Hari Minggu yang cerah di Sengata. Matahari menyapa seantero langit dengan cahayanya yang lembut. Saya sedang sibuk dengan deretan anggrek di halaman ketika ada suara menyapa.
“ Assallamu’alaikuuuummm…. ”
“ Wa’Alaikum salam…”
Saya menjawab salam dan mencari empunya suara. Nampak seorang lelaki menenteng sebuah tas berwarna putih, berdiri di depan pagar rumah saya. Badannya agak gempal, masih muda. Mungkin sekitar tigapuluh tahunan umurnya.
“ Ada apa, pak?” saya bergerak pelan sambil menanyakan maksudnya. Mungkin mencari si Abi nih, pikir saya menebak.
“ Minta buuu…” ucapnya sambil menjulurkan tangan kanannya. Sebuah rokok setengah habis nampak terselip di antara jari tengah dan telunjuknya.
“ oooh…, tunggu sebentar ya pak “ Saya menghentikan langkah mendekatinya. Ya Allah, ternyata…
Saya lalu memanggil Kaka (khadimat kami ), untuk mengambilkan beberapa lembar rupiah dan menyuruhnya memberikan kepada bapak tadi.
Setelah orang itu berlalu, si Kaka mendekati saya.
“ Ummi, orang tadi betulan pengemis kah?”
“ Iya “
“ Koq keren banget yah? Pake jeans, kaos keren, trus sambil merokok lagi”
Saya hanya tersenyum. Jujur saja, saya tadi juga sangat terkejut, tak mengira kalau orang itu adalah pengemis. Pakaian dan penampilannya sungguh tak menunjukkan tanda – tanda tersebut.
“ Enak ya, mi, sambil jalan-jalan dapat duit. Gak pakai kerja “.
“ Emang kamu mau kaya gitu? “
“ Gak ah, malu dong. Enakkan kerja di sini, jagain si Alif “
“ Loh, katanya enak, jalan-jalan dapat duit?” Saya menggoda si Kaka “ Gak ah…., mending kerja”
Ujarnya sambil berlalu masuk ke dalam rumah.
Saya melanjutkan mengurus anggrek. Membuang daun-daunnya yang sudah kering, menambah arang dan menyiraminya dengan air bekas cucian beras, agar tumbuhnya lebih subur. Melihat bunga-bunganya yang beraneka warna, sungguh menjadikan kelelahan mata berkurang dan semakin membuat saya mengingat pada Yang menciptakannya.
Teringat sebuah kisah di zaman Rasululloh ketika Abdurrahman bin ‘Auf yang memilih minta di tunjukkan pasar saja, agar ia dapat bekerja dan mendapatkan makanan padahal Sa’d bin Ar-Rabi telah menawarkan separo hartanya bahkan isteri untuknya. Beliau lebih memilih bekerja daripada menerima tawaran tersebut.
Sangat berbeda dengan keadaan sekarang. Orang-orang tak segan dan malu menjadi pengemis. Bahkan ada pula yang sampai harus bersandiwara untuk menjadi orang cacat demi mendapatkan rupiah. Atau …seperti yang baru saya temui pagi ini; tampil jujur dengan keadaan sebenarnya. Gagah dalam balutan baju yang rapi dan bagus, sambil merokok pula. Siapa yang tahu alasan apa sebenarnya yang ada dalam benak mereka. Apakah mengemis memang satu-satunya pilihan karena tak ada jalan lain tuk mengapai rezekiNya? Ataukah mungkin karena mereka saja yang malas bekerja? Entahlah…., hanya Sang pemilik hati yang Maha Mengetahui …
Saya salut dengan si Kaka, walaupun umurnya masih muda, ia rela pergi jauh dari orangtuanya di Kalimantan Selatan. Untuk bekerja menjadi pembantu rumah tangga. Sudah hampir sembilan bulan ia tinggal bersama keluarga kami. Dari gajinya setiap bulan yang dikirimnya ke kampung, Alhamdulillah dapat sedikit membantu meringankan beban orangtuanya. Dalam hati saya berbisik, seandainya pengemis dengan rokok di tangannya tadi tau, pastilah ia akan malu. Si Kaka dengan tubuhnya yang kecil dan umur yang jauh lebih muda darinya, lebih memilih bekerja daripada menjadi peminta-minta. Semoga Allah memberikan jalan lebih baik baginya dalam mencari rezeki.
Mau memberi ataupun tidak, tentulah berpulang kepada keikhlasan kita masing-masing. Yang harus kita ingat, bukankah Islam memandang tangan yang di atas, lebih baik daripada tangan yang di bawah? Kita yang masih dapat memberi, sudah sepatutnya bersyukur padaNya karena masih diberi kelapangan dan kesempatan untuk berbagi. Tak peduli siapapun yang kita beri dan berapapun jumlah yang telah kita keluarkan. Ingatlah satu hadist Rasulullah;
“ bahwa tidak akan pernah berkurang harta seseorang yang disedekahkan, kecuali ia malahan akan bertambah, bertambah dan bertambah..”
Semoga Allah SWT berkenan meluruskan setiap niat kita, dan menggantikan apa yang telah kita keluarkan dengan bulir – bulir pahala. Amiin ya Robbal alamin…
Ujung Musholla, 14 Jan’08