“Aku benar-benar akan menciummu, meskipun aku tahu kamu hanyalah batu yang tidak dapat memberi mudhorat dan tak pula dapat member manfaat. Sekiranya aku tak melihat Rasulullah menciummu niscaya aku tak akan menciummu.”
Begitulah perkataan Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu sesaat akan mencium hajar aswad, batu dari surga yang terletak di sisi Ka’bah, sebagaimana yang diriwayatkan dalam kitab Shahih Muslim. Tanpa perlu bertanya-tanya, “Atas dasar apa Rasulullah menciumnya?” atau “Apa manfaat dari mencium batu itu?”.
Sosok Sahabat yang mulia ini telah mencontohkan kepada kita bahwa meneladani Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam tidak perlu diikuti dengan berbagai pertanyaan bernada ragu, seperti: “Apa landasan ilmiah dari perbuatan ini?“, “Kalau saya melakukan sunnah ini, kira-kira apa manfaatnya ya?” Perhatikan lagi kata-kata Umar yang menegaskan kepada kita bahwa keimanannya kepada Rasulullah ialah sebaik-baik keimanan: “Sekiranya aku tak melihat Rasulullah menciummu, niscaya aku tak akan menciummu.“
Allah subhanahu wa ta’ala selaku Pencipta langit, bumi beserta isinya -termasuk manusia- sudah pasti mengetahui betul apa hal-hal yang tepat untuk ciptaan-Nya. Ketika Allah memerintahkan suatu hal pada Rasulullah melalui wahyu, maka pasti hal itu memiliki manfaat yang luar biasa besar, tanpa perlu diragukan sedikitpun.
Namun, alangkah malangnya kita sekarang manakala meragukan sesuatu yang datang dari sisi Rasulullah, baik keraguan yang ditunjukkan secara langsung ataupun tidak langsung.
Perhatikanlah apa yang terjadi disekitar kita, banyak diantara kita justru lebih percaya kepada apa yang datang dari “dunia luar” daripada yang datang dari Rasulullah. Ketika ada sebuah iklan yang menyerukan agar “langkahkanlah kaki Anda minimal 10.000 langkah perhari agar tidak terkena osteoporosis“, maka sebagian dari kita berlomba-lomba untuk mengikutinya agar tidak terkena osteoporosis. Padahal jauh belasan abad yang lalu Rasulullah telah mencontohkan bahwa berjalan kaki ialah sesuatu yang baik.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: “Barangsiapa yang bersuci dari rumahnya, kemudian BERJALAN ke salah satu dari rumah-rumah Allah (masjid) untuk menunaikan salah satu dari kewajiban-kewajiban yang Allah wajibkan, maka kedua langkahnya salah satunya akan menghapus dosa dan langkah lainnya akan mengangkat derajat” (Muttafaq ‘alaih) Di hadits diatas, Rasulullah menyerukan untuk berjalan kaki ke masjid, bukan dengan unta atau kuda yang digunakan sebagai kendaraan saat itu. Kalaulah umat Islam istiqomah menjalankan hal ini, maka minimal 5 kali sehari saat sholat akan berjalan kaki ke masjid dan mendapatkan manfaat akhirat yakni akan Allah hapuskan dosa dan mengangkat derajat kita, dan manfaat dunia yakni diberikan kesehatan oleh Allah sebab telah menggerakkan fisik secara teratur dan berkesinambungan.
Atau boleh kita ambil contoh lain, dimana saat ini –di kehidupan modern ini-, saat terjadinya penurunan tingkat kesehatan pada manusia, maka dicanangkanlah kampanye global oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan gerakan “Hari Mencuci Tangan Se-Dunia” sebagai upaya untuk menurunkan tingkat kematian balita akibat diare dan pencegahan penyakit.
Maka dengan dimunculkannya kampanye ini, berlomba-lombalah kita untuk mengikutinya. Padahal sejak 14 abad yang lalu Rasulullah telah mencontohkan agar kita mencuci tangan (minimal) 5 kali sehari saat berwudhu.
Dua contoh diatas hanyalah sebagian kecil dari hal-hal sederhana yang kita melakukannya justru karena ada himbauan dari “orang lain” disebabkan hal tersebut telah melewati penelitian ilmiah, hasil riset atau apalah namanya. Padahal dulu Rasulullah telah mencontohkannya kepada kita.
Jadi, perlu kita upgrade kembali iman ini. Apakah sunnah-sunnah yang selama ini kita lakukan semata-mata sebagai bentuk kecintaan kita kepada Allah dan Rasul-Nya, ataukah karena telah ada penelitian ilmiah yang membuktikannya.
Melihat dari apa yang terjadi saat ini, seolah-olah ada hal lain yang menjadi penentu bagi kita dalam berbuat suatu perbuatan: Apabila perbuatan tersebut sudah memiliki hasil riset dan diteliti secara ilmiah oleh peneliti-peneliti dari Barat, maka baru kita mau melakukannya. Lalu ketika kita mendengar bahwa perbuatan tersebut telah dicontohkan oleh Rasulullah, barulah kita sadar, “Subhanallah, ternyata Rasul sudah mencontohkannya sekian abad yang lalu”
Sebagai tambahan dalam tulisan sederhana ini, kami sampaikan kembali sebuah contoh:
Ada dialog:
A: “Pak, Bu. Rasul itu pernah menyampaikan sebuah adab sederhana, yakni jangan minum sambil berdiri, itu haditsnya shahih lho.” Kalau disampaikan seperti diatas, barangkali sekedar lewat saja ditelinga. Namun berbeda responnya jika kita sampaikan begini:
A: “Pak, Bu. Ada penelitian, menurut penelitian ini ternyata ginjal kita ada selaput. Kalau kita duduk, selaput tersebut akan menutup, kalau berdiri terbuka. Bayangkan ketika air yang kita minum ada racunnya, tidak sehat. Begitu minum sambil duduk, selaput tersebut menutup dan sehingga air yang tidak sehat tersebut tidak dapat masuk ke ginjal kita. Kalau kita minum berdiri, selaput tersebut terbuka sehingga air yang tidak sehat dapat masuk ke ginjal kita.”
B: “Wah, kalau begitu saya akan minum sambil duduk, biar lebih sehat” Pertanyaan selanjutnya yang muncul adalah, mengapa kita harus menunggu penelitian ilmiah dan hasil riset baru percaya Allah dan Rasul-Nya? Ini yang mesti kita renungkan dan perbaiki kembali. Sebagai penutup dari tulisan sederhana ini, kami kutip sebuah “kicauan” teman di Twitter yang meng-inspirasi kami:
“Urutan penyelesaian masalah yang terjadi sekarang: 1. Penelitian ilmiah didahulukan 2. Logika pemikiran dijadikan sandaran 3. Lalu Al-Quran sebagai pembenaran
Padahal seharusnya:
1. Al-Quran sebagai rujukan kebenaran 2. Logika pemikiran yang menguatkan 3. Penelitian ilmiah sebagai pembuktian”
Jangan sampai salah urutan, salah urut bisa membahayakan iman. Semoga kita dapat memperbaiki urutan dalam menjalani kehidupan ini. Wallahu a’lam bishshawab. Al Faqiir ilaa Rabbih,
Muhammad Hidayat Pekanbaru,