Setahun yang lalu.
Fiufff……….
Kuhembuskan nafas berat. Entah kenapa akhir-akhir ini aku merasa benar-benar sangat capek. Gampang kelelahan. Selain itu, juga sulit tidur (insomnia). Dan yang lebih parah, emosiku benar-benar tak stabil. Aku terlalu gampang marah dan sangat mudah tersinggung. Padahal, sebenarnya aku termasuk tipe orang yang cuek, sering tak pedulian, dan sangat gampang bercanda. Biasanya, perkataan-perkataan dari teman-teman yang agak menyakitkan sekalipun, aku anggap angin lalu saja. Tapi, sekarang? Entahlah. Aku benar-benar tak mengerti pergolakkan psikologis yang terjadi pada diriku. Apalagi dibarengi dengan kondisi fisik yang dua kali lipat lebih cepat lelah dari pada waktu sebelumnya.
Hingga,
”Thel, denyut jantungmu kok bisa sampai 150 kali per menit? Normalnya kan Cuma 70?” Tanya temanku yang kebetulan memeriksa denyut nadi. Kami sedang melaksanakan praktikum Fisiologi Manusia, salah satu mata kuliah yang sedang aku pelajari. Materi yang kami pelajari adalah sistem kardiovaskular (jantung dan pembuluh darah). Salah satunya yaitu memeriksa denyut nadi.
”Hah? Masa’ sih?”
”Iya!” Temanku itu meyakinkan
”Ah, barangkali karena aku habis beraktifitas. Tadi lari-lari dari mushalla, pake naik tangga lagi. Makanya denyutnya jadi cepat.”
”Oh…”
Tapi, tiba-tiba aku jadi kepikiran dengan komentar temanku itu. Setelah berlalu sekitar tiga puluh menit, diam-diam akupun mencoba menghitung sendiri denyut nadiku. Ya Allah, benar!!! Seratus empat puluh kali per menit. Itu kan sudah dua kali lipat? Padahal aku tak lagi beraktifitas berat. Aku seolah ingin dengan rakusnya meraup seluruh O2 agar alveolus di rongga dadaku terisi penuh.
Tapi, kupikir ini hal yang sudah semestinya. Kompensasi dari kegiatanku yang setumpuk dan kelelahan yang akhir-akhir ini menyergap. Apalagi, semester yang kuhadapi juga sangat padat. Setiap hari kuliah dari pagi sampai siang, lalu dilanjutkan dengan pratikum sampai sore.
Belum lagi aktifitas keorganisasian yang menuntutku. Bahkan, aku harus berangkat pagi-pagi sekali untuk rapat, lalu kuliah, dilanjutkan dengan praktikum hingga waktu Asyar. Setelah asyar, rapat lagi hingga maghrib. Tak jarang aku sampai di kos setelah waktu maghrib, bahkan nyaris mendekati Isya’. Dan malam pun, sudah menunggu tugas-tugas kuliah, laporan praktikum, tugas-tugas keorganisasian, dan juga hafalan untuk kuis.
Praktikum selanjutnya ternyata memberikan bukti otentik bahwa ada yang tak beres. Ada yang tidak lagi sesuai dengan kondisi normal dalam tubuh ringkihku. Kebetulan aku menjadi salah satu relawan untuk percobaan EKG (elektrokardiogram), sebuah alat pendeteksi ritme jantung pada pratikum itu. Di layar komputer terlihat grafik-grafik yang tak beraturan, yang tidak lazim. Dosenkupun akhirnya mempertanyakan hal itu.
Hari-hari selanjutnya, aku harus menghadapi rumah sakit! Yah, rumah sakit! Sebuah tempat yang selama ini kukunjungi bukan sebagai pasien. Sebab, Alhamdulillah, sebelumnya aku termasuk salah seorang yang memiliki daya tahan tubuh yang cukup kuat. Aku sangat jarang mengalami demam, ataupun flu. Tapi, sekarang? Aku harus menjadikan kunjungan ke rumah sakit sebagai agenda rutin? Oh…., alangkah melelahkannya.
Setelah menjalani pemeriksaan, tes labor, dan berbagai rangkaian tes lainnya, akhirnya sampai pada putusan final. What the result? Bisa ditebak! Aku divonis terkena suatu penyakit yang cukup berat. Sebuah penyakit kronis yang menahun. Aku harus mengkonsumsi obat-obatan selama minimal 5 tahun. Ya Allah, lima tahun! Itu sudah jangka yang minimal dan tidak boleh terputus terapinya. Bahkan ada yang sampai 10 tahun, bahkan seumur hidup!
Selanjutnya, hal yang kulakukan adalah meng-hunting sebanyak-banyaknya info tentang penyakitku itu, secara aku kuliah di jurusan yang berkaitan dengan obat-obatan. Kukumpulkan semua literatur dari buku-buku, dari internet, dari pustaka, maupun diskusi singkat dengan dosen-dosen.
