Pasien Meiji 41

Saat merapikan tumpukan kartu status pasien yang datang hari ini, mataku terfokus pada satu status pasien. Kucolek Torikoe-sensei rekan kerja yang disampingku, seraya menunjuk kolom data kelahiran.
Meiji yon ju ichi nen!” pekiknya tertahan. Aku mengangguk.
Ya, Februari tahun ini, pasien itu berusia 101 tahun!!! Subhanallah, desisku tak henti-hentinya bertasbih.

***

Nenek 101 tahun itu kini berada di hadapan dokter kepala bagian oral functional rehabilitation, yang juga profesor pembimbingku. Duduk di kursi roda dengan atapan kosong. Wajahnya keriput penuh guratan. Pendengarannya tidak peka lagi, sehingga harus berbicara keras di samping telinganya. Suaranya lemah nyaris tak terdengar. Respon alat geraknyapun lamban. Ketika datang, kepalanya diikat dengan bandana yg melintang dari dagu sampai kepala bagian atas. Menurut putranya, sang ibu sering mengalami dislokasi (pergeseran) sendi rahang. Membuka mulut sedikit untuk menguap saja, rahang akan bergeser. Tak ayal, terjadi peregangan di otot-otot pipi yang menyebabkan rasa sakit.

Profesorku mendengarkan dengan seksama keluhan pasien ini melalui putranya. Kulirik si nenek dan sesekali kami bertemu pandang. Rupanya ia juga memperhatikan aku. Mungkin baru pertama kali ia menemui orang berjilbab dan bermasker mulut bak ninja di rumah sakit ini.

Ada hal menarik saat kaca mulut dimasukkan ke dalam rongga mulut. Sang nenek langsung menghisap kaca mulut itu seperti bayi menghisap dot! Begitu juga ketika tangan profesorku melakukan palpasi otot-otot dalam rongga mulut, dihisapnya pula. Maha Suci Allah yang sempurna ciptaan-Nya, aku bertasbih memuji kebesaran Allah yang menciptakan fase hidup manusia dari bayi, dewasa dan setelah lanjut usia akan seperti “bayi” kembali.

“Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa” (QS: Ar-rum: 54)

Aku pandangi nenek tua itu dengan takjub melihat ciptaan Allah yang satu ini. Bersyukur hari ini aku bisa berhadapan langsung dengan manusia yang berumur begitu panjang. Usia harapan hidup di Jepang memang tertinggi di dunia. Maka disini berkembanglah ilmu tentang centenarian, yang mempelajari perilaku manusia ketika mencapai seabad.

MRI sashin o totte kureru?” pinta profesorku membuyarkan lamunanku. “Haik!” jawabku lalu bergegas menuju lemari foto di ujung ruangan ini. Kuserahkan hasil radiogram itu pada profesorku. Mulailah ia menerangkan tentang mekanisme gerakan rahang normal, mengapa pergeseran rahang terjadi dan bagaimana pencegahannya. Karena usia terlalu lanjut, tidak lagi dapat dilakukan terapi apapun. Sang anak telah menyediakan seorang perawat pribadi untuk mendampingi di kesehariannya.

Tak terasa buliran air mata membasahi maskerku, teringat bunda di tanah air. Walaupun belum seumur dengan nenek yang lahir di tahun Meiji 41 itu, aku berdoa agar diberikan kesempatan merawat dan mengasihi Bunda di sisa umurnya. Janjiku satu, segera pulang ke tanah air saat tugas belajarku selesai. Karena kutahu, yang dinantinya adalah selaksa cinta dan kasih sayang, bukan gelar, harta atau kemewahan. “Ya Tuhanku, ampunilah dosaku dan dosa ayah bundaku, sayangilah mereka sebagaimana mereka menyayangiku sewaktu aku kecil.”

Okayama, 19 Muharram 1430 H
[email protected]

Keterangan:
Sensei = sebutan untuk dokter atau guru
Meiji yon jyu ichi nen = Meiji 41 bertepatan dengan tahun 1908. Disamping kalender Gregorian, di Jepang berlaku pula kalender berdasar era kekuasaan kaisar.
MRI sashin o totte kureru = Tolong ambilkan foto MRI (magnetic resonance imaging)
Haik = Ya atau iya, diartikan juga sebagai “siap” untuk jawaban dari perintah