Sore itu, saya memacu sepeda motor dari arah Cawang ke Cililitan. Menjelang tiba di PGC (Pusat Grosir Cililitan), sepeda motor yang saya naiki terasa oleng, makan lama makin terasa ketidakstabilannya. Ketika sepeda motor saya hentikan dan saya tengok ban belakangnya, tahulah saya ternyata bannya bocor.
Saya menghela nafas berusaha menenangkan diri di tengah keramaian lalu lintas yang agak macet itu. Saya tuntun pelan-pelan sepeda motor itumenembus kemacetan jalan denganpara pengendara sepeda motor yang berseliweran meliuk di tengah kemacetan di sebelah kanan saya. Saya harus waspada, karena di sebelah kiri saya adalah para pedagang buah yang ruang bagian depannya telah banyak tersita untuk dilewati para pengendara sepeda motor. Jika sepeda motor yang saya tuntun jatuh dan mengenai pedagang buah, pastilah berantakan buah-buahan itu jadinya. Alhamdulillah saya mampu melewati mereka dengan lancar.
Sepeda motor saya tuntun ke arah Halim (Jl. Cililitan Besar), arahmenuju pulang. Saya yakin di sepanjang jalan itu akan saya temukan tukang tambal ban. Begitu sampai di perempatan Cililitan saya bertanya kepada tukang ojek tentang tukang tambal ban terdekat yang bisa saya jangkau. Ia menunjuk ke arah Halim. Sekitar 50 meter dari situ, ada tambal ban di sebelah kiri, yaitu di tempat ngeteam (mangkal) angkot Trans Halim.
Saya melanjutkan perjalanan dengan menuntun sepeda motor saya. Benar, tidak lama kemudian di sisi kiri jalan saya lihat peralatan kompresor dan tambal ban. Beruntung sekali, tidak ada ‘pasien’ lain selain diri saya. Setelah mengkonfirmasi kepada si tukang tambal ban, saya segera mengatur posisi sepeda motor agar siap dikerjakan. Karena sudah beberapa kali ditambal, saya mintakan kepada tukang tambal ban ituagar ban dalamnya diganti saja dengan ban yang baru.
Lega rasanya sudah menemukan tukang tambal ban setelah sekian lama menuntun sepeda motor. Saya menduduki bangku dipan yang tersedia. Suasana masih terlihat ramai, lebih ramai dibanding dulu karena ada pusat grosir itu. Tambal ban yang saya singgahi, sebelah kanannya adalah warung makan, di mana masih banyak para sopir yang mangkal minum atau makan di sana. Di sebelah kiri adalah tukang jual buah yang sesekali duduk menemani saya. Di sepanjang jalan berjejer mobil Trans Halim yang sedang ngeteam menunggu penumpang. Di seberang adalah lapak-lapak buah, warung makan, lapak koran, dan lapak berjualan lainnya yang berjejer rapi. Tidak jauh dari tambal ban ini adalah Masjid Raya Al-Huda yang sering ramai dikunjungi pengendara mobil atau sepeda motor yang mampir menunaikan sholat.
Ketika saya beristirahat sambil mengamati suasana itulah, aku sedikit dikejutkanoleh celoteh si tukang tambal ban itu,
“Ini ada lapisan karet ban di dalam buat apa? Wah, lapisannya juga sudah rusak. Coba saya periksa. ”
Si tukang tambal ban itu masih sibuk memeriksa keadaan ban sepeda motor saya yang dirasakan kejanggalannya. Saya pun tidak banyak tahu maksud tukang tambal ban sebelumnya yang menaruh lapisan ban (antara ban luar dengan ban dalam). Setahu saya agar lebih awet dan tidak cepat bocor.
Setelah meraba-raba kondisi dalam dari ban luar, dia berujar,
“Gini nih ceritanya, biasanya kalau ban sepeda motornya bocor, orang suka maksain diri naik atau menuntun dengan nyalain mesin. Jadinya ya begini. Lapisan dalam dari ban luarnya rusak terutama yang tergesek oleh velg. Untuk menutupi lubang akibat gesekan itu, dikasihlah karet ban pelapis. ” Mendengar itu saya tersindir karena memang kadang saya suka begitu atau terlambat mengetahui bahwa ban telah bocor.