Satu hal yang menjadi garis bawah bagiku adalah penyakit ini juga memiliki efek ke psikologis. Aku menjadi sangat sensitif, mudah tersinggung, terlalu emosi dan gampang terpancing untuk marah. Ini semua adalah salah satu rangkaian ketaknormalan dari tubuhku karena penyakitku itu. Alangkah tidak enaknya!
Emosi yang begitu fluktuatif adalah ujian terberat bagiku. Masalah kelelahan, bisa diatasi dengan vitamin, insomnia bisa diatasi dengan obat penenangan, dan denyut jantung yang tak normal bisa diselamatkan obat-obat jantung. Tapi, masalah emosi? Benar-benar memusingkanku. Hampir tiap hari, ada saja masalah dengan teman satu kos karena hal-hal yang sepele. Bathinku benar-benar tertekan. Ini semua sangat bertentangan dengan karakter keseharianku yang supel, suka tertawa, dan selalu ceria serta sedikit childish.
Hari ini, nyaris satu tahun aku menjadi pengkonsumsi tetap apa itu yang disebut obat-obat. Setahun sudah, aku bergelut dengan emosi yang sangat fluktuatif. Dan satu tahun pula aku berada dalam ombang-ambing hidup yang tidak berkejelasan.
Soal ruhiyahpun mengalami penurunan. Bagaimana tidak, karena selalu begadang akibat insomnia, aku nyaris tak pernah bisa menunaikan qiyamullail dan bangun kesiangan. Target tilawah sering keteteran. Sehabis subuh, kembali ’tewas’ karena baru bisa terlelap jam tiga dini hari. Kuliahku benar-benar down karena konstrasiku menurun drastis. Jam-jam kuliah yang seharusnya adalah saat yang berharga untuk meraup ilmu sebanyak-banyaknya malah kugunakan untuk tidur karena semalamnya sulit tidur. Nilai-nilai akademisku merosot tajam. Yah, ada banyak warna hidup yang kualami setelahnya.
Pada akhirnya, pada puncak perenunganku, muhasabah dan benar-benar berharap hanya pada Rabb, akhirnya aku belajar mengambil i’tibar dari semua ini. Belajar merenungi setiap jenak-jenak yang kulalui. Aku mencari dan terus mencari hikmah-hikmah yang tersembunyi dibalik semua ini. Kuhapuskan semua sangkaan burukku kepada Rabb.
Kubertanya-tanya, adakah yang salah? Yah, barangkali aku terlalu angkuh. Barangkali aku adalah salah satu hamba-Nya yang kufur terhadap ni’mat-Nya. Aku hanyalah seonggok raga yang kemudian diberikan-Nya nyawa, yang hanya dhaif, hina, kotor, penuh dengan lumpur noda dan dosa. Yah, aku yang terlalu picik dan na’udzubillah sering kali merasa diri ini baik. Padahal, justru kesalahan terbesar itu adalah ketika makhluk-Nya yang teramat lemah ini merasa diri tak punya dosa, merasa diri tak berbuat salah, dan merasa cukup dengan ibadah yang sedikit. Padahal hanya sedikit, tapi alangkah beraninya merasa telah melakukan kebajikan. Terkadang, diri yang penuh dengan kekurangan ini merasa lebih dari hamba-Nya yang lain. Oh, alangkah naifnya! Padahal, kesombongan hanyalah pakaian Allah.
Masya Allah, akhirnya kutemukan jawabanya! Yah! Aku yakin, Dia takkan melimpahkan ujian kepada hamba-Nya diluar batas kemampuannya. Dia pasti takkan pernah sia-sia kepada hamba-Nya. Dia pasti tahu yang lebih baik untuk hamba-Nya dari pada hamba-Nya itu sendiri.
”…Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu tetapi itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui.” (Qs. Al-Baqarah (2) : 216)
Dan satu senyum pun terukir di bibirku. Alhamdulillah, aku salah satu orang yang dipilih-Nya untuk merasakan dan barangkali ’menikmati’ ujian bernama penyakit itu. Alhamdulillah…, ternyata begitu banyak hikmah yang kuperoleh.
Aku belajar untuk merubah persepsiku tentang sebuah penyakit! Persepsi baru yang menjadikan penyakit itu adalah suatu anugrah, bagiku! Mungkin mengherankan. Bagaimana mungkin bisa penyakit menjadi suatu anugrah? Yah, sebab aku benar-benar menemukan power, sebuah kekuatan besar dan pompa semangat yang begitu hebat ketika kita berprasangka baik kepada-Nya, ketika keikhlasan menerima ujian-Nya itu ada. Allahu….
Aku belajar untuk mengambil nilai positif dari penyakit ini. Bukankah penyakit membuatku memperoleh ilmu baru sekaligus implementasi dari ilmu yang kuperoleh? Setiap tindakan medis di rumah sakit menjadi pelajaran tersendiri bagiku. Aku seperti menemukan objek pratikum yang selama ini hanya menggunakan hewan percobaan saja. Objek itu adalah diriku sendiri.
