Kini, di manakah Presiden baru Iran tinggal? Tetap di rumahnya yang jelek (dinding luarnya masih bata, belum ditembok) di kawasan Tehran timur. Petugas keamanan terpaksa membuat posko keamanan di ujung jalan, mendata semua tetangga termasuk sanak famili mereka, sehingga orang-orang yang keluar masuk jalan kecil itu bisa dimonitor. Terakhir, mau tahu apa isi press release pertama Presiden Iran yang baru terpilih itu? Isinya: Semua pihak dihimbau untuk tidak memasang iklan ucapan selamat di koran-koran dan semua kantor dilarang memasang foto presiden!
Itulah sepenggal cerita yang saya baca di sebuah milis, kiriman seorang warga Indonesia yang tinggal di Iran, tentang kesederhanaan Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad. Membaca milis itu, saya jadi teringat dengan kisah-kisah kesederhanaan para pemimpin Islam di masa lalu. Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib misalnya, saat beliau memegang tampuk pemerintahan kaum Muslimin di Kufah, kaum Muslim hidup berkecukupan karena pajak dan harta rampasan dari negara-negara yang berhasil ditaklukan melimpah ke negerinya. Umat Islam tidak kekurangan makanan dan berpakaian serba indah. Namun sang pemimpin Ali bin Abi Thalib tetap mengenakan pakaian tua yang sudah lusuh dan penuh tambalan.
Ketika ditanya mengapa beliau berpakaian seperti itu, Ali bin Abi Thalib menjawab,"Dengan pakaian seperti ini hati merasa takut dan pikiran merasa sederhana. Sesungguhnya, dunia ini dan akhirat nanti saling bermusuhan dan arah jalannya berbeda. Barang siapa mencintai dunia, akan membenci akhirat dan menjadi musuhnya. Keadaan ini ibarat Timur dan Barat. Apabila seseorang berjalan mendekati yang satu, maka ia akan menjauh dari yang lainnya…" Perkataan Amirul Mukminin ini mengisyaratkan, bahwa beliau sangat berhati-hati menggunakan harta negara. Meski sebagai pemimpin bisa saja beliau membelanjakan harta negara itu untuk keperluan dirinya, namun kesederhanaan hidup beliau mencegahnya melakukan hal itu.
Mengingat kisah-kisah semacam ini, membuat saya tersenyum getir. Bukan karena saya kasihan sama Ahmadinejad yang tembok rumahnya saja belum diplester bahkan sepatunya saja sudah agak ‘bulukan’. Tapi karena saya teringat dengan kiprah para pejabat di negara saya sendiri yang malah jadi kaya begitu memegang jabatan. Jabatan bukan lagi dianggap sebagai amanah rakyat tapi dijadikan alat untuk menguras harta negara bahkan harta yang seharusnya menjadi hak rakyat. Saya tidak yakin, kalau pada saat ini ada pejabat negara di negeri ini yang rumahnya belum diplester seperti rumah Ahmadinejad, ada pejabat negara yang masih mau mengenakan sepatu yang sudah ‘kusam’ seperti sepatunya Ahmadinejad, ada pejabat negara yang masih mau berpakaian sesederhana Ali bin Abi Thalib.
Yang sering kita lihat justru para pejabat yang meributkan kenaikan tunjangan jabatan, kenaikan gaji, saat pemerintah baru saja menaikkan BBM yang membuat rakyat miskin menjerit. Saya kadang berfikir, tidak punya rasa empatikah pejabat negara ini atas penderitaan rakyatnya? Tidakkah mereka membaca koran yang setiap hari memuat berita anak-anak yang menderita gizi buruk, busung lapar, bahkan anak-anak yang bunuh diri karena malu hanya karena tidak mampu beli seragam pramuka dan tidak mampu membayar uang sekolah? Saya cuma bisa mengelus dada tiap kali membaca atau menyaksikan berita-berita semacam itu di media massa. Sedemikian parahnyakah kemiskinan yang menimpa bangsa saya? Sementara para pejabatnya begitu mudahnya mendapatkan uang negara dengan dalih studi banding ke luar negeri, uang tunjangan jabatan, kenaikan gaji dan sebagainya….
Menyedihkan memang. Tugas menjadi pejabat negara memang berat tapi haruskah dihargai dalam bentuk materi yang berlebihan? Bukankah seorang pengemban amanah rakyat justru harus rela berkorban dan memilih sensitifitas yang lebih tinggi atas kesulitan masyarakat di sekitarnya? Rasanya akan terlalu panjang pertanyaan yang akan dilontarkan jika kita melihat ketimpangan semacam ini. Namun, bisa jadi semua itu karena sebagian pejabat kita enggan untuk hidup sederhana dan kurang bisa merasakan kesulitan rakyat. Kelebihan harta sudah mengubah gaya hidup dan membuat mereka lupa akan idealisme serta cita-cita mulia sebagai pengayom rakyat. Melihat kondisi semacam ini, benarlah apa sabda Baginda Nabi Muhammad Saw, "Sesungguhnya di antara yang aku khawatirkan atas kalian sepeninggalku nanti ialah terbuka lebarnya kemewahan dan keindahan dunia ini padamu." (HR Bukhari dan Muslim)
Ya, kemewahan dan gemerlapnya dunia kadang membuat manusia lupa bahwa masih banyak orang yang hidupnya termarjinalkan karena kesulitan ekonomi yang melilit. Padahal Allah swt dalam surat At-Takasur mengingatkan bahwa "Bermegah-megahan telah melalaikan kamu. Sampai kamu masuk ke dalam kubur," dan di akhir surat itu Allah Swt berfirman,"Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu)."
Dalam suratnya yang lain, Allah mengingatkan..".. Makan dan minumlah tetapi jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan." (QS 7: 31)
Islam selalu menganjurkan umatnya untuk hidup sederhana. Karena kesederhanaan bisa menghapus jurang pemisah antara si kaya dan si miskin. Alangkah indahnya, jika para pejabat kita juga mau memberi contoh untuk hidup sederhana, apalagi mereka digaji dari uang rakyat. Dalam konteks sekarang ini, mungkin mereka bisa mencontoh kesederhanaan Ahmadinejad, Presiden Iran itu. Wallahualam.
***