Ulil namanya, seorang pemuda kelahiran 1985, berasal dari Probolinggo, Jawa Timur. Seperti kebanyakan pemuda desa lainnya, ia merantau ke Jakarta demi sebuah pekerjaan, demi sesuap nasi. Dan tentunya, ada sebuah keinginan besar juga membantu perekonomian keluarganya di kampung. Hanya saja, nasib memang tak selalu seiring dengan impian penghidupan layak yang sebelumnya sempat terbayang.
Pekerjaan mungkin banyak, namun tak selalu setiap orang beruntung mendapatkannya, persaingan begitu ketat. Hingga, hanya orang-orang yang beruntung saja yang bisa mendapatkannya. Selebihnya, bagi mereka yang tersisih, harus rela banting setir bekerja apa saja di Jakarta. Kalau tak mau, ya dengan terpaksa harus kembali lagi ke kampung. Di kampung, mau tak mau harus bekerja di sektor yang terbatas, tentu dengan gaji yang tak terlalu besar pula.
Ulil adalah satu dari potret pemuda yang harus banting setir dengan bekerja seadanya. Ia bekerja sebagai pengojek sepeda, tentu dengan penghasilan tak besar, itu pun tak pasti. Dengan keadaan yang dialaminya seperti sekarang ini, ia harus rela bertahan hidup di Jakarta yang keras dengan kesederhanaan, bahkan keterbatasan. Ini dilakukan tentu bukan karena keinginan awal, tetapi karena memang keadaannya memaksa harus demikian.
Saya memang baru mengenal Ulil kemarin, tapi saya merasa senasib, nasib saya tak jauh beda dengannya, bahkan boleh dibilang Ulil lebih beruntung. Betapa tidak!, ia sudah bekerja tapi saya baru saya mencoba untuk melamar pekerjaan. Seumur hidup saya, baru kali ini saya melamar pekerjaan. Nekat melamar bekerja pada sebuah perusahaan internasional ternama di negeri ini. Saya sebenarnya tak suka nuansa Jakarta yang bising dan penat. Kondisi Jakarta rasa-rasanya tak sesuai dengan perasaan saya yang sangat mencintai kesunyian dan kedamaian. Namun, hampir sama dengan Ulil, saya terpaksa datang ke sini demi sebuah penghasilan layak. Tujuan pendeknya, untuk bisa membiayai kuliah kesarjanaan saya yang sempat tersendat.
Ulil inilah pengojek sepeda yang saya tumpangi untuk menyeberangkan jalan. Dari lokasi psikotes daerah Sunter, menuju seberang jalan tempat mangkal bus menuju arah Depok. Maklum, saya capek sekali, agak malas untuk berjalan. Tes dari jam satu sampai jam empat sore. Jam enam baru pengumuman. Setelah melihat pengumuman, alhamdulillah lolos, tak menyangka akhirnya satu tahap tes terlalui juga walau sempat rada stres karena baru kali ini ikut psikotes. Agar tak menambah capek, menumpang Ojek sepeda Ulil jawabannya. Tentu setelah istirahat sholat maghrib dan isya sekaligus.
Sambil menunggu datangnya bus saya sedikit berbincang dengannya. Pertemuan singkat itu membawa cerita tersendiri antara saya dan Ulil untuk sama-sama tegar menghadapi tantangan hidup yang keras. Kami sama-sama yakin bahwa setiap persoalan pasti ada jalan keluarnya.
Akhirnya, bus kearah Depok datang, saya berpamitan ke Ulil dan ia lewat senyum dan masih dengan keringatnya yang lengket menyuruh saya untuk berhati-hati di jalan disusul lambaian tangannya. Bus akhirnya melaju dengan kencangnya. Senin depan, saya tes lagi wawancara dan kesehatan. Kalau diterima alhamdulillah, kalau tidak ya tak mengapa, mudah-mudahan ada pekerjaan lain yang lebih baik. Yang pasti, setidaknya, sebuah kisah telah terkenangkan, tentang Ulil yang walaupun masih hidup susah tapi tetap ramah dan menjaga senyuman. Kenangan ini sebenarnya juga mengingatkan saya, dan kita semua untuk tetap tegar dalam menghadapi pernak-pernik kehidupan, seberat apapun. Yakin, kita semua bisa menghadapinya.
http://penakayu. Blogspot. Com