Secara tak langsung, aku mengevaluasi obat-obat yang diresepkan dokter untuk kemudian kubahas segala hal mengenai obat-obat baik itu indikasi, kontra indikasi, efek samping, kajian nasib obat dalam tubuh, farmakokinetika dan farmakodinamika (bagaimana kondisi obat dalam tubuh) yang kupelajari pada mata kuliah Farmakologi, dan kukonversikan dengan apa saja efek-efek yang kuarasakan. Ketika melaksanakan tes laboratorium, aku seolah-olah kembali sedang melaksanakan praktikum Biokimia Klinis. Lalu, ketika menjalani pemeriksaan di instalasi Radiologi, aku seperti menemukan laboratorium baru dari mata kuliah Radiologi (yang dalam akademisku tidak dipratikumkan). Dan ketika aku dihadapkan pada alat-alat echocardiografi, ECHO, dan alat-alat sejenis, aku seperti kembali mereview kuliah yang kuperoleh sekaligus melihat contoh nyatanya. Setidaknya, aku merasa beruntung mengetahui dan mendapatkan semua itu. Sesuatu yang belum tentu akan didapatkan oleh teman-teman seangkatanku lainnya.
Dalam hal emosi, ini adalah hal yang paling menarik bagiku. Benar-benar sangat menarik. Meski aku mengalami pergolakkan emosi yang begitu naik turun dan teramat fluktuatif, tapi, ada banyak hal yang kutemukan dibalik semuanya. Sebuah pencerdasan emosi! Yah, lebih tepat dibilang begitu. Sebuah proses pembelajaran untuk mengendalikan emosi. Aku benar-benar belajar untuk mengendalikan emosi yang meledak-ledak. Aku belajar untuk memegang control, dan mulai belajar untuk memahami orang lain (yang pada kenyataannya aku lebih sering ingin dipahami ketimbang memahami). Aku mulai lunturkan egoku yang teramat tinggi. Dan, memanfaatkan emosi ’cemburu’ melihat orang lain untuk berbuat lebih baik lagi. Yah, aku mulai menata kembali hidupku.
Tapi, ternayata ada yang benar-benar lebih menggiurkan dari itu semua. Benar-benar menggiurkan, saudaraku! Sebuah garansi dari Allah. Yah, garansi yang menjadi tiket menuju-Nya. Bukankah itu adalah tawaran yang sangat menggiurkan?
Berbahagialah wahai saudaraku yang tengah sakit! Bukankah sakit itu adalah salah satu bentuk kasih sayang Allah? Dengan sakit Allah kembali menegur kita. Pun dengan sakit itu Allah mengangkat derajat kita.
Rasulullah bersabda; Tidaklah seorang muslim tertusuk duri atau yang lainnya, kecuali ditetapkannya untuknya satu derajat dan dihapuskan untuknya satu kesalahan. (HR. Muslim)
Saudaraku,
Orang yang sakit bukanlah orang yang hina dina! Bahkan disisi Allah, kedudukan orang yang sakit itu adalah mulia.
Wahai saudaraku yang sakit, bergembiralah. Sungguh keluh kesah, kecemasan dan kesedihan itu takkan memberikan manfaat apa-apa bagi kita. Berbahagialah dengan garansi yang diberkan Allah. Sungguh, Allah akan memberikan garansi bagi orang-orang yang sakit dengan ampunan dosa.
Bukankah kita tak pernah luput dari dosa? Dan, barangkali dengan cara itu pula Allah menghapuskan dosa-dosa kita. Tidaklah seorang muslim tertimpa derita atau perkara lain, kecuali Allah hapuskan dengannya kejelekan-kejelekan (dosa-dosanya)sebagaimana pohon menggugurkan daunnya. (HR. Muslim)
Berbahagialah saudaraku, karena dengan sakit Allah kembali ingatkan kita bahwa kita hanyalah makhluk dhaif. Dengan sakit, Allah tak sedikitpun mengurangi pahala kita terhadap amalan yang biasa kita lakukan ketika sehat. Jika seorang hamba sakit atau sedang melakukan perjalanan, maka dituliskan baginya pahala sebagaimana ia melakukan amalan ketika ia tidak sedang bepergian atau sehat (HR. Bukhari)
Apakah tawaran-tawaran itu tidak menggiurkan, saudaraku? Yah, insya Allah ketika kita sabar menghadapinya, maka kita akan memperoleh apa yang dijanjikan-Nya itu. Sabar! Sekali lagi, ternyata kuncinya sabar dan ikhlas menghadapinya. Wallahu’alam bishowab.
Wisma Syakuro, Rab’ul Awwal 1429 H
http://fathelvi.blogspot.com