Para Pengais Rizki

Seorang bapak separuh baya berjalan mengendap-endap menghampiri seorang ibu dan anaknya yang masih kecil. Mata si bapak waspada ke kiri dan ke kanan, seperti kucing yang hendak mengambil ikan milik tukang sayur. Tangannya menenteng belasan mainan.

“Silakan dek, dipilih, maunya yang warna apa, ” kata si bapak setelah berhasil mendekati si anak. Si anak pun mengamati lekat-lekat mainan pedang-pedangan kayu yang ditawarkan bapak pedagang. Sesungguhnya tidak banyak pilihan warna yang tersedia.

“Ayo, buruan dek, maunya yang mana!” Desak ibu si anak kurang sabar. Mungkin si ibu gusar melihat anaknya lamban mengambil keputusan.

Dan tiba-tiba saja,
“Priiit!!!”

Suara pluit melengking membelah keramaian, menegakkan bulu roma si bapak. Si bapak kaget, terkesiap, dan segera merapikan dagangannya.

“Ayo dek, di sebelah sana saja. Di sini enggak boleh, ” kata si bapak tergesa-gesa.

Tapi di ‘sebelah sana’ sangatlah teriknya. Matahari jam 11 memang tidak main-main. Tak ada naungan kecuali awan setinggi langit. Bahkan awan pun kali ini tidak berpihak kepada para penjaja mainan di pelataran Masjid besar tersebut.

Sesosok Satpam bertubuh besar berjalan dengan langkah-langkah berat. Mulutnya sibuk meniup-niup pluit. Tangannya tak kalah sibuk menunjuk-nunjuk. Sungguh bahasa yang universal. Tak banyak cakap dan tak ada kalam. Cukup pluit dan sepotong jari telunjuk, sudah mampu mengkomunikasikan maksudnya dengan sempurna kepada para pedagang kecil itu. Si pedagang pun memahami maksud satpam tadi dengan tepat.

Saya mengamati kejadian barusan di salah satu sudut koridor Masjid besar ini. Koridor-koridor panjang mengelilingi Masjid, dengan naungan yang melindungi dari sengatan sinar matahari, dan percikan air hujan. Koridor-koridor ini mirip koridor di rumah sakit. Panjang dan saling berhubungan.

Di bawah koridor ini para jamaah haji cilik, yaitu para peserta manasik, berkumpul dan berteduh. Mengisi perut buat yang belum sarapan, mengganti baju dengan baju ihram, dan merengek-rengek minta mainan bagi yang obsesif terhadap mainan.

Para penjual mainan menunggu di luar koridor. Tidak boleh mendekat. Tentu peraturan ini dengan niat baik agar tidak mengganggu ketertiban dan kenyaman para ‘jamaah haji’ yang hendak melakukan manasik.

Para penjual mainan pun, meski menunggu beratapkan langit, tetap berusaha tampil prima dalam menjajakan mainannya. Yang jualan gelembung sabun berusaha menampilkan gelembung-gelembung yang mempesona. Hanya dengan bermodalkan raket bolong tanpa senar yang dibengkokkan, sang penjual mencelupkan raket modif itu ke dalam cairan sabun dengan campuran entah apa, lalu dengan satu ayunan tangan yang trampil, keluarlah satu gelembung besar seperti ular naga mini, yang melayang-layang terbawa angin. Kemudian memecah menjadi gelembung-gelembung yang lebih kecil, terbang tinggi, berusaha melawan grafitasi, untuk kemudian pecah terkena hembusan angin, atau ditepuk oleh gerombolan anak-anak kecil yang mengelilingi si penjual tadi.
Anak-anak kecil ini bukanlah para peserta manasik, sehingga tidak memiliki potensi ekonomis bagi si penjual. Anak-anak ini boleh jadi anak-anak si penjual itu sendiri, yang tetap riang melompat-lompat mengejar gelembung sabun. Tak peduli meski terik matahari menghardiknya dengan tidak ramah. Mungkin teriknya matahari sudah menjadi sweater yang nyaman bagi mereka yang sudah terbiasa.