“Jadi akibat dinaikin waktu bocor tadi, ban luarnya sebenarnya jadi rusak di dalam. Nampaknya aja bannya masih bagus dari luar, tetapi sebenarnya sudah keropos. Kalau ban luarnya ngga cepat diganti, akan cepat bocor lagi. Nah, melapisi dengan karet ban bukanlah solusi, ini solusi sementara saja karena kondisi ban luarnya sudah begitu. Kalau ada rezeki mending diganti aja ban luarnya. ” Ia menambahkan.
Dia berujar bahwa ia mengungkapkan kondisi ini kepada setiap orang yang menambalkan bannya. Dia berharaporang menjaditahu dan lebih berhati-hati. Ia terlihat tulus, karena ia sendiri memang tidak menyediakan ban luar dan service pemasangannya. Penggantian itu bisa dilakukan di bengkel atau pas ketika service rutin di bengkel resmi.
Jujur, saya baru kali ngeh dan paham kronologi terjadinya ban bocor dan kiat agar terhindar dari kebocoran yang terlalu sering. Saya pun mencoba bertanya kenapa ban belakang kok mudah bocor dibanding ban luar. Ia menjawab, “Gampang saja. Karena ban belakang ini fungsinya tiga, sedangkan ban depan fungsinya cuma satu. Ban belakang selain berfungsi menahan beban rem, juga beban panas dari mesin dan beban barang atau muatan. Makanya ban belakang lebih sering bocor. Seandainya ban depan yang difungsikan demikian, malah bisa berbahaya. Jika ban depan yang tiba-tiba bocor, pasti akan banyak kecelakaan yang terjadi. ” Ya, sayamemahami, mengingatroda depan berfungsi sebagai pengatur keseimbangan dan kendali.
***
Sungguh, kemurahan hati untuk berbagi ilmu dari bapak tukang tambal ban itu, menggugah saya untuk mengenalnya lebih dekat. Bapak itu tidak menyebut nama aslinya. Hanya saja dia berujar bahwa orang sering memanggilnya Doyok karena selintas mirip dengan pelawak nasional Doyok yang sudah Almarhum itu. Dia berusia 53 tahun, berasal dari kecamatan Ciledug, kota Cirebon. Anak dan isterinya tinggal di sana, dan ia sebulan sekali pulang untuk menyambangi mereka. Sebenarnya anaknya ada empat, namun yang dua telah dipanggil Allah Swt ketika berusia satu dan empat tahun. Anaknya yang sisa, kini sudah menikah dan mempunyai anak. Sedangkan anaknya yang terakhir masih sekolah STM di Cirebon.
Beliau menapaki Jakarta sejak tahun 1974 (ketika berusia 20 tahun), jadi sudah 33 tahun dia menghabiskan waktu dengan mengadu nasib di kota metropolitan ini. Profesi sebagai tukang tambal ban telah dilakoninya selama 11 tahun. Sebelumnya, dia berprofesi sebagai pedagang dan menjalani berbagai jenis pekerjaan lainnya.
Tempat kerjanya saat ini yang tidak seberapa luas, berfungsi juga sebagai rumahnya. Dipan tempat duduk yang disediakan untuk pelanggan dan sering dijadikan tempat kongkow para pengemudi angkot yang menunggu penumpang, adalah dipan yang digunakan sebagai tempat tidurnya di malam hari. Untuk urusan MCK boleh jadi dia memanfaatkan masjid atau menumpang dikontrakan rekan-rekannya terdekat.
Begitulah terkadang kehidupan di kota metropolitan Jakarta. Harus bergerilya memanfaatkan lahan umum yang kosong untuk dijadikan tempat berjualan sekaligus berfungsi sebagai tempat tinggal. Bisa dibayangkan andaikan ada petugas Pol PP yang melakukan penertiban dan menggusur tempat kerja sekaligus ‘rumah’nya karena dianggap liar itu, mereka tentu melakukan perlawanan sekuat daya karena itulah satu-satunya ‘barang berharga’ yang mereka miliki. Terlepas apakah mereka bersalah atau tidak, adalah kewajiban pemerintah untuk memperhatikan mereka dan memberikan jalan keluar sebaik-baiknya.
