Mul, pria berusia sekitar separuh baya tetangga saya, adalah seorang buruh harian lepas. Kadang orang mengatakannya sebagai kerja serabutan, apa saja dikerjakan. Memperbaiki rumah, kerja bangunan, bongkar muat barang, memperbaiki peralatan rumah tangga, menjaga rumah yang sedang ditinggal penghuninya, dan lain-lain. Karena sifatnya yang lepas (freelance) maka tidak setiap hari ia bisa bekerja. Ada kalanya libur atau menganggur, tergantung dari ada tidaknya majikan yang membutuhkan tenaganya. Imbasnya, penghasilan yang diperolehnya pun menjadi tidak menentu dan sulit diprediksi besarannya.
Suatu ketika, ia mengalami kekosongan pekerjaan. Satu-dua minggu ia masih bisa bersabar menunggu. Namun ketika pekerjaan yang diharap-harap tidak kunjung datang, ia mulai resah. Sebenarnya bukan resah karena khawatir Allah tidak akan memberikan rezeki kepadanya, ia resah karena pasti isterinya akan mengomel dan mewanti-wanti dirinya agar lebih agresif dan responsif mencari pekerjaan baru, jangan sekedar menunggu dan pasrah tanpa upaya maksimal. Padahal menurutnya, ia sudah berupaya semampunya.
Ketika ia datang ke rumah, ia berinisiatif merapikan barang-barang yang ada di gudang, atau membenahi sesuatu atau melakukan pekerjaan apa saja yang ia bisa. Meski ia tidak meminta upah, dengan gelagatnya itu, saya menyadari bahwa pastilah ia sedang terdesak dengan kebutuhan akan uang atau posisinya sedang tersudut di depan isterinya. Maka kami pun memberikan uang ala kadarnya. Terkadang ia terpaksa meminjam uang, yang mana ia akan melunasinya dengan pekerjaan di kemudian hari.
Demikianlah kondisi ini berjalan silih berganti. Manakala isterinya mengomel, ia pun tergerak untuk mencari terobosan-terobosan baru. Seringkali, datangnya pintu rezeki itu berasal dari isterinya. Dari kerja ngurut, order membuat makanan atau kue, order mendistribusikan kupon zakat atau daging korban, atau jasa lain yang bisa diberikannya. Namun tragisnya sang isteri menganggap bahwa semua itu adalah hasil upaya dirinya dan tidak ada sangkut paut dengan upaya dari suami.
Karena pemahaman seperti itulah yang sering memicu terjadinya percekcokan di antara mereka hingga kini. Isteri menuduh suaminya sebagai pemalas, sementara suami tidak merasakannya demikian.
***
Nafkah adalah masalah yang sering memicu keretakan rumah tangga, entah itu masalah nafkah dhohir (uang belanja) atau nafkah bathin. Masalah timbul manakala seorang suami kurang dalam memberikan uang belanja kepada isterinya atau seorang isteri kurang dalam memberikan “service” kepada suaminya.
Masalah akan menjadi lebih kompleks jika sang suami yang “belum mampu” memberikan nafkah yang cukup kepada sang isteri itu, tidak mampu pula memberikan kepuasan bathin kepadanya. Atau seorang isteri yang “belum mampu” memberikan kepuasan bathin kepada suaminya, tidak mampu pula menjaga perasaan suami dengan sikap-sikap yang menyenangkan (akhlak al-karimah) yang bisa menghibur dirinya.
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya (QS 2: 286). Artinya, masalah kehidupan yang bisa memicu ketidakharmonisan rumah tangga itu sebenarnya bisa dicarikan solusinya. Solusi itu sangat bergantung pada pemahaman pasangan akan esensi kehidupan rumah tangga yang seharusnya dibangun di atas landasan ibadah dan pemahaman pasangan akan esensi penghasilan dan rezeki yang menjadi motor kehidupan keluarga.
