Beberapa kali saya pergi ke Bandung, tetapi belum pernah bisa familiar dengan daerah-daerah yang saya kunjungi. Boleh jadi karena saya hanya pergi sebentar dan tidak pernah menyengaja untuk menjelajahi daerah sekitarnya. Hanya sebagian kecil dari sudut-sudut kota saja yang bisa dihafal.
Tiga hari terakhir, saya berkesempatan mengunjungi Bandung yang dijuluki Paris Van Java itu. Bukan karena ingin shopping atau menikmati wisata kuliner melainkan karena ada tugas dari kantor untuk mengunjungi sebuah lembaga nirlaba di sana. Saya menginap di sebuah hotel kecil di sudut kota yang jarang dikunjungi oleh orang-orang dari Jakarta yang sengaja berburu kenikmatan di Bandung. Itulah penuturan seorang sahabat yang memilihkan hotel bagi kami di sana.
Seperti biasa, saya mengandalkan aktivitas jalan kaki untuk mengenal kondisi daerah sekitar. Di pagi yang cukup gersang karena musim kemarau, saya dan bersama seorang rekan, menyusuri jalan-jalan yang sempit-sempit dan pendek-pendek di area hotel tempat kami menginap. Kami berniat menempuh jalan memutar, tidak akan menempuh jalan yang sama ketika berangkat dan kembali. Dari hotel, kami mengambil jalan ke kanan, kemudian akan selalu mengambil jalan kekiri pada belokan tertentu. Saking banyaknya persimpangan jalan, setelah sekian lama kami berjalan dan mengambil belokan, ternyata arah kami tidak menuju hotel. Boleh jadi hotel itu sudah terlewat karena kami tidak berbelok pada persimpangan yang seharusnya kami berbelok.
Kami akhirnya mengandalkan jawaban dari orang-orang yang kami tanya di sepanjang jalan. Di satu jalan kami berhenti untuk bertanya, kemudian berjalan lagi, kemudian berhenti untuk bertanya di jalan yang lain, kemudian berjalan lagi, dan seterusnya.
Suatu ketika kami bertanya kepada tukang becak yang sedang menunggu penumpang di pinggir jalan,
“Maaf Pak, tahu Jalan Telaga Bodas nggak?”
Dia memberi petunjuk jalan, tetapi dengan ungkapan yang tidak jelas, sehingga kami pun memohon penegasannya.
“Perempatan, belok kanan, terus gimana Pak?”
Tetapi rupanya jawaban tukang becak itu terasa kurang menyenangkan,
“Ayo ikut saya saja, biar nggak bingung..!”
Kami minta penjelasannya sekali lagi, tetapi jawaban tukang becak itu masih sumir di telinga kami,
“Tadi Bapak bilang gimana? Coba bilang sekali lagi, Pak.”
“Ayo dah ikut saya saja! Naik becak!”
Kami yakin bahwa jalan yang kami tuju itu tidaklah jauh. Kami hanya salah mengambil belokan akibatnya kami terlampau jauh dari jalan yang kami tuju dan harus sedikit menempuh jalan memutar. Tetapi bapak itu seakan ingin mengambil kesempatan dari ketidaktahuan kami. Saya menyadari bahwa bapak tukang becak itu membutuhkan penumpang untuk mengalirkan rezekinya. Namun caranya yang agak memaksa itu rasanya kurang pantas.
Dengan sopan kami menolak ajakan untuk menumpang becaknya itu,
“Wah.. Pak, kami kan sengaja mau jalan kaki. Maaf ya Pak!”
Bapak itu memberi petunjuk agar kami berbalik arah kemudian belok kanan, namun kami meneruskan langkah karena kami yakin jalan itu bisa ditempuh dengan berjalan lurus kemudian belok kiri. Dan dugaan kami benar, ketika kami bertanya pada seseorang di pinggir jalan, orang itu menunjukkan arah yang kami duga.
Akhirnya setelah menempuh perjalanan sekitar 45 menit ─sejak kami keluar pertama kali dari hotel, sampailah kami di hotel tempat kami menginap. Alhamdulillah, dengan jalan kaki yang hanya beberapa menit itu, badan kami sudah sedikit berkeringat dan terasa segar.
***
Ketika kami mengendorkan urat kaki dengan duduk-duduk di kursi lobby hotel, pikiran saya masih terbayang kepada bapak tukang becak yang saya temui itu. Ada sedikit pelajaran yang saya dapatkan. Mengambil keuntungan dari setiap kesempatan, adalah prinsip yang lazim dipedomani oleh banyak orang. Hanya saja, terkadang orang tidak bijak menentukan cara mengambil dan mengartikan keuntungan itu.
