Di berbagai daerah melaksanakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Perhelatan merebut kursi ini adalah hal yang selalu menguras energi dan emosi masyarakat. Tak ayal sebuah pemilihan umum, semua calon kepala daerah sudah mempersiapkan diri dalam merebut kemenangan.
Upaya itu tak luput dari kecerdasan akal dan kepintaran calon kepala daerah . Bukankan kecerdasan itu bersumber dari pemberian ilmu yang dianugerahkan kepada Allah Swt?. Bagi sebagian calon Kepala daerah ilmu itu hanya sekedar anugerah. Selanjutnya adalah sebuah kemenangan dunia. Ironisnya calon Kepala daerah selain mempunyai bekal ilmu, kemewahan hartanya dijadikan strategi untuk menghalalkan segala cara.
Salah satunya adalah mengadakan acara pesta rakyat yang menampilkan artis syurrr sedangkan tim sukses tak lupa menyebarkan brosur dan pamlet yang isinya komitmen janji-janji perbaikan daerah serta kesejahteraan masyarakat. Setelah acara tersebut tim sukses memberikan sejumlah amplop yang berisi uang pada masyarakat, dengan harapan masyarakat memilihnya. Menurut mereka, itu adalah hal biasa yang sudah terjadi dinegeri ini.
Apakah ini ciri khas pemimpin masa depan ? Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang dikehendaki Allah baginya kebaikan maka akan diberikannya pemahaman pada agama. Sesungguhnya ilmu itu hanyalah dengan belajar”. (HR. Buchari ). Dalam hadist ini disingung bahwa seorang pemimpin seharusnya sudah memahami sebuah makna kebenaran. Seringkali kebenaran hanya dapat dimengerti bukan dipahami. Padahal Allah sudah memberikan anugerah kepada umat manusia sebuah kekuatan dan kecerdasan otak.
Namun untuk menjaganya sebuah kecerdasan otak dibutuhkan sebuah pola pembelajaran bimbingan hidayah. Sementara ini tidak semua pemimpin mengerti semua itu. Para pemimpin hanya mengejar kekuasaan dan jabatan.
Inilah penyakit hati masyarakat, yaitu cinta dunia. Rasulullah pernah menjawab pada sahabatnya tentang makna penyakit cinta dunia. Beliau mengatakan “Jumlah kaum muslimin akan banyak, tetapi banyak kalian itu seperti buih yang tidak berharga. Yang membuat kaum muslimin seperti buih adalah hubbuddunnya wakara khiyatul maut (cinta dunia dan takut mati).
Cinta dunia tidak lain adalah tidak mampu mengendalikan hawa nafsu. Dalam berpikir selalu merasa semua dapat dikendalikan dengan uang. Bahkan dalam hidupnya ia merasa dirinya lebih mampu dari orang lain (meremehkan). Orang seperti ini cenderung bersifat arogan (egosentris). Padahal jika ditelaah seharusnya jika makna dunia sudah merasukinya sudah seharusnya ketaqwaan sudah meningkat.
Tolok Ukur Kesuksesan
Seorang penulis, Syaikh Musthafa Masyur dalam buku Fiqih dakwahnya mengatakan banyak seorang yang merasa dirinya berjasa dalam berdakwah. Ia merasa dirinya lebih berpengalaman, cerdas, lebih baik analisanya terhadap setiap persoalan, ia juga merasa lebih pintar tentang seluk beluk politik dan cara melakukan perlawanan terhadap para musuh. Jika kita telaah ucapan penulis ini. Ada sebuah makna ilmu tentang seorang pemimpin.
Barangkali nantinya menjadi tauladan bagi figur seorang pemimpin calon kepala daerah dalam Pilkada nanti. Peran seorang pemimpin tidak hanya pintar (berilmu) dalam berkata-kata. Apalagi kemewaan hartanya dijadikan tolak ukur kesuksesan. Sebaik-baiknya ilmu bukan berarti dijadikan kepintaran dan kecerdasan adalah segalanya. Figur pemimpin harus berangkat dari citra dirinya pada masyarakat. Citra itu berangkat dari akhlak. Sesungguhnya akhlak tumbuh karena takut perbuatan dilihat oleh Allah Swt.
Karena itu, Allah meminta manusia untuk senantiasa takut kepada-Nya. Allah telah menyediakan dua surga bagi orang yang takut kepada-Nya. Allah swt. berfirman: “Dan bagi orang yang takut akan saat menghadap Tuhannya ada dua surga . [satu surga untuk manusia satu lagi untuk jin, atau surga dunia dan surga akhirat]. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?”. (ar-Rahmân [55]: 46 – 47).
Semoga ini menjadi pelajaran berharga, jika kita selalu percaya bahwa segala sesuatu diserahkan pada yang berkuasa di muka bumi ini.