Ada pula yang menjual pistol mainan. Ini mengingatkanku pada mainanku dulu sewaktu kecil. Pistol air, begitulah kami menyebutnya. Jika kita menembak, yang keluar adalah air yang memancar. Kami – aku dan teman-teman – akan berkejar-kejaran, saling membasahi. Semakin basah, semakin seru. Tapi pistol air zaman sekarang ternyata sedikit berbeda. Jika kita tembakkan, yang keluar adalah gelembung-gelembung sabun. Sungguh penemuan yang lucu dan kreatif.

Ada pula yang menjual kereta kuda ukuran mini. Sang penjual sibuk berjalan ke sana kemari menyeret-nyeret kereta kudanya, yang berjalan berjingkrak-jingkrak. Kudanya yang berjingkrak-jingkrak, bukan pedagangnya.

Masih banyak lagi penjual lainnya. Salah satunya dalah ibu-ibu di sebelahku ini. Ibu-ibu ini menjual harmonika. Awalnya ia sibuk mendemokan keterampilannya menggunakan harmonika. Kurang berhasil tampaknya. Dan, semakin siang, tenaganya semakin susut, dan mungkin nafasnya sudah habis. Kini ia duduk saja di sampingku, di salah satu sudut koridor, menatap lemas ke arah rombongan jamaah manasik.

Para pedagang yang lebih kuat staminanya tidak pernah putus harapan. Mereka tetap berusaha mendekat, menawarkan mainannya, setiap kali pak Satpam lengah. Setiap kali diusir, mereka hanya tersenyum, atau tertawa tak berdaya. Namun mereka akan mendekat lagi, dan pat Satpam akan mengusir mereka lagi dengan pluitnya yang melengking.
Mereka hanyalah orang-orang kecil yang baik-baik, yang termarginalkan dalam persaingan hidup ini. Pak Satpam pun bukan orang jahat. Mereka hanya menjalankan tugas dan menerapkan peraturan. Jika menegur pun, selain dengan pluit, terkadang mereka terpaksa mengeluarkan kata-kata, “Maaf pak, jangan di sini, di sana saja!” Dengar, mereka pun berusaha ramah. Satpam hanyalah orang kecil lainnya, yang sedikit lebih beruntung ketimbang para pedagang tadi.

Yang membuat peraturan pun orang-orang baik dan terdidik. Mereka hanya ingin membuat nyaman para jamaah Masjid dan peserta manasik. Sungguh niat yang baik. Jamaah Masjid dan peserta manasik tentu bukan biang keladi peristiwa ini.

Jadi, kalau tidak ada yang bisa disalahkan, mengapa situasi yang kurang manusiawi di atas bisa terjadi?

Kurang manusiawi? Ya, saya merasa begitu. Terlintas di angan saya, jika bapak penjual pedang-pedangan tadi adalah ayah saya sendiri. Tak tega saya melihatnya. Kelu lidah saya meratapinya. Menitik air mata saya sekedar membayangkannya. Atau, bagaimana jika Allah menakdirkan sayalah yang menjadi pedagang itu? Bagaimana rasa hati anak saya memandang saya memanggul mainan ke sana kemari, menawarkannya kepada pembeli yang acuh-acuh butuh, sambil waspada terhadap pluit pak Satpam? Bagaimana jika ibu di samping saya ini adalah ibu saya sendiri, yang kelelahan, tanpa bekal makanan dan minuman, dengan banyak sisa harmonika yang belum terjual? Atau bagaimana jika ia adalah isteri saya, yang terpaksa berjualan karena saya – sang suami – invalid secara ekonomi, tak berdaya secara finansial?

Perasaan saya pun campur aduk, antara rasa syukur karena ditakdirkan berada dalam kondisi yang lebih baik, dan murung menyadari banyak ketidakberesan dalam hidup ini.

Allah, ajarkanlah hikmahMu kepada hamba yang buta ini.