Seorang remaja cacat mengajariku tentang salah satu nikmatMu, ya Allah. Allah Maha Pemberi Rizki, demikian ujarnya tanpa kata.
Dia memang mengajariku tanpa keindahan bertutur seorang profesional. Tanpa kemegahan sebuah ruang seminar ber-AC. Tanpa kenecisan stelan jas yang licin, dibalut dengan dasi menawan. Ia mengajariku tanpa makalah terketik rapi, dengan kehalusan cetakan sebuah printer laser. Dan aku memang tidak perlu menaifkan diri dengan membatasi ruangku untuk belajar.
Siang itu, halaman rumahku usai basah oleh rinai gerimis. Tertatih-tatih ia datang, satu kakinya menopang seluruh tubuhnya. Dengan ransel kumal, dan wajah penuh usapan peluh, ia bertutur lugu, meminta maaf sekiranya telah mengganggu ketenangan hari liburku.
Ya Allah, ia datang tidak untuk mengemis, sebagaimana sebelumnya aku duga! Bahkan aku sempat mencurigai aksi penipuan dari tubuh ringkihnya. Dari ransel kumalnya dikeluarkan beberapa barang. Sebuah hiasan Dora Emon, sebagai wadah gantungan kunci, ditawarkannya kepadaku. Ada label harga di belakangnya. Sempat terlintas di benakku, sedikit terlalu mahal. Tapi aku tetap membeli. Mulanya karena dorongan rasa kasihan. Namun setelah lebih jauh kupikir, toh aku cukup sering menghambur-hamburkan dana lebih mahal dari harga yang seharusnya kubayar, bukan untuk orang-orang seperti mereka. Aku hamburkan uangku untuk mereka para pemilik swalayan, yang sebenarnya telah kekenyangan.
Seberapa sering, misalnya, kuboroskan dana untuk membeli kertas catatan dalam bentuk loose leaf, padahal kertas buku catatan biasa cukup memadai untuk itu? Apa salahnya jika sekali-kali kuboroskan dana untuk mereka yang memang membutuhkan? Demikian pikirku, sedikit mengandung sinisme kesenjangan sosial.
Ya Allah, aku belajar darinya tentang makna keimanan kepadaMu. Seluruh geraknya pada saat itu seolah mengatakan kepadaku, Allah itu Maha Baik, Ia Maha Pemberi Rizki. Pelajaran apa lagi yang lebih utama selain pelajaran tentang sifat-sifatMu ya ilahi. Lalu, ilmu mana lagi yang lebih bermanfaat selain ilmu yang menancap langsung di sanubari seorang hamba?
Untuk seseorang dengan kondisi tubuh seperti itu, sesungguhnya bisa saja ia menjadikan kecacatannya itu sebagai alasan untuk menjadi pengemis. Lebih buruk dari itu, ia dapat terjerumus meratapi diri berkepanjangan, seraya menyalahkan nasib, lingkungan, bahkan Allah yang menciptakannya.
Bukankah banyak saudara kita yang berprilaku demikian. Bahkan mereka menciptakan cacat-cacat artifisial, untuk memancing rasa iba orang lain, dan menjustifikasi profesi mereka sebagai pengemis.
Betapa banyaknya pemuda yang dibekali fasilitas berlimpah, namun menghamburkan fasilitas dan waktu yang mereka miliki. Seolah mereka di akhirat kelak tidak akan ditanya, ‘dan masa mudamu, ke mana engkau habiskan?’
Betapa banyak di antara mereka yang begitu ringkih, senantiasa mengeluh setiap kali mendapati cobaan meski hanya sehalus angin sepoi-sepoi.
Namun remaja cacat tadi tidaklah demikian. Ia tidak mengemis. Ia memilih berjualan, sehingga uang yang kelak diperolehnya adalah buah dari jasa. Artinya, ada sesuatu yang ia berikan kepada orang lain sebagai imbalan uang yang ia terima.
Seolah ia hendak mengatakan, saya tidak ingin menerima sesuatu yang tidak pantas saya terima. Saya tidak ingin mengambil sesuatu yang bukan hak saya. Saya tidak ingin memperoleh sesuatu tanpa memberikan balasan yang setimpal untuk itu. Ia sepertinya yakin, begitulah Allah menghendaki setiap hamba dalam mengejar rizki.
Ketidakyakinan, sebagai antitesis keyakinan, terhadap Engkau Sang Pemberi Rizki, betapa telah melahirkan begitu banyak masalah tak berkesudahan di muka bumi ini.
Ketidakyakinan, sebagai bentuk kelemahan iman, betapa telah memudarkan idealisme para pemuda, membelokkan ketajaman berpikir para cendekia, bahkan meluluhkan kewibawaan para ulama. Betapa para penguasa dari masa ke masa menghinakan diri dan jabatannya di hadapan uang dan benda-benda.
Ya Allah, adakah ini skenarioMu, karena Engkau tahu ada yang telah tergelincir di hati ini?
Mungkin akhir-akhir ini hamba telah larut dalam ketidakyakinan bahwa Engkau yang telah mengatur rizki setiap hamba.
Mungkin Engkau tahu betapa hamba tenggelam dalam kekhawatiran yang tidak semestinya, sehingga abai terhadap agenda permasalahan umat. Mungkin ini teguran dariMu, agar potensi yang telah Engkau anugerahkan kepada hamba tidak habis dibaktikan hanya untuk menghasilkan benda-benda. Betapa dalam syukurku, yang telah mencegah hamba larut dalam perlombaan dunia.
Ataukah ini caraMu mengajarkan hamba tentang etos kerja? Setelah tumpukan buku dan makalah tidak juga menyulutkan semangat hamba dalam mengatasi aneka tribulasi?
Ya Allah, maafkan hamba yang terkadang iri dengan mereka yang begitu mudah meraup harta benda, tanpa harus banyak pikir dan kerja. Ampuni hamba yang terkadang mempertanyakan kehendakMu dalam membagi nikmat.
Dawamku syukurku atas teguranMu, agar ia dapat berbuah menjadi semangat untuk berbuat. Agar ia dapat menyuburkan kembali hati hamba yang kaku dan keras, sehingga dapat senantiasa teduh di tengah deraan cobaan yang panas.
Sampaikan doa hamba kepada mereka yang tetap menjaga diri dari maksiat, dari menghisap uang rakyat, dan tetap memilih pekerjaan halal, meski di mata manusia mereka tidak dipandang berharga.
sabruljamil.multiply.com