Beberapa pekan yang lalu, saya bersilaturahim ke rumah seorang teman dan saya bersyukur bisa mendengarkan kisah hidupnya yang mengandung banyak hikmah kehidupan. Namanya Roni. Menikah bulan Agustus 1998 dengan seorang bidan bernama Miya. Roni tinggal di Purwokerto menjadi dosen di fakultas psikologi dan isterinya tinggal di Subang menjalani PTT sebagai Bidan. Sepekan sekali, Roni menyambangi isterinya di Kota Subang tersebut.
Selang beberapa bulan setelah pernikahan, Miya dinyatakan positif hamil. Yang menyedihkan, pada usia 4-8 minggu dia mengalami keguguran. Tidak lama setelah bersih, Miya pun kembali hamil. Malangnya lagi, pada usia 4-8 minggu kembali mengalami keguguran. Demikian juga dengan kehamilan yang ketiga. Rasanya bagi mereka yang mendambakan anak tersebut, keguguran yang menimpa Miya adalah kemalangan yang cukup menyedihkan. Namun boleh jadi, dari sinilah mereka diuji tentang komitmen pernikahan dan kerjasama, tentang kesetiaan dan pengorbanan, dan tentang pemahaman dan keseriusan akan keturunan yang baik.
Boleh jadi, seorang wanita akan mengalami trauma setelah sekian kali mengalami keguguran yang berulang. Namun hal ini tidak bagi Miya (dan Roni). Mereka tetap masih berharap akan datangnya kehamilan yang bertahan lama hingga sang anak dilahirkan.
Pada kehamilan keempat, Miya menerima saran untuk melakukan test Torch. Lazim dalam dunia medis bahwa kegagalan hamil yang beruntun, dimungkinkan oleh sebuah penyakit bernama TORCH, yaitu gabungan dari empat jenis penyakit infeksi yaitu Toxoplasma, Rubella, Cytomegalovirus dan Herpes. Keempat jenis penyakti infeksi ini, sama-sama berbahaya bagi janin bila infeksi diderita oleh ibu hamil. Penyakit itu tidak tampak pada ibu hamil dan tidak membahayakan yang terinfeksi, tetapi justru janin yang akan menanggung akibatnya, sebab infeksi tersebut akan terjalur ke bayi lewat plasenta. Infeksi TORCH yang terjadi pada ibu hamil dapat menyebabkan keguguran, bayi lahir prematur, dan dapat juga menyebabkan kelainan pada janin yang dikandungnya. Kelainan yang muncul dapat bersifat ringan atau berat, kadang-kadang baru timbul gejala setelah remaja. Kelainan yang muncul dapat berupa kerusakan mata (radang mata), kerusakan telinga (tuli), kerusakan jantung, gangguan pertumbuhan, gangguan saraf pusat, kerusakan otak (radang otak), keterbelakangan mental, dan pembesaran hati dan limpa. Dengan gambaran seperti, tentu siapapun yang positif menderita penyakit ini, akan dihadapkan pada suatu kekhawatiran yang luar bisa untuk mendapatkan seorang anak yang sehat dan normal yang mampu bertahan hingga anak dewasa kelak.
Dari Subang, tempatnya Miya bertugas sebagai bidan, ia harus kontrol ke Jakarta setiap setengah bulan. Dokter yang mengawasinya hanya bisa berpesan pada mereka untuk berdoa dan berdoa. Saran ini lahir karena sang dokter memahami potensi buruk bagi sang anak yang akan dilahirkan dari penyakit ini nantinya. Pada kehamilan keempat ini, Miya mengkonsumsi obat Torch dosis tinggi untuk menghadang virus di tubuhnya sehingga tidak terjalur kepada janinnya.
Tanggal 18 Januari 2000 lahir anak mereka yang pertama secara prematur, di bawah pengawasan dokter di Jakarta. Ternyata anak pertama ini memiliki ketergantungan pada obat dosis tinggi sehingga bila sang anak sakit/panas, harus dibawa ke Jakarta. Ketergantungan ini karena pengaruh sang Ibu yang mengkonsumsi obat berdosis tinggi tersebut. Dalam kondisi ekonomi yang tidak menentu, mereka hanya pasrah dan berdoa. Dalam rangka mempertahankan kelangsungan hidup anak pertama secara normal inilah, Roni memutuskan berhenti dari karier sebagai dosen di Purwokerto kemudian mendampingi sang isteri dalam menghadapi cobaan yang dihadapi. Roni berkonsentrasi pada pekerjaan rumah tangga dan pemeliharaan anak pertamanya itu, sedangkan Miya tetap menjalankan profesinya sebagai bidan. Roni pun harus berusaha menjaga kondisi isterinya tetap fit, sebab bilamana kondisi isterinya lemah, virus laten tersebut bisa saja menyerang.
