“Mas, kalau BBM jadi naik, hidup orang kecil jadi makin susah. Sekarang saja sudah susah. Meskipun katanya ada Bantuan Langsung Tunai yang dijanjikan sama pemerinta. Tapi jumlahnya gak seberapa. Tiga ratus ribu itu langsung habis. Belum lagi kalau ada pemotongan di jalan. Waktu dana rekonstruksi gempa pun seperti itu. Ada yang dipotong sampai lima ratus ribu. Walaupun saya orang gak punya, tapi saya gak berani berbuat gak jujur. Saya pernah ditenung waktu di Kalimantan. Gara-gara saya membagi dengan adil…”
Sebut saja namanya Pak Supri. Umurnya sekitar empat puluh lima tahun. Asli Bantul. Pernah ikut program transmigrasi di Sampit, Kalimantan. Beliau pernah pula merantau ke Sumatra. Dua puluh tahun lalu, ketika menjadi transmigran, Pak Supri dipercaya untuk menjadi kepala desa. Beliau merasakan langsung buruknya sistem yang menaungi rakyat Indonesia ini. Budaya korupsi yang sudah mengakar, dirasakan langsung oleh beliau dan sesama transmigran. Misalnya saja, seharusnya tiap kepala keluarga mendapat jatah seng empat puluh empat lembar. Namun yang sampai di tangan hanya empat puluh dua lembar. Memang hanya dua lembar, akan tetapi jika dua lembar itu dikalikan sekian ratus kepala keluarga, maka jumlahnya cukup mencengangkan. Beliau yang hanya bertindak sebagai kepala desa, tidak tahu apa-apa.
Hidup di tempat asing, yang memiliki penduduk dari berbagai etnis, membawa pengalaman kehidupan tersendiri. Kedudukannya sebagai kepala desa, membuat beliau harus mencurahkan segala daya upaya agar warganya bisa hidup tenang. Mulai dari masalah pathok (batas, pen) hingga santet menyantet, menjadi makanan sehari-hari beliau. Pernah suatu ketika, beliau menemukan boneka dari jerami yang dihiasi beberapa tusukan jarum emas, dipasang di pagar pekarangan beliau. Tenung rupanya. Kejadian tersebut tidak hanya sekali dua kali. Berat. Berat sekali tanggungan hidupnya.
Dua tahun lalu, ketika bumi menggerakan sebagian lapisannya yang menghantam jogja dan klaten, Pak Supri pun merasakan hal yang serupa. Beliau bukan kepala desa. Hanya warga biasa. Namun beliau tahu, ada yang tidak beres dalam pembagian dana rekonstruksi. Salah seorang kepala dukuh di Bantul, yang masih terhitung saudara dengan beliau, melakukan suatu perbuatan yang merugikan sesamanya. Pak Dukuh itu memasukkan semua anggota keluarganya ke dalam daftar calon penerima dana rekonstruksi. Padahal anggota keluarganya adalah bukan warga setempat. Dan sebenarnya tidak layak untuk mendapatkan dana rekonsatruksi. Di luar sana, masih ada warganya yang sangat layak untuk mendapatkan dana, belum terdaftar.
”saya langsung datang ke Pak Dukuh. Saya tahu kalau Pak Dukuh itu yang mencantumkan semua nama anggota keluarganya. Namun saya berpura-pura tidak tahu. Saya ajak mengobrol dan mengorek keterangan. Awalnya dia ndak mau ngaku. Tapi lama kelamaan dia mau ngaku. Sempat dia marah kenapa saya ribut, padahal saya bukan warga sana, menurut pak Dukuh itu. Memang saya ndak punya rumah di sana, saya cuma ngontrak. Tapi saya punya KTP Bantul. Kalau pak dukuh itu ndak mau jujur juga, saya berani membawanya ke pihak berwenang.“, ujarnya.
„Mas, jadi kepala desa itu susah. Sudah ndak digaji, tanah bengkok pun ndak seberapa. Makanya banyak yang cari sambilan. Saya ndak berani, Mas. Jadi pemimpin itu bukan untuk mencari kekayaan. Meskipun mungkin waktu kampanye sudah mengeluarkan banyak uang agar terpilih. Jadi pemimpin itu mengabdi. Mengabdi pada masyarakat.“
Pak Supri sekarang tinggal di Sleman. Bukan sebagai kepala desa. Hanya kepala keluarga biasa. Setiap hari, beliau berkeliling kampung dan permukiman untuk mengumpulkan barang-barang bekas. Mulai dari koran, hingga barang elektronik rusak. Prinsip kejujuran yang beliau ceritakan, bukan sekadar isapan jempol. Beliau tidak segan-segan menceritakan harga beli dan harga jual barang-barang yang dikumpulkannya. Termasuk pula ketika menimbang barang.
”saya ndak berani ngurangi timbangan mas. Takut celaka. Urusannya panjang. Dunia akhirat. Kalau cuma ribut-ribut sama orang, saya berani. Itu urusannya gak panjang…”,
Alangkah indahnya, jika para pemimpin kita memiliki prinsip hidup seperti Pak Supri. Kejujuran, melayani dengan sepenuh hati, mengabdi untuk masyarakat, adil, dan tidak mementingkan kepentingan sendiri. Ya, kepemimpinan adalah sebuah amanat. Jadi pemimpin adalah bukan saatnya untuk memperkaya diri. Sebaliknya, jadi pemimpin adalah saatnya untuk memperkaya orang-orang yang dipimpinnya. Bergengsi memang ketika seseorang menjadi pemimpin di lingkungannya, lingkungan tersebut akan patuh padanya. Masa depan lingkungan ada di tangannya. Baik buruknya lingkungan tersebut ada di tangannya.
Sebegitu beratnya amanah sebagai pemimpin. Pantaslah ketika Umar bin Abd Aziz dibaiat menjadi khalifah, beliau langsung pingsan. Beliau takut jika nanti ada seekor kambing yang berada di wilayahnya, kelaparan. ”apa yang harus aku katakan pada tuhanku nanti?”, ujarnya.
Namun yang harus diingat, tidak fair ketika kita hanya menyalahkan pemimpin kita atas ketidakberesan penanganan negeri ini. Pemimpin itu mencerminkan rakyatnya. Ketika pemimpinnya buruk, maka rakyatnya buruk pula. Kita pun bertanggung jawab atas pemimpin kita. Terlepas dari pemimpin itu diangkat atau dipilih, pemimpin tetap pemimpin.
”barang siapa di antara kamu melihat kemungkaran, hendaknya dia mengubah dengan tangannya. Jika tidak sanggup, maka dengan lisannya. Jika tidak sanggup pula, maka dengan hatinya. Itu adalah selemah-lemahnya iman” (HR Muslim).
So, jangan ragu untuk mengingatkan para pemimpin kita agar tetap berada di jalan yang diridhaiNya. Dan jangan lupa, setiap dari kita adalah pemimpin, dan akan diminta pertanggungjawabannya kelak.