***
Azan maghrib berkumandang tatkala pak Doyok telah menyelesaikan penggantian ban sepeda motor saya. Saya menyodorkan uang Rp 32. 000 sebagai ongkos pembelian dan pemasangan ban sepeda motor. Tapi sungguh, ongkos itu tidak sebanding dengan pelajaran berharga yang saya dapatkan. Tak lupa saya mengucapkan terima kasih atas pelajaran yang disampaikannya sore itu. Syukur pun saya panjatkan karena Allah Swt telah mempertemukan saya dengan orang pemurah itu, murah dengan ilmu yang dimiliki.
Seiring Pak Doyok berkemas merapikan pekerjaan, saya pun berkemas dan bergegas menuju masjid Al-Huda yang berada di seberang. Perasaan saya diliputi oleh kenikmatan yang luar biasa karena mendapat pelajaran dan hikmah dari bapak tukang tambal ban itu.
Bertahun-tahun saya mengendarai sepeda motor dan beberapa kali harus berkunjung ke tambal ban terdekat yang saya jumpai, tetapi tidak ada tukang tambal ban yang sejujur dan se-transparan Pak Doyok. Saya maklum, boleh jadi mereka tidak terbuka dengan harapan ban yang baru ditambalnya itu akan segera bocor lagi. Sehingga ‘pasien’ itu datang lagi dan datang lagimenambal atau mengganti bannya. Artinya, uang pun mengalir lagi dan mengalir lagi. Perilaku tidak profesional demikian sudah jamak kita temui, terlebih di kota Jakarta yang serba bersaing dengan berbagai cara guna mendapatkan uang. Bukan sekedar profesi tukang tambal ban, tetapi juga profesi yang lain.
Apakah Pak Doyok merasa rugi dengan keterbukaannya itu? Orang bisa jadi akan berpikiran demikian. Namun saya yakin ‘tangan’ Allah bekerjamahacerdas dandi luarperhitungan manusia. Dengan ‘sedekah’ ilmunya itu maka justru Allah Swt akan memberikan kebaikan, keberkahan, dan kekayaan yang berlipat ganda. Orang makin tahu akan kebaikan dan kejujurannya, dan orang makin menaruh kepercayaan kepadanya. Kepercayaan inilah yang justru mengundang orang untuk suka menambal ban kepadanya karena kerjanya yang profesional. Sungguh, Allah Swt akan membalas kebaikan dengan kebaikan. Dan Allah Maha Pemurah dengan anugerah rezeki yang dimiliki-Nya.
Sehabis shalat magrib, wajah hitam Pak Doyok yang berkaca mata itu, masih terbayang lekatdi benak saya. Sungguh, beliau telah memberi inspirasi kepada saya untuk terus menuangkan kebaikan dan sedekah. Kebaikan dan sedekah yang kita berikan memang sepintas merugikan kita dengan tenaga, waktu, dan harta yang tercurahkan, sementara kita tidak merasa mendapatkan apa-apa. Tapi sekali lagi, sudah menjadi ketetapan Allah dan Rasul-nya bahwa kebaikan dan sedekah yang kita belanjakan akan berbalas minimal sepuluh kali. Semakin banyak berbuat kebaikan dan sekedah semakin banyak pahala dan kekayaan yang kita dapatkan. Hanya saja sering —karena keterbatasan manusia—kita tidak mampu menghitung atau merasakan lipatan-lipatan balasan kebaikan dan kekayaan itu.
Demi membayangkan kepastian pahala dan sedekah, saya jadi berkaca-kaca dan mengucap istighfar. Saya mohon ampun kepada Allah Swt atas lintasan hati yang terkadang tidak mempercayai kepastian-Nya itu. Terima kasih kepada bapak tukang tambal ban yang memberi inspirasi berharga itu dan sekaligus memperteguh keimanan saya. Semoga Allah memberi pahala kebaikan dari sedekah ilmu yang diberikannya.
Waallahu’alam. (rizqon_ak @ eramuslim. Com)