Pada tahun 2001 sang isteri mengalami kehamilan yang kelima tetapi mengalami nasib yang sama seperti kehamilan pertama hingga ketiga yaitu mengalami keguguran pada usia kandungan yang muda. Ini berarti penyakit yang diderita Miya masih bersarang ditubuhnya. Sedangkan anak pertama bisa lahir dengan selamat karena pengawasan dokter dan penggunaan obat Tocrh dosis tinggi. Roni kini memiliki dua pekerjaan utama, yaitu merawat anak pertama agar tetap bisa hidup secara normal dan mengusahakan kesembuhan bagi isteri dari penyakit Torch tersebut sehingga peluang mendapatkan anak kedua dan seterusnya bisa terbuka lebih lebar dan menjanjikan.
Alhamdulillah, pada tahun 2002 mereka bertemu dengan teman yang menawarkan produk herba. Mereka mencoba mengikuti saran untuk mengkonsumsi herba sembari banyak konsultasi dengan pakar Torch di Bogor. Di samping mengkonsumsi herba, Roni rajin mengikuti seminar dan pelatihan pengobatan alternatif tersebut dan bertemu-konsultasi langsung dengan sang pakar herba. Setelah mengkonsumsi produk herba tersebut, kondisi isterinya membaik. Dia tidak tergantung lagi dengan obat Torch dosis tinggi. Sang anak juga diberikan produk herba sehingga ketika sakit/panas menyerang, tidak perlu lagi datang ke Jakarta. Dokter yang mengawasi anaknya tersebut heran, sebab sampai detik tersebut sang anak bisa tumbuh dengan normal. Sejauh waktu itu, kelainan yang diduga akan muncul pada sang anak setelah kelahirannya, belum terungkap oleh dokter yang mengawasinya. Mudah-mudahan hingga dewasa kelak, sang anak bisa tumbuh dengan normal dan sehat.
Harapan Roni untuk memiliki anak kedua dan seterusnya saat itu mulai terbuka. Isterinya sudah tidak mengidap Torch lagi. Tahun 2004, Miya melahirkan anak kedua (dari kehamilan kedelapan). Mereka sangat berbahagia karena sang anak lahir selamat, sehat, dan tanpa cacat. Tahun-tahun berikutnya, sang isteri melahirkan anak ketiga dan keempat (dari kehamilan kesembilan dan kesepuluh) juga dengan kondisi sehat dan normal. Setelah kehamilan yang kesepuluh ini, sang isteri tidak diperkenankan hamil lagi karena usia sudah tua dan beresiko.
Roni bersyukur dan cukup puas dengan usaha yang dilakukannya untuk mendapat anak yang banyak (catatan: banyak maksudnya minimal tiga). Ini adalah prestasi yang luar biasa. Karena dokter yang mengawasi dan juga pakar Torch yang Roni kunjungi merasa tidak yakin -dengan kondisi sang isteri yang seperti itu- sang isteri akan mampu hamil dan melahirkan anak secara normal. Namun Allah adalah dzat yang Maha Besar, dengan kebesaran-Nya Dia mampu berkehendak apa saja yang Dia kehendaki.
***
Kisah Roni di atas memberikan hikmah banyak hal. Salah satuya adalah pengorbanan Roni selaku suami yang luar biasa dalam rangka mendukung karier isteri dan demi mendapatkan anak dari isteri yang memiliki sisi kelemahan dan hambatan untuk itu.
Tinggal di rumah bagi seorang suami adalah hal yang sangat tidak menyenangkan. Perasaan kehormatan dirinya yang menjadi rendah karena seharusya sibuk mencari nafkah di luar, tentu saja ada. Terlebih jika harus mengurus rumah tangga dan anak, sementara sang isteri sibuk menjalankan profesinya. Fenomena demikian boleh jadi aneh. Namun dalam kondisi tertentu seperti kisah tersebut, keputusan Roni untuk (sementara) menjadi bapak rumah tangga adalah keputusan yang patut dihargai. Terlebih ia memiliki tujuan mulia.
