Bulan Ramadhan bulan penuh pengampunan dan makna kasih sayang. Tak mudah mendapatkan keberkahan di bulan suci ini. Sebuah kesucian hati dikala kita sebulan penuh menjaga hawa nafsu. Begitu yang dilakukan Polisi lalulintas (Polantas) satu ini. Sebut saja Sersan Suyono.
Baginya menjadi polisi sebenarnya bukan cita-citanya. Namun apa daya, kebutuhan ekonomi keluarga yang akhirnya memilih untuk mengabdi pada negara. Sudah tujuh tahun ia dinas di kepolisian. Sempat ditugaskan berjaga-jaga menangani GAM di Aceh. Namun I tahun bertugas di negeri seribu bencana, kini ia harus bertugas sebagai pengatur lalu lintas (Polantas). Ini pun sekali lagi bukan pilihannya.
Bagi kebanyakan polisi tugas di jalan adalah kerja berjuta suka. Dalam sehari Rp 500 ribu hingga Rp 1000. 000 dapat masuk dalam kocek celana. Lain hal dengan polisi muda ini. Untuk mengambil uang tilang saja. Suyuno harus mengerutkan dahi. “Kenapa sih, ketika pengguna jalan bersalah selalu menyisipkan uang kepada polisi. Padahal belum tentu kami mau, ”aku pria berumur 30 tahun ini. “Hari ini saya baru saja menghadap atasan untuk berharap dapat pindah tugas di bagian lain, tapi jawabnya justru malah cemooh, ”ucapnya. Menghadapi atasan bukan sekali ini saja. “Ini sudah ketiga kalinya pak, ”ceritanya kembali.
Ironisnya ketika surat tilang terkumpul, seharusnya Ia diberikan reward sebesar Rp 2500, – hingga Rp 10. 000 (tergantung kendaraannya). “Tapi sudah 7 tahun bekerja, saya tidak pernah mendapatkan, ”ucapnya pilu. Suyono merasa terpukul dengan penderitaannya.
Sebagai ganti upaya sampingan ia sendiri selalu mengeluarkan jurus kemahirannya dengan memudahkan jasa pembuatan surat-surat kendaraaan. Sempat ia mendapatkan hasil uang tilang. Namun apa yang terjadi? Ia dan isteri merasa kebingungan. Lantas Ia lari ke sebuah masjid dan menanyakan kepada seorang ustadz. Tapi apa yang terjadi? Ustadz dengan mudah menjawab bahwa uang tersebut boleh diambil asal yang memberi ikhlas. Bapak 3 orang anak ini semakin bingung. Bagaimana yang memberikan uang tersebut terlihat ikhlas?
Seorang Suyuno adalah figur Polisi yang taat pada agama. Anda pastinya akan mengatakan semua polisi tak lebih dari uang dan uang. Tapi polisi bertubuh tegap ini selain disiplin tinggi, ia juga sangat mempertimbangkan mana yang hak dan mana yang bathil. Siapapun tak mengira jika pengabdian pada negara digunakan untuk keluarga. Tapi di balik itu semua, ada keniscayaan dibenaknya. Suyuno tak lebih dari korban keburukan citra polisi. Ia tidak hanya di gaji kurang dari 1, 5 juta (bruto) perbulan.
Dalam urusan asuransi kesehatan saja, kata Suyuno yang saat itu bertugas di Jakarta, instituisi pemerintahan/kedinasan (Polri) ternyata tidak memprioritaskan karyawannya. Bahkan rumah dinas yang ditempatinya dihargai Rp 15 juta oleh seniornya. “Jadi setiap anggota yang menempati rumah tersebut jika dijual selalu berlipat-lipat harganya, ”jelasnya. Dan Suyonopun harus berjibaku membayar dengan memotong gaji Rp 500 tiap bulannya.
Kini upaya Suyono terakhir, tetap bersikeras untuk pindah dari jabatan Polantas, pahitnya ia harus keluar dari Polri. Tapi untuk urusan keluar, nyatanya sangat sulit, karena terbentur dengan intervensi para atasan.
Di penghujung cerita ia memberitahu lahan-lahan empuk Polantas untuk mencari nafkah yang tidak halal di Jakarta. “Bapak lihat di sana ada berapa petugas yang mengatur lalulintas. Padahal di sini bukan lokasi tempat mereka bertugas. “Bagi mereka Ramadhan bulan penuh berkah untuk mencari uang lebaran, ”tandasnya penuh arti. Sambil bersalaman, ia bergegas pergi. “Maaf pak, saya akan bertugas kembali”.
Mudah-mudahan, polisi-polisi lain seperti Pak Suyono ini cukup banyak, sehingga citra polisi yang masih saja terpuruk di mata masyarakat bisa meningkat postif. Mudah-mudahan Ramadhan kali ini membawa kebaikan bagi mereka. Amien.