Rumah tangga yang ditegakkan atas dasar ibadah, maka aktivitas yang terkandung di dalamnya adalah aktivitas kerjasama dalam membangun ketaatan kepada Allah SWT. Berkait dengan ini, sangat menarik jika ungkapan yang dilontarkan oleh Ustadz Hasan Al-Bana disimak sebagai bahan pelajaran. Ia mengatakan bahwa Kehidupan rumah tangga adalah kehidupan “kerja” yang diwarnai oleh beban-beban dan kewajiban-kewajiban. Kehidupan rumah tangga dilandasi oleh bukan semata kesenangan dan romantika, melainkan tolong menolong dalam memikul beban kehidupan.
Sedangkan pemahaman pasangan yang cukup atas esensi penghasilan dan rezeki, akan menjadikan mereka merasa cukup (qonaah) dengan rezeki yang diperolehnya dan memandang bahwa penghasilan suami boleh jadi adalah rezeki sang isteri atau sebaliknya. Besar atau kecilnya rezeki yang diperoleh bukanlah menjadi tujuan. Yang terpenting adalah bagaimana mereka mengupayakan secara maksimal rezeki yang halal dan bertawakkal sepenuhnya kepada Allah atas rezeki yang diperolehnya. Sikap inilah yang bisa melahirkan keberkahan dalam kehidupan rumah tangga dan kemudahan dalam mengurai benang masalah yang muncul ke permukaan.
Dalam situasi krisis seperti sekarang ini, masalah keuangan rumah tangga sering menjadi pemicu pertikaian (pergesekan) antara suami dan isteri. Tidak bisa dipungkiri, yang sering panik dalam menghadapi masalah ini adalah sang isteri. Bagaimana tidak panik, di depan mata terbayang beberapa pos belanja yang harus dipenuhi yang masih belum jelas sumber pemenuhannya. Sebagai contoh, anak-anak yang akan memasuki masa sekolah dan memerlukan uang yang lumayan besar, kebutuhan untuk aneka cicilan, belanja bulanan, asupan bergizi bagi bayi, barang-barang elektronik, transportasi, komunikasi, dan lain-lain.
Keluarga yang tidak memahami esensi penghasilan dan rezeki, dalam situasi seperti itu akan mudah terjerembab dalam situasi kepanikan dan keputus-asaan. Fenomena orang bekerja membanting tulang hanya mendapatkan penghasilan yang minimal, sementara ada orang yang bekerja santai mendapatkan hasil yang cukup besar, jika dilihat dari kacamata yang salah, maka akan menghilangkan rasa syukur akan nikmat penghasilan yang Allah berikan dan hanya akan melahirkan rasa gundah di dalam jiwa.
Hendaknya disadari bahwa penghasilan itu tidaklah sama dengan rezeki. Orang yang mendapat penghasilan besar belum tentu besar pula rezekinya. Bisa jadi rezeki itu pada akhirnya akan jatuh ke tangan orang lain. Namun orang yang mendapat penghasilan kecil belum tentu kecil pula rezekinya. Bisa jadi rezeki itu memberikan manfaat lebih besar bagi dirinya, dan sesungguhnya pintu rezeki itu banyak, tidak sekedar dari penghasilan yang diperolehnya. Dan salah satu hal yang sering dilupakan manusia bahwa keimanan adalah sebentuk rezeki. Bahkan boleh jadi rezeki keimanan ini memiliki nilai yang jauh lebih besar dari penghasilan yang diterimanya.
Kejadian yang menimpa Bapak Mul dan isterinya, di mana mereka selalu dirundung potensi percekcokan, memberikan pelajaran berharga bagi saya akan pentingnya pemahaman yang benar akan esensi kehidupan rumah tangga yang harus dilandasi oleh ruh ibadah dan kerja sama. Dengan ruh inilah bisa dirasakan bahwa penghasilan atau rezeki yang diperoleh oleh keluarga adalah hasil dari kerjasama, bukan semata kerja masing-masing individu belaka.
Waallhua’lamu bishshawaab.
[[email protected]]