Bagi Roni, mundur sebagai dosen, ibaratkan ia mundur satu langkah untuk bersiap melakukan banyak langkah ke depan. Jika ia tetap mempertahankan sebagai dosen, boleh jadi dia tidak akan berhasil mendapatkan anak dari rahim isterinya dan ia tidak akan merasakan kebahagiaan seperti yang dirasakan sekarang ini. Katakanlah ia sukses berkarier sebagai dosen, tetapi dengan tidak memiliki anak, tentu ia merasa tidak menikmati jabatan yang disandangnya. Pernikahannya pun menjadi hambar, dan sangat berpotensi untuk menjadi retak.
Kebahagiaan dalam kehidupan rumah tangga biasanya diperoleh karena masing-masing memahami adanya keharusan berkorban untuk memperjuangkan keinginan luhur yang dicitakan bersama. Dalam kisah Roni, keinginan itu adalah mendapatkan anak yang merupakan salah satu sendi dalam sebuah pernikahan. Keinginan mendapatkan anak itu bukan karena atas pertimbangan materi misalnya kebutuhan akan adanya pewaris tahta atau kebanggaan belaka, tetapi karena mendambakan anak shaleh yang mampu menghantarkan mereka menuju surga-Nya. Jika motifnya sekedar materi, tentu komitmen untuk berkorban itu sulit untuk diwujudkan. Contoh nyata adalah kalangan selebriti yang rasanya masing-masing susah untuk berkorban demi manfaat yang lebih besar dan berjangka panjang. Meski mereka mampu berkorban dalam arti berderma, tetapi berkorban dalam arti yang sesungguhnya boleh jadi mereka susah untuk melaksanakan.
Ya, kita pun boleh jadi mampu berkorban dalam tataran material. Berkorban dalam rangka ibadah kurban pada ‘Idul Adha nanti atau berkorban harta untuk kepentingan sumbangan dalam segala bentuknya. Tetapi berkorban dalam arti sesungguhnya boleh jadi kita belum mampu melaksanakannya. Seperti Roni yang mengorbankan ambisinya menjadi dekan fakultas psikologi atau ambisinya menjadi ketua dari sebuah himpunan alumni mahasiswa psikologi. Dia mau mengorbankan ambisinya itu karena ada kepentingan yang lebih besar. Yaitu kemaslahatan ummat dari tangan seorang bidan dan kelangsungan generasi orang-orang yang sholeh di dunia ini. Semua itu tidak dilakukan jika tidak ada dorongan keimanan atau ketaqwaaan yang kuat.
Berkurban bagi yang tidak tulus adalah sebuah siksaan batin. Namun bagi yang tulus melakukannya, menimbulkan kenikmatan yang luar biasa. Dan saya melihat, Roni menikmati dengan kesibukannya yang luar biasa di rumah merawat anak-anaknya.
Kini mereka mulai menata kehidupan yang lebih baik. Sang isteri telah mendapatkan tempat mengabdi secara permanen di Kota Pemalang. Pengalaman dan keberanian dia dalam menangani pasien, menjadikan pasiennya membludak datang dari mana-mana. Rumah praktek bidannya tidak pernah sepi walau berlokasi agak di ujung desa (Desa Muncang Kecamatan Bodeh). Roni kini mulai mengembangkan sayap dengan membuka kantor lembaga psikologi di Kota Comal. Dengan pengalaman-pengalaman hidupnya kini ia sedang merancang sebuah materi pelatihan motivasi yang didasarkan atas nilai-nilai Islam dengan sentuhan jiwa psikolognya. Saat saya berkunjung itu saya menyatakan appresiasi dan mendukung konsep-konsepnya. Semoga berhasil diwujudkannya kelak.
Pengorbanan Roni mengingatkan saya pada sebuah hadits yang menyatakan bahwa sesungguhnya Allah tidak menerima darah dan daging dari hewan sembelihan yang kita persembahkan, tetapi Allah menerima keimanan dan ketaqwaan dari kita.
Semoga Allah membimbing kita untuk tulus dalam berkurban. Berkurban apa saja. Amin.
Waallahu’alam.