Berjumpa dengan orang yang bertanya karena ingin mengetahui arah tertentu, hendaknya tidak dimanfaatkan untuk mengambil keuntungan materi melainkan dimanfaatkan untuk berbuat kebaikan dengan memberi petunjuk sejelas-jelasnya. Dalam pengalaman bepergian, beberapa kali saya pernah bertanya kepada tukang becak atau tukang ojek, tetapi mereka sepertinya enggan menjelaskan arah tujuan dengan jelas. Bahkan pernah suatu ketika saya bepergian dengan menggunakan sepeda motor, kemudian bertanya arah tertentu kepada tukang ojek, ia malah menawarkan untuk mengantarkan saya ke tempat tujuan itu. Tentu saja tidak dengan gratis, tetapi dengan tarif layaknya kita membonceng ojeknya.
Saya akhirnya menyadari bahwa bertanya tentang arah jalan pun harus pilih-pilih orang. Agaknya bertanya kepada tukang ojek, tukang becak, sopir taksi, sopir bajaj, dan semacamnya, bukanlah pilihan yang tepat. Meski hanya sebagian kecil saja dari mereka yang seperti itu (bersikap opportunis), saya seharusnya bertanya kepada orang yang lebih bebas kepentingan (independen) seperti penghuni rumah/toko atau sesama pemakai jalan. Lebih bagus lagi saya bertanya kepada petugas pelayananan masyarakat seperti Polisi atau Satpam.
Fenomena banyaknya orang berusaha mengambil kesempatan dari kesempitan orang lain itu, agaknya banyak dijumpai di zaman yang serba materialis ini. Banyak orang terjebak dalam memanfaatan sebuah peluang. Memanfaatkan selalu dikonotasikan dengan mengambil keuntungan materi bukan keuntungan pahala kebaikan dari Tuhan.
Baru-baru ini saya merasa miris ketika mengetahui betapa permainan game on-line atau playstation bisa menimbulkan efek membunuh pada seorang anak. Efek ini dikatakan oleh seorang psikolog lebih bahaya dari Narkoba, karena orang yang terkena Narkoba hanya mengorbankan dirinya sendiri saja sedangkan anak-anak yang terkena sihir game-online atau playstation bisa mengorbankan diri dan orang lain. Saya juga miris ketika mengetahui hasil penelitian (survey) bahwa 56% dari remaja yang melakukan pacaran, mereka melakukan seks bebas. Tentu saja, kondisi ini tidak lepas dari maraknya jualan content pornografi di situs-situs internet dan maraknya gaya hidup hedonisme yang dipertunjukkan di media-media massa dan elektronik yang menginspirasi mereka untuk menirunya. Belum kemirisan yang timbul akibat merebaknya aktivitas merokok di tempat-tempat umum secara bebas yang membawa mudharat lebih besar kepada para perokok pasif. Semua ini tidak lepas dari sikap opportunis dari sebagian para pelaku bisnis yang didukung oleh pihak-pihak tertentu yang juga berjiwa opportunis.
Oppotunis adalah sikap yang dipicu oleh kecintaan berlebihan terhadap harta dunia. Bagi orang-orang yang beriman, opportunis (dalam arti negatif) bukanlah menjadi gaya hidupnya. Beberapa kali saya menjumpai orang yang sudah tersentuh keimanannya, dan ternyata mereka cukup selektif ketika berniat berdagang atau berjualan produk kepada orang lain. Mereka berpikir apalah artinya menunai keuntungan besar jika berakibat memudharatkan atau membunuh orang lain. Apa yang mereka ungkapkan itu adalah selaras dengan petunjuk Allah Swt melalui sabda Rasul-Nya. Rasul Saw dengan tegas mengharamkan khamr dan menghukum dosa bagi pihak-pihak yang terlibat dan berperan dalam mata-rantai pembuatan (produksi) hingga penyebarannya (distribusinya). Sangat cerdas jika mereka menganalogikan hal ini dengan produk-produk lain seperti rokok, situs porno, game-online, makanan yang merusak, narkoba, dan lain-lain.
Cinta dunia sering menjadikan mata hati manusia buta, yaitu buta melihat peluang yang seharusnya dimanfaatkan untuk berbuat kebajikan, malah dimanfaatkan untuk merugikan orang lain. Di hadapan kita kini, akan hadir bulan Ramadhan. Allah mendatangkan Ramadhan ─yang hanya sebulan dari 12 bulan yang ada, tidak lain agar menjadi ujian bagi kaum muslimin apakah dengan bulan yang terbatas itu bisa memanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk kebaikan atau tidak. Meski ada peluang untuk mendapatkan dunia, tetapi letak ujian Ramadhan bukanlah untuk itu melainkan untuk mendapatkan keberkahan, pengampunan, dan pembebasan dari api neraka dengan mengendalikan hawa nafsu.
Maka siapa yang pandai memanfaatkan peluang Ramadhan ini, Insya Allah ia akan menjadi orang-orang yang beruntung dalam arti yang sebenar-benarnya, bukan keuntungan semu yang bersifat temporer belaka.
Waallahua’lamu bishshawaab
([email protected])