Perempuan itu bernama Karmiah. Setiap adzan subuh berkumandang di masjid, ia harus cepat-cepat bangun. Ia memang harus bangun lebih awal ketimbang majikannya dan seisi rumah yang lain. Ia juga harus tidur lebih akhir ketimbang lainnya. Dan ia tidak akan masuk ke kamar peraduan sebelum majikannya tidur terlebih dahulu. Itulah nasib dia, sebagai seorang perempuan yang menjadi pembantu rumah tangga di luar negeri.
Ia sudah lama mengunci mulutnya. Alias tidak banyak berbicara kecuali yang penting-penting saja. Ia juga dilarang untuk bicara dengan sesama PRT tetangga sebelah. Perempuan itu menurut saja. Sebab ia tidak punya hak untuk melawan walau hanya sepatah katapun. Apa yang dikatakan majikan, harus ia turuti.
Pagi hari ia jarang makan nasi, seperti kebiasaannya di kampung. Ia hanya minum dan makan roti. Hari-hari ia lalui dengan banyak kerja. Sedikit sekali waktu istirahat yang diberikan majikan padanya.
Sesak. Sesak sekali rasanya. Tapi apa boleh buat. Ibarat akan mengarungi lautan,
layar kapal sudah terkembang. Ia harus berani dan pantang menyerah. Dan akan terus melaju. Melaju menuju pelabuhan yang dituju. Keberhasilan!
Perempuan 40-an itu banyak bercerita pada saya. Ia mencurahkan segala isi hatinya pada saya tentang apa yang sedang ia alami. Ia yang begitu susah hidup di kampung, di negeri seberangpun ia harus bertemu dengan sosok majikan yang sangat tidak manusiawi.
Ia belum satu tahun bekerja di Brunei. Padahal masa kontraknya dua tahun. Masih butuh waktu cukup lama untuk menapaki hari-hari suramnya. Wajahnya makin sayu. Tubuhnya menampakkan ke-tidak segar-an. Hatinya luka. Kedua matanya, makin rabun. Sehingga kalau melihat tulisan seolah huruf-hurufnya berlainan. Mungkin terlalu banyak mengeluarkan air mata. Sehingga, suatu saat dia minta tolong pada saya untuk menuliskan sebuah surat untuk keluarganya di tanah air.
Tak hanya itu. Rupanya perempuan ini masih menjalani ujian berat dari Sang Maha Kasih. Kedua kakinya bengkak sudah beberapa bulan. Sudah ke rumah sakit tiga kali -dengan biaya sendiri-, tapi belum juga sembuh. Sungguh malang ibu dari empat orang anak ini. Melihat keadaan seperti itu, saya menyarankan agar pulang saja. Jangan memaksakan diri di tengah derita yang begitu mencekam. Namun perempuan ini menjawab tegas.
“Saya harus bertahan dulu di sini sebelum anak saya lepas dari sekolah, Mas. Saya tidak ingin anak saya keluar sebelum tamat hanya kekurangan biaya, kasihan. Saya sakit sekali jadi orang bodoh, jadi orang yang tidak sekolah. Saya ingin anak-anak saya tidak seperti bapak dan ibunya yang punya nasib sengsara.”
Saya kaget. Luar biasa semangat perempuan ini. Saya malah justru menyesal mengeluarkan kata-kata seperti itu. Saya tidak menyangka sama sekali di balik seorang yang tampak sangat lemah tapi ada kekuatan juang yang luar biasa. Ia punya tujuan sangat mulia. Ingin mengasah empat ‘mutiara’ nya di kampung menjadi orang-orang yang berilmu. Walaupun ia sendiri harus tertatih-tatih, merangkak mempertahankan hidup di bawah aturan ketat sang majikan.
Rupanya ia sosok yang sangat tabah. Dalam hidupnya, ia tak pernah menyalahkan siapa-siapa. Ia tak pernah menyalahkan suaminya yang hanya seorang buruh tani. Dan ia juga tak pernah peduli dengan negrinya yang sampai saat ini belum bisa memberikan apa arti sebuah kemakmuran dan kesejahteraan. Tapi ia hanya ingin menempa diri agar anak keturunannya punya nasib lebih baik dari dirinya. Itu saja.
Namun, lagi-lagi ia harus terhempas. Mau tidak mau ia harus menuruti kehendak Yang Maha Kuasa. Kedua kakinya makin parah. Ahirnya ia memutuskan untuk pulang, sebelum masa kontraknya habis.
Di bandara Sukarno Hatta Jakarta, ia sudah tidak kuat lagi menahan derita sakitnya. Petugas bandara segera melarikan ke rumah sakit. Namun malaikat maut keburu menyambutnya, untuk menghadap Penguasa Alam ini. Semangat juang perempuan itu, hanya sampai di Jakarta, sebelum ia memasuki kampung halamannya di sebuah desa kecil, di bagian barat Jawa Tengah.
Mendengar berita yaang dituturkan majikan perempuan itu, saya terkejut luar biasa. Tubuh ini laksana mau terkulai. Ia bukan saudara saya. Ia bukan kerabat dekat saya. Tapi nasib di perantauan menjadikan saya, seolah ia adalah bagian dari keluarga saya. Saya hanya bisa berucap: Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.
Sekali lagi saya membayangkan sosok dia. Seorang yang tampak lahir berfisik lemah, tapi punya daya juang, daya ‘jihad’ yang luar biasa. Saya jadi ingat kata-kata sahabat saya, seorang penulis, “Sosok seperti itulah yang paling layak mewarisi kehidupan ini.”
Terbayang pula bagaimana sedihnya keempat anaknya ketika melihat ibunya sudah terbujur kaku. Bagaimana getirnya sang suami melihat sang istri yang sudah tak bernyawa lagi. Atau bagaimana merananya kerabat keluarganya ketika melihat perempuan itu sudah pulang ke pangkuan-Nya.
Allah, maha segalanya. Tentu Dia tidak akan membiarkan sekecil apapun usaha positif mahluknya. “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan sebesar dzarrah pun, niscaya dia akan melihat balasannya.” (Az Zalzalah: 7)
Harapannya ingin punya mutiara yang cemerlang, yang ‘alat gosok’ nya ia cari sampai ke luar negeri, tentunya tidak akan diabaikan begitu saja oleh Yang Maha Perkasa. Tentu perjuangan perempuan itu akan jadi cermin besar bagi ke empat anaknya untuk berjuang lebih keras dan keras lagi. Walaupun saat ini mereka masih tertatih, dalam menyelesaikan pelajarannya di sekolah.
Selamat jalan Karmiah, selamat jalan pejuang di negeri seberang. Semoga Allah menempatkanmu dalam tempat yang mulia. Amin.**
oleh Sus Woyo