai. Semua persiapan mesti dilakukan serba cepat. Serempak bersama anak-anaknya, termasuk Bapak saya, Enin berjalan dan berlari meninggalkan desa. Ketika telah beberapa kilometer meninggalkan desa, Enin tiba-tiba berteriak, “AstagfirulLaah… Ujang, si Otong tertinggal!” Bapak saya, si Ujang yang dipanggil Enin, segera diperintahkan Enin untuk kembali ke desa, mengambil si Otong, yang tak lain adik bungsunya. Paman saya Harits alias si Otong, alhamdulilLah, bisa temukan dan diselamatkan. Meskipun Bapak menceritakan dengan sedih, bahwa seorang bapak di kampung yang menemaninya saat hendak keluar desa lagi, di tengah jalan tertembak peluru Belanda yang meninggal. Bapak melihat langsung kejadian ini.
Saya tidak bisa membayangkan betapa teguhnya perempuan-perempuan segenerasi Enin. Dalam kondisi berat ditinggal suaminya yang lebih banyak bergerilya, ia tak pernah terlihat mengeluh kepada Engki. Gambaran khidmat-nya pada suami digambarkan Bapak saya dalam kalimat, “Engki itu tak pernah makan ikan, kecuali duri-durinya sudah Enin pisahkan…”
Saya membayangkan, jika perempuan-perempuan teguh seperti para shahabiyyah, seperti isteri para pejuang di Palestina atau Afghanistan, seperti perempuan penumbuk padi di Tanah Minang, seperti generasi Enin hadir di masa ini, maka mereka akan menjadi penyejuk dan penyemangat para suami yang tengah berjuang.
Medan perjuangan saat ini memang bukan di tengah desingan peluru. Ada desingan-desingan lain yang tak kalah dashyatnya, yaitu desingan peluru yang meluluhlantahkan moralitas. Peluru dusta dan peluru penghianatan kepada kebenaran dan kepada orang banyak. Peluru yang membuat orang rakus dan lupa kepada mereka yang papa. Tantangan yang dihadapi saat ini, bukanlah medan perang gerilya di hutan-hutan. Medan perjuangan saat ini ada di dunia birokrasi, ada di dunia bisnis dan ada di tengah-tengah masyarakat. Atau bahkan medan perjuangan itu ada dalam diri sendiri; Melawan segala nafsu jahat yang setiap saat terus dihasut syaitan. Pada medan juang yang berbeda ini tetap dibutuhkan perempuan-perempuan teguh. Mereka pandai memaknai medan juang kontemporer, sehingga jiwanya disiapkan untuk berjuang. Mereka tak akan rela suaminya hanya menjadi pecundang peradaban materialisme. Mereka akan dukung perjuangan suaminya, meskipun kehidupan yang dihadapi menjadi berat. Mereka akan besarkan anak-anaknya untuk menghadapi tantangan zaman. Mereka harus cerdas, sekaligus sabar dan memiliki jiwa kasih sayang yang besar. ***
Dipersembahkan secara khusus untuk para istri yang mesti terpisah jauh dari suami mereka yang tengah merantau untuk satu misi mulia, bersabarlah. Semoga Allah mencatat kondisi ini sebagai kondisi perjuangan.
Chiba, 18 Januari 2006 Adi J. Mustafa, Anggota FLP-Jepang E-mail: adijm2001 at yahoo dot com