Sebuah hadits Rasulullah riwayat Ibnu Umar mengisahkan tiga orang yang terjebak di dalam gua. Masing-masing mereka kemudian bertawassul dengan amalan baik yang mereka lakukan, dengan harapan Allah membebaskan mereka dari himpitan gua yang pengap dan gelap. Mereka adalah seorang ayah yang tetap menjaga jatah susu untuk kedua orang tuanya yang tertidur, sekalipun anaknya sendiri merengek meminta susu tersebut, seorang yang tidak jadi mengambil ’tubuh’ sepupu perempuannya yang cantik sebagai ganti bayar hutang, seorang majikan yang buruhnya ’lupa’ mengambil jatah upah, lalu ia kembali kepadanya dan memberikan banyak gembalaan sapi sebagai hasil pemutaran uang atas upah yang tertinggal itu. Batu penutup gua akhirnya terbuka atas izin Allah dan merekapun selamat dari bahaya.
Pada hari itu, sembilan Dzulhijjah1428 Hdi padang Arafah. Jutaan manusia berbaris dengan ihram menuju tenda-tenda. Lautan putih di bawah terik matahari dengan peluh di mana-mana. Jabal Rahmah dengan tegak menyaksikan itu semua, menjadi saksi sebuah perumpamaan pengadilan akhir nanti di padang Mahsyar. Rombongan kami berjalan terhuyung-huyung karena jauhnya empat jam perjalanan, di bawah panas terik satu jengkal matahari. Di Namirah sesaat sebelum zawal, jutaan manusia bergegas melawan arus rombongan kami, mengejar keistimewaan mendengar kutbah tausiyah di sana. Rombongan terdesak, kami hanyalah tubuh-tubuh kecil orang Asia. Seorang ibu kehabisan tenaga, ia pun lunglai tak berdaya.
Entah di mana mulanya, tiga saudara kami dalam rombongan kemudian terpisah diri. Sedikit yang menyadari karena masing-masing sibuk dengan urusannya, sebuah kewajaran di tengah kelelahan dan kepanikan lautan manusia. Lagi-lagi sebuah perumpamaan pengadilan akhir nanti di Padang Mahsyar.
Tiga hari kemudian, di tenda Mina. Kami mendapati mereka bertiga ada di sana. Satu bapak tua Suriname tertidur lelap dengan sepiring buah dan makanan di sisi kanannya, pemberian isterinya yang terus berdoa dengan urai air mata, dan juga dua pemuda Suriname berbaring santai yang salah satunya dengan kaki bengkak dibalut perban.
Entah apa yang terjadi hanya Allah yang menghendaki mereka bertemu kembali dengan rombongan kami. Tiga orang tanpa pengenal di antara jutaan manusia bagaikan setitik debu di padang pasir Arafah-Mina.
Kami kemudian mencoba mencari cerita dari mereka, kisah tiga hari berpisah apa yang terjadi. Tidak banyak yang saya dengar kecuali sebuah senyuman manis dari dua pemuda, ’
’ This is Hajj my brother… We were only remembering our sins..hope Allah will forgive us… ’’.
Sebuah jawaban singkat namun penuh makna. Tak terdengar keluh kesah dari mereka.
Sementara si bapak tua bercerita, dalam tiga hari berpisah, di tengah kesendirian hanya ditemani kain ihram, ia selalu berupaya menjalankan seluruh ritual haji tanpa kehilangan satu rukun dankewajiban pun. Terlepas dari wukuf Arafah, lalu mabit di Muzdalifah, menyelesaikan ritual di hari Nahar, kemudian mabit dan berjuang melempar jumrah di Mina, hingga akhirnya tanpa disangka bertemu tenda kami pada hari Tasyrik di perbatasan Mina. Kami tanya ia tidur di mana, beralas pasir beratap langit jawabnya. Apa yang dilakukan si bapak tua dalam tiga hari kesendirian pun sama dengan dua pemuda, mengingat dosa-dosanya.
Senyum, sabar, tawakkal, dan mengingat dosa. Itu semua bekal ketiga orang tadi dalam kesendirian, berpisah dari rombongan di tengah jutaan manusia di alam yang panas luar biasa. Sama dengan hadits riwayat Ibnu Umar hanya sedikit berbeda. Tiga orang terdahulu berbekal amal baik memohon pertolongan kepada-Nya. Tiga orang di hari Arafah berbekal sabar, mengingat dosa, memohon pertolongan kepada-Nya.
***
Al-hajju Almabruur laisa lahu jazaa-un illal jannah
1 Muharram 1429 H