“Bude, aku tidak mau baju ini. Tidak keren!” Aku terperangah mendengar ucapan lelaki kecil itu. Belum sempat aku memberi komentar dan membujuknya agar mau mengenakan baju yang kuberikan, ia telah lari ke kamarnya. Beberapa menit kemudian ia kembali membawa sepasang baju baru keren bergambar tokoh film kartun yang sedang ngetrend.
“Aku mau yang seperti ini…”katanya sambil menunjukkan baju itu padaku. Langsung saja baju itu ia coba (lagi untuk yang kesekian kali-aku yakin itu) sambil mematut diri di depan kaca televisi. “Ma, bagus nggak, Ma?” ujarnya pada sang mama. “Aku keren nggak pake baju ini?” Mamanya mengangguk. Ia tersenyum lebar dan bangga. “Bude, beliin aku kaos saja. Kemejaku sudah banyak sekarang. Sedang kaosku sudah jelek-jelek. Beliin aku kaos yang segini ya, Bude?” katanya sambil menunjuk lengannya, memperagakan baju kaos berlengan sambung beda warna yang juga sedang in. Kali ini permintaan dan pertanyaan itu ia tujukan padaku. Aku hanya diam saja. Masih tertegun.
Hai, dari mana ia belajar membedakan keren dan tidak keren? Sejak kapan ia belajar berdandan? Aku terpaku. Menyadari sebuah akibat yang mewujud atas sebab yang kuletakkan. Laki-laki kecil itu. Belum lagi enam tahun usianya. Tapi, lihat. Ia sudah mampu membedakan mana baju keren dan tidak keren. Bahkan yang lebih mengkhawatirkan, ia berani menolak pemberian baju karena alasan tidak keren. Dan itu semua, aku yang memulai. Ya, aku.
Sebagai keponakanku satu satunya, aku gemar sekali menghadiahi laki-laki kecil nan ganteng itu dengan baju-baju bagus. Nyaris setiap pulang kampung, aku selalu membawakannya pakaian keren, dan tentu saja branded. Meski aku selalu mencari baju yang sedang diskon, tetap saja harganya sering kali lebih mahal dibanding dengan baju-bajuku sendiri. Dan hasilnya memang kelihatan. Di TK-nya, keponakan saya sering dipuji ibu temen-temen sekelasnya karena bajunya berganti-ganti dan semuanya keren Bisa dibilang, ia adalah anak dengan pakaian paling fashionable di sekolahnya.
Namun kini, menyaksikannya menjadi sangat pemilih dalam hal pakaian sungguh membuatku jeri. Bagaimana kalau aku tidak lagi dapat membelikannya baju-baju bagus? Mungkin ia akan memaksa minta uang pada orang tuanya, atau kakek neneknya atau yang lainnya. Dan tentu saja, itu akan membebani keluarga besar kami, terutama kedua orang tuanya yang bukan orang mampu. Mungkin tidak akan bermsalah jika ia lahir di keluarga dengan kemampuan sesuai. Tapi dengan kondisi sekarang? Sesuatu yang tak pernah saya pikirkan itu akan membawa permasalahan besar. Bukan tidak mungkin, ia akan tumbuh menjadi anak yang selalu melihat ke atas. Bukan tidak mungkin, ia akan tumbuh menjadi anak yang kurang bisa menerima kondisi realitas dan qona’ah dengan apa adanya. Aku merasa bersalah. Tanpa sadar, aku telah mendidiknya menjadi lelaki metropolis yang brand oriented. Tanpa sadar, aku telah menanamkan budaya besar pasak daripada tiang. Tanpa sadar, aku telah mencekokinya dengan nilai-nilai hedonisme. Tanpa sadar, aku telah mengajarinya melihat penampilan lebih dari apa yang memancar dari kedalaman jiwa dan akhlak Islam.
***
Lebih dari dua puluh lima tahun lalu. Baju-baju yang kukenakan, nyaris seluruhnya adalah buatan tangan ibuku sendiri. Entah itu dari bahan katun murahan yang dijahit ibu alakadarnya maupun rajutan tangan. Seingatku, jarang sekali ibu atau bapak, dan juga keluargaku lainnya membelikanku baju bagus, apatah lagi branded punya. Nyaris semua buatan ibu, kecuali baju-baju untuk saat-saat istimewa dan itupun belum tentu setahun sekali. Tapi seingatku pula, tak pernah aku komplain kepada ibu mengenai baju-baju itu. Yang terekam dalam benakku hingga sekarang adalah bahwa dulu aku selalu bangga mengenakan baju-baju buatan ibuku. Aku selalu merasa bahwa bajuku adalah baju terbaik dan terindah dari semua orang.
Membandingkan sosok masa kecilku dengan laki-laki kecil di hadapanku saat ini membuatku berpikir tentang satu kesimpulan. Bahwa sesungguhnya, kita para orang tua lah yang sebenarnya membuat seorang anak menjadi A atau B. Bahkan sekedar masalah pakaian. Seorang anak sebenarnya tidaklah terlalu peduli dengan apa yang dikenakannya. Jiwa anak-anak yang bersih selalu dapat menerima pemberian orang tuanya sebagai sesuatu yang paling indah. Jiwa seorang anak yang selalu riang gembira akan tetap riang gembira, tanpa peduli apa pu yang dikenakannya. Sampai kemudian kita, orang dewasa, dengan sadar atau tidak, mengotori jiwanya dengan memberikan persepsi-persepsi yang tak lagi murni. Menanamkan nilai hedon. Mengajarkannya memberikan penilaian tertinggi pada apa yang tampak mata yang disebut penampilan. Dan itu berarti, menenggelamkan nilai-nilai kehidupan hakiki seperti keramahan, kebaikan hati, kejujuran, kemurah hati-an, keindahan nurani dan kebersahajaan. Ah!
****
Sesosok janin tengah tumbuh dalam rahimku. Mencari baju dan perlengkapan bayi adalah salah satu agendaku hari-hari ini. Di benakku telah terbayang baju-baju cantik, keren, lembut dan branded dari berbagai merek pakaian anak terkenal. Dorongan untuk mengunjungi counter mereka dan memilih-milih bajunya mendesak-desak perasaanku. Tapi aku tahu, ada satu hal yang harus kumulai. Mempertimbangkan segala sesuatu ketika akan melakukan sebuah tindakan. Menekan nafsuku untuk tampil cakep yang kemudian kupersonifikasikan pada si kecil. Menekan nafsu pengin mendandani.
Ya, pendidikan itu harus kumulai dari diriku sendiri, dari sekarang. Ketika janin itu bahkan masih di dalam kandungan. Karena ia akan menjadi awal dari segalanya. Termasuk, memilih baju untuk bayiku nanti. Mencoba menekan keinginan belanja baju-banju cakep dan branded di mall-mall yang kini bertebaran. Mencoba menekan nafsu pengin mempertontronkan bayiku yang cantik nanti dengan baju-baju itu. Mencoba mengedepankan fungsi dibanding tampilan. Bahwa baju untuk bayi, syarat pertamanya adalah sesuai denagn fungsinya, melindunginya dari panas dan dingin, menutup auratnya dan memberi kenyamanan yang sesuai. Dan itu tidak harus branded. Aku bisa mendapatkannya secara grosiran di pasar Jatinegara atau Tanah Abang dengan harga setengahnya. Yang penting, ia nyaman dan aman dipakai. Aku akan memulainya.
.